Laman

Jumat, 29 Juli 2011

Dua Pejantan

Siang itu, puanass banget!! Gue lagi perjalanan menuju Zigas. Warnet ya, bukan band. Di jalan gue ngeliat dua pejantan. lagi jalan-jlan gitu ceritanya.

tiba-tiba, ada betina lewat. santai gitu jalannya. tapi, emang pada napsu ato gimana, gue ga ngerti, tiba-tiba tu dua pejantan tangguh berwarna item merah, lari-lari ngejar tu betina. betinanya sontak ngibrit. iayalaahh!! dikejar pejantan napsu gitu loh!!

menurut gue, pas lari-lari gitu, mereka ngomong-ngomong juga. beginilah percakapannya...

Pejantan 1 (P1) : (ngomong ke pejantan 2) eh cuy, istri lu udah berape?
Pejantan 2 (P2) : 3 cuy. elu?
P2 : 4 aja dah, cukup. (nengok ke kanan, terus nepok-nepok pantat si P2) cuy, cuy, cewek tuh!! gile bohay abiss!!
P1 : (ikutan nengok ke kanan, tiba-tiba kepincut) weiitt, iye tuhh!! kejaaaaarrrrr!!!!!

dan dimulailah kejar-kejaran itu. gue yang lagi jalan, bingung. tu ayam-ayam lagi pada kenapa sih? napsu banget.. dan gue rasa, tu betina yang kagak tau apa-apa, bakal jadi korban kenapsuan tu dua jantan. kesian...

P2 : nengg!! mau kabur kemane!!???
P1 : nengg!! tungguin aa' atuuhh!!! woyyy!!!
Betina (B) : mampus gueh, mampus gueh!! mimpi apa gueh semalem!!???

karena saking sengitnya kejar-kejaran itu, terjadilah perselisihan antara si pejantan.

P1 : heh! lu ngapain ikut kejar-kejar!!?? bini lu kan udah lima!! plis deh!! (sambil ngegebuk-gebukin sayapnya ke pala si P2)
P2 : heh! suka-suka gue yak!! ayam kan bebas mo punya istri ampe berapapun!!
P1 : tapi kan gue duluan yang ngeliat!!
P2 : dasar pikun lo!! kan jelas-jelas gue dulu yang ngeliat!!
P1 & 2 : (melai berantem. sikut sana, sikut sini. geplak sana, geplak sini.)
B : (cengo setengah mati. berasa dicuekin) heeeh!! jadi kejar-kejar gueh ga sih!!??
P1 & 2 : (tereak ke betina) BERISIIIKK!!!

tiba-tiba, pejantan2 ntu nyadar.

P1 & 2 : o iya ya. bener juga. (ngelirik napsu betina. trus langsung ngejar) KEJAAARRRR LAGEEE!!!!
B : HYAAAA!!! GUEH SALAH NGOMONGG!!!!!!!

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

yak itu segelintir cerita ga mutu gue. maklum dalam kondisi stres berat. thanks :) !

Kamis, 14 Juli 2011

Idola Cilik dan hal lainnya

Ha! Kali ini postingan tentang IC alias Idola Cilik.

Sebagai warga Indonesia yang baik dan benar *apadeh..* gue menemukan bahwa ICL (Idola Cilik Lovers) di Indonesia ini sangat banyak sekali. termasuk gue. trus juga gue menemukan fenomena 'akun abal' tersebar luas di salah satu situs jejaring sosial pertemanan buku muka. yang gue heran, kok bisa ya? *managuetau*

Kalo mau pemos, bikin akun ndiri dong.. beri warga Indonesia something out of ordinary yang bisa bikin pemos tanpa harus 'ngeboongin' orang laen. kalo menurut gue, ga banget deh orang-orang yang pada bikin akun abal di buku muka. kesian tu anak-anak IC.

Trus, usul buat IC, kalo ga mau akunnya di hack ato semacemnya, bikin aja akun dengan nama alias. gue punya beberapa sih.. tapi daftarnya gue lupa bawa. trus ya, kasih info ke ICL tentang akun tersebut yang seakan-akan ngasih hint ke ICL bahwa itu adalah akun asli anak IC. enak, gampang, terpercaya *lukirasctv*

nah, itu yang IC. sekarang gue mau bahas yang ga penting.

kenapa rambut gue jelek banget? apa emang udah takdir ato gimana? geez, sebodo amat.


bukaaann!!!

yang bener, kenapa Love Command, cerita milik Janice Nathania Lienardi, yang part terakhir ga muncul-muncul juga?? padahal udah part terakhir! sumpah gue ga sabar pengen baca!!
Tuhaann!! tolong bilangin ka janice yak, suruh cepetan ngepost LC-nya!!! makasiihh!!!

Salam,
Umi Sa'adah :)

Jumat, 01 Juli 2011

When It Rains [part. 7]

langsung ngepost lagi..
ngebut, biar ga pada kangen *apa deeh..
langsung aja, cekibroott!!
enjoyy..

---------------------------------------------------------------------------------------------------

“Hachiimmm!!!” Suara bersin yang dikeluarkan Sivia pagi itu membuat kakaknya, yang kebetulan sedang lewat di depan kamar Sivia, melongok ke dalam dan mendapati Sivia sedang menggosok-gosok hidungnya yang kelewat gatal.

“Kenapa Vi? Pilek?” tanya Alvin agak khawatir. Ia melepas earphone yang terpasang di telinganya, bersiap mendengar jawaban Sivia.

“Ga tau nih, Kak. Kayaknya bakal flu deh. Kan kemaren Via pulangnya keujanan.” Jawab Sivia dengan suaranya yang—sekarang—serak.

“Ujan? Bukannya kemaren kamu pulang bareng Rio pake mobil ya? Masa bisa keujanan?” tanya Alvin heran. Ia mencium adanya kebohongan pada jawaban Sivia tadi.

“Masa sih kak? Ah udah ah, lupain aja. Berangkat yok,” ajak Sivia sekaligus mengalihkan pembicaraan mereka, yang kelihatannya cukup berhasil. Alvin mengiyakan ajakan Sivia tanpa bertanya lebih lanjut tentang flu tiba-tiba yang dialami Sivia.

Saat Alvin membuka pintu depan, terkejutlah ia melihat Rio yang sepertinya hendak mengetuk pintu depan kediaman Sindhunata.

“Lah? Lo ngapain di mari?” tanya Alvin heran.

“Jemput Sivia lah. Masa jemput lo?” jawab Rio sekenanya.

“Sejak kapan lo ngrangkap jadi supirnya Sivia?” tanya Alvin lagi.

“Yaa, apa salahnya sih jemput temen sendiri?” Rio balik bertanya.

“Iye deh. Terserah apa kata lo. Tapi makasih deh. Gue mo jemput Ify soalnya. Kasian dia,”

“Kenapa emang si Ify?”

“Supirnya cuti. Ortunya, dua-duanya, dinas luar. Pembantunya pada libur, kecuali Mbak Ari. Tapi kan dia ga bisa nganter Ify. Mobilnya lagi ada urusan di bengkel. Kesian banget cewek gue ituh..” jelas Alvin sok dramatis.

“Kak Alvin boong nih.. Orang tadi aku sms Ify, semuanya baek-baek aja. Ga ada yang cuti ato libur ato dinas. Kakak aja nih, kan, yang mau berduaan?” Sivia memberitahu tiba-tiba sambil menggosokkan selembar tisu pada hidungnya.

“Yeeh, Vi, jangan dibocorin nape?”

Rio terkikik geli melihat dua temannya itu. Namun tawanya harus terhenti. Karena tiba-tiba..

“HACHIIIMMM!!”

Sivia dan Rio bersin bersama, yang hanya membuat Alvin mengernyit jijik.

“Iiihh, apaan sih nih? Nyebar virus kok bareng-bareng.. Udah janjian apa gimana nih?” keluh Alvin kesal. Kemudian melangkahkan kaki-kakinya memasuki garasi dan masuk, menyalakan, serta mengeluarkan Aston Martinnya dari garasi rumah.

“GUE DULUANN!!” pamit Alvin. Dan kemudian melesatlah Alvin bersama Aston Martinnya menuju Perumahan Swastika, tempat di mana kekasih hatinya itu tinggal.

Sementara itu,

Sivia dan Rio bersama menggosok-gosok hidung mereka yang gatal. Kemudian bersin lagi. Kemudian menggosok hidung mereka lagi. Kemudian bersin lagi, yang membuat Sivia terkikik geli.

“Nape lo ketawa-ketawa?” tanya Rio keki. Bukannya kasihan karena bersin-bersin sejak tadi malah ditertawakan.

“Gapapa kok.. Hihihihihi...” jawab Sivia, kemudian melanjutkan tawanya lagi.

“Buset, ketawa lo kayak setan tau ga.. Udah ah, berangkat yok! Ntar keburu gerbangnya ditutup.” ajak Rio, lalu menggosok-gosok hidungnya yang sudah gatal lagi.

“Iya iya..” Sivia mengiyakan ajakan Rio. Kemudian mengikuti Rio dibelakangnya, menuju Jaguar Rio yang terparkir gagah di driveway Kediaman Sindhunata.

“Civic Si lo kemane Yo? Kok pake Jaguar sih?” keluh Sivia tidak terima. Sivia memang lebih menyukai Civic Si Rio ketimbang Jaguar-nya. Civic Si itu lebih terlihat ‘anak muda banget’, menurut pandangan Sivia.

“Bengkel. Ada yang salah sama mesinnya,” jawab Rio singkat. Lalu ia membukakan pintu penumpang untuk Sivia yang berada di sampingnya. Terpaksa, Sivia masuk ke dalam. Ia lebih baik naik Jaguar ini ketimbang terkunci di luar gerbang GIHS dan tidak mendapat secuilpun ilmu.

Setelah menutup pintu penumpang, Rio berlari pelan menuju pintu pengemudi, membukanya dan masuk ke dalam. Setelah menyalakan mesinnya, ia pun langsung melaju. Menuju GIHS tercinta.

@Gamasta International High School, 6.57 am.

Pagi yang indah. Benar-benar indah. Burung-burung beterbangan, mengejar satu sama lain. Bernyanyi-nyanyi ria di langit biru. Mesin-mesin kendaraan diesel mulai terdengar jauh di luar sana. Hawa segar terpancar dari tiap sudut ruangan di sekolah itu. Namun sayang. Ketenangan pagi itu harus rusak karena teriakan seorang gadis yang kesakitan karena kucirnya ditarik oleh teman lelakinya.

“AAAWW!!!” teriak gadis itu.

“Hhehehehe....” teman lelaki gadis itu hanya tertawa innocent melihat reaksi teman sekelasnya itu. Lalu ia berlari-lari karena si gadis mengejar-ngejarnya, mengacung-ngacungkan kepalan tangan dengan perasaan kesal dan ingin menjitak kepala pemuda itu, sebagai balasan menarik kucirnya. Merubahnya dari rapi menjadi tak keruan.

“RAAYYY!! SINI LOOO!!!” teriak gadis itu lagi sambil tetap mengejar teman lelakinya yang dipanggil Ray itu.

“Hehehehe... Maap deh, Molin.. Ga sengaja.. Yee??” Ray berlutut dengan memasang tampang menyesalnya yang khas, memohon-mohon kepada Molin, gadis itu, untuk memaafkannya.

“Alaahh, tepu banget tuh maaf! Udah berkali-kali gue maafin lo, tapi lo-nya teteup aja ngulangin. Basi tauk!” Dan akhirnya hajat Molin untuk menjitak Ray pun tercapai jua. Dengan jitakan yang cukup keras, Molin pun puas. Ray meringis kesakitan sambil mengelus-elus bagian kepalanya yang terkena jitakan Molin tadi.

“Molin, teganya kau pada dirikuu?? Akan kusampaikan kelaknatan engkau ini pada emakkuu.. Mamiii!!! Mamii Riooo!!” Ray pun memanggil-manggil Rio yang baru saja masuk kelas bersama dengan Sivia, yang sukses membuat Rio menghindar dari Ray yang berusaha memeluknya. Dan juga, hal ini berhasil membuat Sivia, Molin, dan murid-murid kelas XI-III yang berada di kelas kocak itu tertawa geli melihat kelakuan mereka.

Namun, kesenangan mereka itu harus terhenti karena bel masuk berbunyi, tepat saat Rio sedang berusaha menjauhkan Ray darinya untuk menghindari dipeluk oleh Ray. Tak lama guru mata pelajaran pertama kelas XI-III pun datang. Langsung saja kelas menjadi hening saat kedatangan guru yang menurut mereka killer itu di kelas XI-III.

# # # # #

“PENGUMUMAN. KEPADA MARIO STEVANO, MUHAMMAD RAYNALD, ASHILLA, SIVIA AZIZAH, MOLIN SANTANA, DAN GABRIEL STEVENT DARI KELAS XI-III, HARAP MENUJU RUANG GAMASTA EVENT ORGANIZER, KARENA ADA BEBERAPA HAL TENTANG FESTIVAL MUSIK YANG HARUS DIRAPATKAN. SEGERA. TERIMA KASIH. SELAMAT PAGI,” Kotak ‘halo-halo’, begitu murid-murid di GIHS menyebutnya, mengeluarkan pengumuman yang diumumkan oleh Ify. Apa tadi pengumumannya? Perbaikan beberapa hal tentang Festival Musik? Tidak mungkin. Begitulah pemikiran dari Rio.

Rio, Ray, Shilla, Sivia, Molin, dan Gabriel, murid-murid yang namanya disebut dalam pengumuman tadi, segera beranjak dari bangku mereka. Setelah meminta ijin, mereka pun –dengan penuh terima kasih pada Ify—keluar dari kelas XI-III. Terbebas dari pelajaran kimia yang benar-benar membosankan. Dengan diiringi keluhan iri teman-teman kelas mereka yang lain.

Sivia, yang merasa tidak ada hubungannya dengan festival musik itu, menarik lengan Rio agar pemuda itu menyamakan langkah dengannya saat akan menanyainya.

“Maksudnya apaan nih? Kenapa gue ikut dipanggil juga? Gue kan ga pernah jadi anggota GEO..” serbu Sivia tak sabar. Ia benar-benar penasaran dengan motif dibalik pemanggilan itu.

“Yaelaa, tenang aja kali, Vi. Mereka justru nyelametin kita. Mereka tau kita ada kimia hari ini. Jadi mereka sengaja bikin alesan biar kita bisa bebas dari kimia,” jelas Rio.

“Tapi kan gue ga pernah jadi anggota GEO. Kenapa gue diikutin juga?” tanya Sivia lagi.

“Mmm, gue pernah denger dari Alvin sekali, tau kapan, kalo lo tuh benci banget sama yang namanya ilmu pasti. Kan kimia masuk tuh.. Jadi harusnya lo berterima kasih sama Ify karena dia ngeluarin lo dari neraka dunia yang lo sebut ilmu pasti itu,” jelas Rio lagi.

“Tapi gimana kalo emang bener ada yang salah sama festival kalian?”

“Ya berarti kita emang harus bener-bener keluar dari kelas mematikan itu. Kenapa emang?”

“Lah, trus gue ngapain dong?”

“Maksudnya?”

“Dong-dong deh lo, Yo. Gue kan bukan anggota GEO. Gue nagapain coba kalo kalian pada rapat? Bengong sampe kesurupan? Ogah banget kalii,”

“Ya tinggal ikut rapatnya. Ribet amat,”

“Ogaah, Rio Gantengg.. Gue bingung kalo disuruh rapat. Gue pasti ngacir ga tau kemana kalo disuruh rapat..” Penjelasan Sivia barusan ini membuat Rio tersentak. Sebegitu banyak kemiripankah dirinya dengan gadis manis yang menggamit lengannya ini? Rio juga tersipu karena fakta bahwa Sivia sekarang sedang menggamit lengannya. Seakan—lancangkah ia menagatakannya—tidak ingin melepasnya. Tidak ingin jauh darinya. Dan fakta bahwa Sivia menganggapnya ganteng. Namun dari nada bicaranya, bisa langsung disimpulkan bahwa gadis di sebelahnya hanya bercanda menganggapnya ganteng. Namun, itu tidak meredam api kasmaran Rio. Sedikitpun.

“Ya ntar sama gue aja deh.. Gue juga agak ga suka kalo ada rapat-rapat beginian. Makanya gue ga terlalu suka ada di organisasi. Apalagi jadi ketuanya. Hiiiyyy.... Ngeri gue ngebayanginnya,” Rio berpura-pura bergidik ngeri agar pengakuannya barusan terlihat meyakinkan.

“Kalo mau boong, kira-kira dong, Mas Ganteng.. Lo kan emang ketua. Iya kan?”

“Hah? Ketua apaan?”

“GV, GV. Lo buang kemane tuh jabatan yang satu itu?”

“Oh iye.. sampe lupa gue. Lo inget mulu deh. Keren banget lo. Cocoklah kalo jadi calon gue..” Ups, keceplosan. Rio tidak sengaja mengungkapkan keras-keras keinginan terpendamnya itu.

“Calon apaan? Calon pembantu? Ogah yee!” Sivia melepaskan gamitannya pada lengan Rio dan menghampiri Shilla yang berada tidak jauh di depannya. Rio agak sedikit kecewa saat gadis manisnya itu melepaskan gamitan pada lengannya. Rio menghela nafas pasrah. Mungkin belum saatnya. Namun suatu saat, ia pasti akan mendapatkan hati gadis manis bernama Sivia itu.

Rio terlalu sibuk melamunkan gadis pujaannya itu, hingga ia tidak menyadari pintu ruang GEO yang terbuka di depannya. Dan..

DUKK!

“ADOOOHHH!!” Rio berteriak kesakitan sambil memegangi bagian dahinya yang terantuk pintu GEO.

“Siapa sih nih, yang naro pintu di sini??? Bikin orang kejedot tau ga??” rutuknya tidak keruan. Rutukannya ini berhasil mengundang tawa anggota GEO dan juga Sivia.

“Elaah, bukannya bantuin, malah ngetawain.. Sakit taukk!!” lanjutnya. Sivia, yang tengah terbahak, terketuk jua pintu hatinya. ‘Kasian juga nih anak,’ pikir Sivia. Kemudian dengan sigap menarik lengan Rio, membimbingnya ke dalam ruang GEO yang luas. Kemudian membuka kotak P3K di sana, setelah bertanya pada salah satu penghuni GEO.

Ia membubuhkan sedikit air, entah milik siapa, ke atas secuil kapas. Kemudian membersihkan luka hasil ‘mencium’ pintu di dahi Rio dengan lembut. Rio, juga anggota GEO yang lain, terbengong-bengong melihat apa yang tengah dilakukan oleh Sivia.

Dengan sigap dan cepat, seakan seorang profesional, Sivia meneteskan antiseptik pada kapas yang lain, dan membubuhkannya pada luka Rio. Karena saking kagetnya, Rio sampai tidak merasakan perih yang timbul akibat kontak luka di dahinya dengan antiseptik itu. Sivia menyobek bungkus plester yang terdapat dalam kotak P3K tersebut, menyingkirkan pelindungnya yang berbentuk persegi panjang putih, dan menempelkan plester tersebut pada dahi Rio yang terluka. Kemudian, sebagai sentuhan terakhir, Sivia mengecup dahi Rio sekilas, yang hanya membuat Rio dan anggota GEO lainnya membelalak kaget.

