Pinter ga tuh?!
Biasanya gitu kan, yak? Sampai waktunya datang~ *nyanyi bentar*
Shit. Cakka Nuraga sekarang ganteng banget. Shit. Shit. Udah ah.
Eh, saya ranking 1 lagi. Tapi, entah kenapa rata-ratanya bikin mringis. 6.99. Parah gak sih? Padahal target paling nggak 7.5. UCUN 2 aja deh 7.5-nya. Trus juga selisih rata-rata rank 1 sama 2 cuma beda 0.03 doang. Eh, sialan bener. Mana nilai paling tinggi 9.00. Sisanya merayap. 5,6,7. Thok thil. Eh, edyan bener dah.
Selama UCUN, saya nggak bisa konsen baca novel lagi, atau bahkan dengerin lagu atau sekedar merem istirahat. Jadinya harus break novelnya, banyakin istirahatnya, dan kalo bisa tidurnya nggak pake dengerin musik. Pusing soalnya.
Ngomong-ngomong, ada yang lebih nomer 1 nih. Kayaknya baru jumat ato kapan gitu nyoba follow @alexandrarheaw, dan nyoba req. Minggunya udah di approve aja gitu. Hehehe. Seneng gak keruan. Kaget juga. Hampir seseneng di follback 'dia'. Walaupun waktu itu udah males sih. Nah, balik ke Tante Alex. Sekarang sih agak aneh kalo nemu twit.an Tante Alex di timeline. Aneh aja gitu. Tapi asik. Curhatannya soal kehamilan dan kebegoan Om Beno bikin ngakak tiap hari. Asik, sumpah.
Tapi ya itu. Lagi UCUN. Jadi nggak bisa sering-sering. Konsentrasi buyar semua ntar.
Eh, besok Prancis & Inggris loh. Tapi *bukan sok jago* belajar Prancis ajah. Inggrisnya bisa dinalar-nalar ntar.
Ngomong-ngomong, entah kenapa pengen nostalgia sama Mas Saka Dinata lagi masa. Kan ribet pinjemnya ke Vidia. Lagian, lagi ngomongin apa sih ini? Rank 1, Tante Alex, apa Mas Saka? Mending nge-Ilham Fauzi aja deh. Hoho.
Gak penting banget yah.
Regards,
Umi Sa'adah =]
Senin, 18 Februari 2013
Sabtu, 16 Februari 2013
When It Rains [part. 8]
Drrt.. drrt..
From : TukangTarik
Cip, ke psr malem yok,
Pasar malam? Tumben banget Rio ngajakin ke pasar malam. Ada
yang aneh kayaknya. Perlu diselidiki.
From : TukangTarik
Ad yg laen2 jg. