Laman

Selasa, 22 Maret 2011

When It Rains [part. 1]

My new story. a Rio-Sivia (Idola Cilik) or YoVia story. I'll post this story monthly. because of school, ofcourse..
I'll stop my blabbers. enjoy anyway.. :)

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Hujan. Hal yang sangat aku sukai dan sekaligus yang sangat kubenci. Kenapa? Hujan membawaku pada orang yang kusayangi dan kucintai setengah mati. Namun, aku juga benci hujan. Kenapa? Karena hujan hampir membawanya pergi. Ya. Hanya hampir. Tapi tetap saja aku benci. Tapi tetap tidak bisa kupungkiri bahwa hujan sangat berarti. Bagiku dan baginya, tentu saja.

# # # #

“Aduh, Vi.. Ga bisa ya berangkat sendiri? Tempatnya kan deket dari rumah,” Alvin, kakak Sivia, merengut kesal setengah mati pada adik tersyangnya itu.

“Ga bisa kakakku sayang. Aku kan baru di sini. Ga kenal tempat-tempatnya lagi. Mana bisa berangkat sendiri?” Sivia menalikan sepatu sebelah kirinya dan kemudian beranjak berdiri menghampiri kakaknya yang sudah bertengger di atas Andromeda-nya.

“Lagian ya kak, sekolah kita kan sama. Ga salah dong kalo aku nebeng?” Sivia memakai helmnya dan naik ke atas sepeda motor kakaknya tanpa persetujuan kakaknya itu.

“Iya, iya, gue anterin. Tapi ga gratis, lho.”

“Iya kak Alvin,” Alvin menstarter motornya dan kemudian langsung melaju meninggalkan kediamannya menuju SMA Internasional Gamasta, tempat di mana mereka berdua bersekolah.

# # # #

“Anak baru? Siapa?” Pemuda itu berkata dengan ketusnya saat mendengar berita dari ayahnya.

“Papa juga ga tau. Tapi yang penting jangan jahili dia. Sudah cukup banyak anak baru yang menjadi korban kejahilanmu itu, Aditya.” kata ayah pemuda itu dengan nada bicara yang tak kalah ketusnya.

“Jangan panggil Aditya,”

“Itu nama kamu. Wajar kalau Papa memanggilmu Aditya.”

“Namaku ga cuma Aditya, Pa.”

“Terserah. Yang penting jangan kamu jahili anak baru itu. Mengerti?”

Pemuda itu hanya diam seribu bahasa, menikmati sandwich daging asap yang dibuat pembantunya. Melihat ucapannya tidak digubris anaknya, ayah pemuda itu kemudian membereskan piring sarapannya dan mengambil tas kantornya, lalu keluar dari area ruang makan dan rumahnya. Menuju kantor yang sudah menjadi rumah keduanya.

Sementara, pemuda itu hanya melihat kepergian ayahnya dengan wajah tak peduli. Dan samar-samar terdengar suaranya yang selembut beledu,

“Dasar bokap bego.”

# # # #

Sivia baru saja sampai di kelasnya yang baru ketika tiba-tiba sebuah bolpoin mengahantam kepalanya.

“Aaaaw.. Aduuh..” Sivia memungut bolpoin sialan itu dan menatap tajam ke arah seorang pemuda yang sedang menggenggam sebuah bolpoin lain yang sepertinya siap untuk dilempar.

Lo yang ngelempar bolpen ini ya?” Sivia menghampiri pemuda itu sambil mengacung-acungkan bolpoin yang menghantam kepalanya tadi. Semakin dekat, Sivia melihat name tag pemuda itu. Mario Stevano.

“Eh, denger ya Mario Stevano, gue emang murid baru di sini. Tapi lo ga bisa seenaknya ngelempar bolpoin sampe kena kepala orang. Itu namanya ga sopan!”