Sivia membereskan barang-barang yang dipakainya. Memasukkan antiseptik ke dalam kotak P3K dan membuang kapas-kapas bekas ke dalam tong sampah. Saat ia berbalik, barulah ia sadar bahwa sedari tadi 21 pasang mata menatapnya dengan tatapan tak percaya. Alvin, yang bahkan sudah sangat terbiasa dengan kebiasaan adiknya ini, tetap saja membelalak kaget. Bukan karena apa yang telah ia lakukan, namun kepada siapa.

“Vi, kebiasaan kamu itu emang ga bisa diilangin ya.. Kamu sadar ga siapa yang baru aja kamu obatin itu?” tanya Alvin beberapa saat setelah ia sadar dari kekagetannya.

“Mmm, Rio, kak. Kenapa? Salah ya?” Sivia balik bertanya. Apa salahnya sih, mengobati temannya sendiri? Sebegitu salahkah ia mengobati Rio?

“Ya engga sih, cuma.. dia kan, Rio. Kalian kan ga pernah akur sebelomnya,”

“Yaela kak.. Gapapa kan kalo akur? Malah lebih enak kayak gitu kali,” jawab Sivia asal. Kemudian, tanpa melihat sama sekali ke arah kakaknya atau anggota GEO lain (termasuk Rio), ia keluar dari ruang GEO. Melangkah menuju kantin super jumbo GIHS dengan langkah yang sedikit terburu-buru, yang membuat Alvin dan Rio bertanya-tanya.

“Vi!! Mau kemana?!?!” tanya Alvin dengan sedikit berteriak dari depan ruang GEO. Sivia menengok cepat saat mendengar namanya dipanggil, lalu menjawab dengan ‘sedikit’ berteriak pula.

“Kantin!! Via ga mau ikut-ikutan ngurusin festival!!” Dengan itu, Sivia berbalik dan melanjutkan perjalanannya menuju kantin.

Oke, sebenarnya tidak juga.

# # # # #

Sivia melongok, melihat keadaan perpus super GIHS. Setelah mengetahui bahwa penjaga perpus sedang keluar, mungkin istirahat atau apapun itu, Sivia memasuki perpustakaan dengan mengendap-endap. Oke, sebenarnya tidak perlu. Mengingat tidak ada siapa-siapa di sana. Begitu juga dengan Sivia. Saar menyadari bahwa penjaga perpus sedang tidak ada ia langsung berjalan cepat-cepat menuju section buku-buku fiksi. Mengambil buku-buku yang dirasanya menarik untuk ia baca. Dan buku-buku tersebut tidaklah sedikit.

Sivia kemudian mencari tempat duduk yang tidak akan terlihat oleh penjaga perpus atau siapapun, meletakkan 12 buku—novel, tepatnya—yang diambilnya dari rak-rak yang berbeda. Ia menghela nafasnya sebentar sebelum mengambil novel pertama di tumpukan novel tersebut.

“Johanna Lindsey. Captive of My Desires.. Hmm, udah pernah baca..” gumamnya pelan. Lalu meletakkan novel dengan sampul berwarna merah itu di sebelah tumpukan novel yang disusunnya pertama kali. Membuat sebuah tumpukan baru. Kemudian ia mengambil buku yang kedua. Breaking Dawn, karya Stephenie Meyer. Dan menggumamkan kalimat yang sama seperti sebelumnya. Lalu buku yang ketiga dan keempat secara bersamaan. Ia pandang bergantian judul yang terpampang di cover-nya. Marmut Merah Jambu dan The Alchemist. Masing-masing karya dari Raditya Dika dan Paulo Coelho. Lagi-lagi, ia menggumamkan kalimat yang sama. Juga pada buku kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan, kesepuluh dan kesebelas, ia menggumamkan kalimat yang sama saat melihat judul novel yang terpampang di cover-nya.

Hingga di buku terakhir. Buku ke-12. Sebuah Cerita Dari Sang Saksi Mata. Karya Janaya Pangestika *hey, ini buku ama pengarangnya ngarang! Harap dicatat!*. Sebuah buku yang membawanya pada kenangan masa lalunya. Saat ia masih di Perancis. Kala itu, temannya, yang seorang mahasiswi, yang mendapat kesempatan bersekolah di negeri fashionista tersebut, memperlihatkannya sebuah buku karya orang dalam negeri—Indonesia—yang menurutnya keren. Semua ceritanya hampir mirip dengan kejadian-kejadian yang terjadi dalam kehidupannya. Namun sayang. Ia tidak sempat membaca buku tersebut. Temannya itu harus kembali ke tanah air karena program studinya selesai dua hari kemudian.

Sivia sedikit manyun mengingat memori masa lalu itu. Namun, langsung tergantikan dengan rasa penasaran yang membuncah karena akhirnya ia mendapat kesempatan untuk membaca novel yang menurutnya fenomenal itu.

Saat membaca sebuah halaman sebelum prolog, yang ternyata berisikan sebuah puisi pendek, Sivia pun tercengang dibuatnya.

Cinta tak pernah membutuhkan alasan

Jika cinta membutuhkan alasan,

maka, saat alasan itu hilang,

cinta itu pun ikut menghilang...

Sivia melanjutkan acara membaca novelnya. Tidak menghiraukan puisi pendek itu. Tidak menghiraukan kimia yang harusnya sedang ia pelajari di kelasnya bersama teman-temannya. Tidak menghiraukan bahwa ada seseorang yang mencarinya. Yang ia pedulikan sekarang hanyalah novel di tangannya itu. Yang dari dulu ingin sekali ia baca. Dan bagaimana caranya agar ia tidak tercengang melihat kebanyakan adegan yang terjadi di novel itu hampir mirip dengan segala hal yang ia alami di kehidupan nyata ini.

Mulai dari bagian pertama. Saat si tokoh utama wanita baru saja kembali dari Perancis setelah beberapa hari ibunya meninggalkannya dengan ayah tirinya. Dan si wanita harus tinggal dengan kakak tiri, yang sebenarnya seumuran dengannya, di tanah kelahirannya. Indonesia.

Oke. Sivia tidak terlalu mengambil pusing saat melihat adegan ini. Pikirnya, mungkin saja penulis novel ini tidak sengaja. Biasanya kan kalau novel-novel begini ceritanya hanya dari imajinasi. Tidak benar-benar real.

Namun ternyata, kesamaan itu tidak hanya ada di bagian pertama. Beberapa menit kemudian, Sivia menemukan kesamaan pada bagian kedua. Langsung saja ia melewati bagian itu. Ketika membaca beberapa baris pertama pada bagian ketiga, Sivia kembali dikejutkan. Sama.

‘Apa jangan-jangan isinya sama semua??’ pikir Sivia panik. Karena takut akan kesamaan-kesamaan pada novel tersebut, ia menutup novel terkutuk itu cepat-cepat. Kemudian segera mengembalikannya ke rak buku tempat novel itu di ambil. Begitu juga dengan kesebelas buku lain yang ia ambil.

Buru-buru ia keluar dari perpustakaan. Berjalan cepat menuju ruang GEO. Dan melihat Rio duduk termenung sendirian di luar ruang GEO, sesampainya ia di sana. Sivia memelankan langkahnya. Pelan-pelan mendekati Rio.

“Rio!!” Sivia mengejutkan Rio dan menepuk bahunya keras. Rio yang sedang termenung, lantas hampir melompat saking terkejutnya.

“Aah, elo mah.. Ngagetin mulu lo kerjaannya.. Kaya ga ada kerjaan laen tau ga,” rutuk Rio kesal. Kemudian sedikit bergeser untuk memberi ruang pada Sivia agar gadis itu bisa duduk disebelahnya.

“Aelahh, gitu aja marah..” goda Sivia. Kemudian duduk di tempat yang telah disediakan oleh Rio.

“Gue ga marah.. Cuma kesel aja,”

“Ngomong-ngomong, lo ngapain disini sendirian? Yang laennya mana?” tanya Sivia celingak celinguk melihat sekeliling. Sepi. Hanya ada dirinya dan Rio disebelahnya.

“Rapat lah.. Ngapain lagi coba??”

“Kok lo ga ikutan sih?”

“Gue kan udah pernah bilang sama lo kalo gue benci rapat.. Lupa ye?”

“O iya.. Hehehe, ya maaf, namanya juga manusia.. Lupa sekali-kali juga..”

“Yee, lo mah bukan sekali-kali, tapi berjuta kali! Lupa kok terus-terusan..”

“Hah? Gue lupa apaan lagi emang??”

“Tugas lo mana?? Yang harusnya lo kumpulin kemaren itu..”

“Hehehe.. Besok deh gue kasih..” Sivia menggaruk-garuk kepalanya yang sebetulnya tidak gatal.

“Bener? Gue ga mau diomelin Alvin soalnya.”

“Iya deh.. Eh, kalo dikasihin kak Alvin aja gapapa kan?”

“Ga bisa. Dia emang OSIS, tapi gue pemandu lo. Gue yang ngasih tugas, ngumpulinnya di gue juga. Ngerti??”

“Iye ah, bawel lo..”

Sejenak mereka berdua diam. Hening terasa sangat jelas diantara mereka. Sampai akhirnya Rio memutuskan untuk memecahnya.

“Eh, Vi, ngantin yok. Boring gue di sini. Duduk-duduk gaje kayak pengemis gini,”

“Ayok!”

Mereka beranjak dari tempat mereka duduk, berjalan beriringan menuju kantin sekolah. Sambil sesekali diselingi candaan jayus Rio karena mereka berdua terus-terusan bersin berbarengan tak henti-hentinya.

# # # # #

“Eh, ultah lo kapan sih?” tanya Rio saat itu. Rio dan Sivia telah sampai di kantin. Dan mereka berdua sedang sibuk menandaskan jajanan yang mereka beli di stand snack di kantin.