“Eh, mbak, maaf maaf aja ya. Gue ga ada maksud buat ngelempar bolpen ini ke kepala mbak. Gue cuma mo nglempar bolpen ini ke dia. Tuh orangnya,” pemuda bernama Mario itu menunjuk seseorang di belakang Sivia. Sivia menengok ke belakangnya, dan melihat seorang pemuda yang lain, namun berpostur tubuh mungil dan berwajah imut dan juga berambut sedikit gondrong. Bukan gondrong yang acak adut. Tapi gondrong yang bergaya. Lagi-lagi Sivia melihat name tag-nya. M. Raynald P.

Sejenak Sivia merasa malu. Namun dengan segera ia mengumpulkan ke-pede-annya dan berpaling menghadap Mario Stevano.

“Dasar cowok. Makannya liat-liat dulu dong kalo mau ngelempar bolpen, biar ga salah orang. Nih, gue balikin.” Sivia meletakkan bolpoin itu dengan sedikit *sedikit doang lho, ya* kasar ke atas meja di depan Mario. Kemudian, ketika ia hendak beranjak dari tempat itu menuju tempat duduknya, lengannya ditarik dengan pelan namun bertenaga *maksudnya?* oleh tidak lain dan tidak bukan Mario Stevano.

“Eh eh, ngapain lo narik-narik gitu? Ga sopan deh,”

“Sori, refleks. Lo anak baru kan?” Mario melepaskan genggamannya dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Membuatnya terlihat… cool. Begitu menurut Sivia.

“Iya. Kenapa emang?”

“Ga pa-pa. Cuma tanya.” Mario *oke. Rio* berbalik dan menarik temannya, Raynald atau Ray, keluar dari kelas mereka. Sivia hanya memandang heran sosok manis berpostur tinggi bernama Mario *atau Rio* itu. Dan yang lebih membuatnya heran lagi adalah senyum yang terkembang di wajah Rio ketika mereka berdua keluar kelas tadi. Bukan, bukan senyum manis. Melainkan senyum misterius yang penuh rahasia. Dan Sivia berhasil dibuat penasaran olehnya.

# # # #

Ting Tong Ting Tong..

Ting Tong Ting Tong.. *bunyi belnya sama kayak yang di komik-komik jepang*

Bel baru saja berbunyi. Sivia buru-buru memasukkan novel yang dibacanya ke dalam tas hitam putihya, dan menunggu guru yang akan masuk untuk mengajar di kelasnya dengan wajah ingin tahu khasnya. Teman-teman sekelasnya satu-persatu mulai bermunculan di dalam kelasnya. Bermacam-macam juga rupanya. Sivia memandangi teman-teman sekelas barunya satu persatu juga. Kebetulan ia menempati tempat duduk pojok paling belakang.

Ada yang rapi, ada yang kusut. Seperti habis begadang dan terpaksa bangun pagi. Ada juga yang rapi tapi gaya jalannya… sumpah centil abis. Tapi ada juga yang tomboy minta ampun. Selain itu ada juga yang berpenampilan cupu abis, tapi ada juga yang punk abis. Macem-macem kayak tahu campur gitu. Tapi, hanya ada satu yang benar-benar mencuri perhatian Sivia.

Seorang pemuda bertubuh tinggi, dengan kulit tidak terlalu hitam namun manis, rambut yang tidak terlalu acak-acakan, yang sepertinya sengaja dibuat seperti itu. Lengan kemeja putihnya tergulung rapi hingga sikunya. Bersepatu Converse abu-abu yang menambah rating kekerenannya. Dan ternyata sosok manis nan keren itu adalah… Mario Stevano. Orang yang melempar bolpoin padanya tadi pagi, yang membuatnya teringat lagi kejadian tadi pagi.

Rio, yang dari tadi merasakan ada yang menatapnya sejak ia masuk ke kelas XI-III, langsung mencari sumber tatapan dan akhirnya menemukan Sivia yang terbengong-bengong menatapnya. Ia menghampiri Sivia di tempat duduknya dan dengan jahilnya Rio menggebrak meja Sivia. Tidak terlalu keras memang, tapi cukup untuk membuat Sivia kaget.