“14 April. Kenapa?” jawab Sivia singkat, kemudian melanjutkan kegiatannya mengunyah Chitato yang dipegangnya dengan barbar seperti biasanya.

“Gapapa. Tanya doang. Ada yang lo pengenin di ultah lo nanti?” tanya Rio lagi. Kali ini agaknya ia serius. Ia meletakkan Chitato yang dipegangnya dan menatap Sivia lekat-lekat.

Sivia menghentikan aktivitasnya dan meletakkan Chitato-nya ke atas meja.

“Ada.” jawabnya singkat. Kemudian ia mulai salting ditanya-tanyai Rio seperti ini. Ia menundukkan kepalanya, memainkan jemarinya berulang kali.

“Apaan? Kalo boleh tau,”

“Gue pengen Papa sama kak Alvin ada pas hari ultah gue besok. Lo tau kan mereka kayak gimana?” Rio mengangguk mengerti. “Karena mereka workaholic banget, gue ga yakin mereka bakal ada di rumah buat, seenggaknya, ngucapin selamat ulang tahun. Bokap juga pasti udah di Prancis lagi pas ultah gue. Ga enak banget kalo tiap taun yang ngucapin selamat ulang taun tiap pagi pas gue bangun cuma pelayan di rumah lama ato pun rumah baru. Gue bahkan ga pernah dapet ucapan ultah secara langsung dari nyokap pas beliau masih di sini. Payah ya..” Sivia mengangkat kepalanya ke arah Rio dan tersenyum lemah padanya. Keputusasaan tergambar jelas.

“Lo mau kan, Yo, jadi yang pertama ngucapin selamat ultah ke gue tanggal 14 April nanti?” pinta Sivia sambil melemparkan pandangan penuh harapnya pada Rio. Mengharapkan pemuda di seberang tempat duduknya menjawab ya. Rio membalas pandangan Sivia dengan tatapan kasihan dan penuh keprihatinan. Tak kuasa hatinya melihat gadisnya putus asa.

“Gue ga bisa janji. Tapi, gue bakalan usaha buat jadi yang pertama. Gimana?” jawab Rio akhirnya. Sivia terkejut mendengarnya. Walaupun itu bukanlah jawaban yang ia inginkan, tetapi cukup untuk meyakinkan dirinya bahwa Rio bersedia.

“Yakin?”

“Yep. Tapi jangan marah kalo ternyata gue ga nepatin janji gue.”

“Loh, kenapa?”

“Gue ngedaftar buat ikut festival. Jadi mungkin ntar gue bakal sibuk banget. Latian padus lah, latian sama anak-anak orkestra lah, rapat GEO, rapat OSIS segala macem. Jadi gue ga bisa janji. Kayak yang udah gue bilang tadi. Gapapa kan?”

“Gapapa kok, Yo. Gue ngerti. Eh, lo jadinya ikut festival nih?”

“Iya.”

“Kenapa?”

“Ya gapapa. Ga boleh emangnya?”

“Ya ga gitu juga sih. Tapi bukannya lo ga mau maen musik lagi ya?”

DEGG! ‘Darimana Sivia tau?’

“Lo tau darimana?”

“Kak Alvin. Dia kan orangnya ember banget. Cablak, suka ngebocorin rahasia orang. Tau kan maksud gue?”

“Elaahh, si Alvin emang ember bocor nih.. Perlu ditambal deh kayaknya,”

“Hahaha! Emang tuh, bener banget lo, Yo..”

Drrtt.. drrtt..drrtt..

Rio mengambil ponselnya yang bergetar di atas meja. Melihat siapa orang yang berani mengganggu obrolannya dengan gadisnya. Alvin.

‘Mampus gue,’

“Halo.. Ini Rio, Vin.. Kantin.. Sivia..” Sivia menengok cepat mendengar namanya disebut-sebut. “Kagak gue apa-apain lagi, tenang aje.. Iye.. Ogah ah! Lo kan tau kenapa.. Iye Alvin sayang.. Ya gapapa lah, bisa diatur itu ntar sama Bu Jody.. Iyeh Vin! Buset lo dah.. Oke oke.. Yok..” Rio mengakhiri teleponnya dengan sedikit kesal. Ketua OSIS satu itu kalau sudah bicara tentang adiknya tersayang, pasti langsung jadi protektif minta ampun. Ga boleh ini lah, itu lah, ga boleh memar atau lecet sedikitpun. Kalo ga, ujung-ujungnya siapapun yang bikin adiknya itu luka, bakal berakhir di rumah sakit terdekat. Serem. Tapi Alvin itu kepemimpinannya bagus banget. Tegas. Ga main-main. Cekatan. Ini itu, jebret bret, selesai. Semua siap dalam sekejap. Tak ada yang terlewat. Tak ada satupun kekurangan.

“Kenapa, Yo?” tanya Sivia saat melihat Rio dengan kesal memencet tanda ‘End’ di iPhone-nya.

“Si Alvin, nanyain gue dimana, sama siapa, lo gue apain aja. Trus tanya tentang keikutsertaan gue di festival, setting jadwalnya ntar gimana, de el el, de es be, e te ce. Galak bener sih, tuh orang satu. Kayak mau dimakan lewat telpon gue sama dia waktu denger gue lagi sama lo.” jelas Rio panjang lebar, sambil memasang muka kesal khasnya`yang sukses mengundang tawa renyah Sivia keluar dari bibirnya. Rio sempat tersipu mendengar tawa gadis sipit itu. Namun dengan cepat ia bersikap cool lagi.

“Elaah, malah ketawa. Gue takut nih ama kakak lo yang super duper galak itu.”

“Ih, elo. Sama kak Alvin kok takut. Aneh deh,”

“Halah, udah ah. Kita disuruh balik nih ke kelas. Rapatnya udah selese.”

“Yaah, kok balik sih??” Sivia merengut lucu karena ia harus kembali lagi ke kelas, yang artinya harus kembali pada kimia laknat itu.

“Ck, gapapa lagi. Tinggal 15 menit lagi nih. Lumayanlah dapet ilmu dikit. Yok ah!” Rio membereskan bungkus-bungkus Chitato kosong dan membuangnya ke tempat sampah terdekat. Kemudian kembali lagi ke meja mereka, mengambil ponselnya, mengantonginya dan menarik pergelangan tangan Sivia tanpa sadar. Menyeretnya ke kelas XI-III.

Mereka berjalan melewati jalan pintas menuju kelas mereka. Saat melewati ruang GEO, pintu ruang tersebut terbuka, dan keluarlah Ray, Gabriel, Shilla, dan Molin, sambil ribut-ribut entah ngegosipin siapa lagi.

“Elaaah, Yo.. Lo tuh ga ikut rapat, ternyata malah pacaran sama Sivia toh?” tanya Molin dengan gamblangnya. Langsung saja ia terkena serangan cubitan dari Shilla dan mengaduh sakit karenanya.

“Iiihh! Shilla mah.. Sakit tauk!” Molin menggembungkan pipinya kesal sambil mengelus-elus lengan atasnya yang dicubit Shilla.

“Emang kalian ga pacaran ya? Tapi kok keliatan kayak orang pacaran sih?”

PLAKK!!

Giliran Gabriel sekarang yang tersakiti *tsaahh.. bahasanya..* akibat ucapannya sendiri. Ray menampar bagian belakang kepala Gabriel keras-keras.

“Diem lo.” kata Ray tegas.

“Iih, apaan sih?? Ya kalo mereka ga pacaran, trus ngapain gandengan coba? Nahlo..” balas Gabriel. Ray, Shilla dan Molin serentak menatap ke arah tautan tangan Rio dan Sivia.

“Cieeeehh!!! Kok ga bilang sih kalo udah jadi???”

Sivia sontak melepaskan tautan tangannya dengan Rio dan menundukkan kepalanya. Tersipu malu akan pertanyaan teman-temannya. Cepat-cepat ia meninggalkan tempatnya, menuju kelas XI-III dengan perasaan malu memenuhi sebagian pikirannya.

Sesampainya ia di depan kelasnya, ia mengatur nafasnya sebentar. Berpikir mengapa ia harus malu. Dan mengapa pula ia tersenyum senang?? Saat menyadarinya, Sivia buru-buru mengahapus senyum sialan itu dari wajahnya. Setelah tenang, ia mengetuk pintu kelasnya tiga kali. Kemudian masuk setelah dipersilahkan oleh Bu Karin, guru kimianya, dan duduk dengan—anehnya—tenang di tempatnya, mengikuti menit-menit akhir pelajaran yang selalu dibencinya itu.

Lagi-lagi, senyum menyusupi wajah manis Sivia ketika ia mengingat wajah Rio dan tautan tangan mereka tadi. Oh, tidak. Jatuh cintakah ia?

# # # # #

---------------------------------------------------------------------------------------------

ya oke. gue mikir cerita ini makin ga jelas alurnya. pokoknya tuh intinya gini. ada cewek cowok, mereka tuh temen sejak kecil, tapi yang cewek harus pindah ke luar negeri, belom tau kenapa, sama bokap tirinya. tapi abang tirinya ga ikutan. jadi cuma dia doang gitu. trus kan si cowoknya ada masalah, tapi si ceweknya ga ada di samping dia. suatu hari si cewek pulang. nyokapnya habis meninggal. disuruh buat tinggal sama si abang. nah pas itu dia ketemu lagi sama temen cowoknya. tapi agak2 lupa. udah sekitar 9 tahunan kali ya? au lupa. trus jatuh cinta, trus ada masalah, trus marahan, baikan lagi, happily ever after deh. gituu...
oke deh, keep reading pokoknya!
thanks!!

Please leave any comments on this blog or on my facebook: Umi Sa'adah
or on my twitter: @umisaadah95. Thanks :)