“Eh, kambing! Iiih, lo tuh ya, suka banget bikin orang kesel. Nyebelin tau,” Sivia mengusap-usap dadanya karena dikagetkan oleh Rio tadi. Sedang Rio sendiri hanya tertawa melihat reaksi Sivia yang menurutnya lucu itu. Sambil tertawa-tawa, Rio duduk di tempat duduknya yang kebetulan ada di sebelah Sivia.

“Jangan ketawa deh lo!” Sivia mengambil benda yang terdekat dengannya, yaitu bolpoinnya, dan melemparkannya ke arah Rio. Bolpoin itu sukses menghantam kepala Rio.

“Aduuh!” Rio mengaduh sesaat, dan kemudian membungkuk, mengambil bolpoin yang dilemparkan Sivia. Ia menjulurkan tangannya dan menaruh bolpoin itu di meja Sivia.

“Bolpen bukan buat dilempar, tapi buat nulis. Nih, gue balikin,”

“Suka-suka gue dong,” Sivia menjulurkan lidahnya kesal dan berbalik menghadap ke arah depan kelas. Kebetulan guru yang akan mengajar di kelasnya sudah datang.

“Dasar cewek,” gumam Rio pelan. Tapi sayang. Gumaman Rio tidak terlalu pelan untuk bisa di dengar Sivia.

“Apa lo bilang?” Sivia menengok cepat ke arah Rio dan memandangnya dengan pandangan menyelidik dan menyipitkan matanya yang sudah sipit, yang hanya dibalas dengan senyuman manis nan misterius khas Rio. Lalu, Sivia kembali ke posisi duduknya semula dan bersiap berdiri saat gurunya memanggilnya untuk maju ke depan.

“Students, we have a new student here. She’s coming from Jakarta. Come ‘ere, Sweetie. Introduce yourself, please,” kata guru itu.

‘Ooh, guru bahasa inggris toh..’ pikir Sivia.

“Thank you, Ma’am. Hello guys. I’m Sivia Azizah Sindhunata, I’m coming from Jakarta. I moved here because my mom just passed away, and I have to move here with my step brother because he’s the only sibling I have here. In Indonesia I mean. Thank you,” kata Sivia dengan bahasa inggrisnya yang super lancar *iyelah, yang bikin aja pinter bahasa inggris*pede kumat*.

Saat itu, terdengar bisik-bisik dari setiap murid yang ada di kelas itu. Bahkan Rio pun membelalak terkejut saat Sivia menyebutkan namanya. Tepatnya nama marganya.

“Oh. So, you’re Alvin’s step sister?” Guru bahasa inggris itu bertanya dengan nada ingin tahu yang terdengar jelas di setiap kata yang terucap dari bibirnya.

“Y-yes Ma’m,” Sivia menjawab ragu.

“O-o-okay. You may sit down now..”

Sivia mengagguk patuh plus heran dan kembali ke tempat duduknya. Terlihat tatapan bingung, heran, kaget, dan lainnya terpampang jelas di muka teman-teman sekelas barunya. Bahkan Rio.

“Mm, ada apaan sih? Kok pada ngeliatin gue gitu?” tanya Sivia heran pada Rio.

“Lo adeknya Alvin?” Rio balik tanya dengan wajah seriusnya.

“Adek tiri.” jawab Sivia singkat.

“Jadi lo bener-bener adeknya Alvin Jonathan Sindhunata?”

“Iya.”

“G-I-L-A.”

# # # #



-------------------------------------------------------------------------------------------------------

dikit banget yak?? saya juga ngrasanya gitu. hehehe....
ga apa lah.. besok-besok saya post-in yang agak banyakan dikit *dikit doang tapi, hehe*
oke oke?

Kalo mau komen, silakan mampir ke twitter saya : @umiRISEsmg atau facebook saya : Umi Sa'adah.

Salam,
Umi Sa'adah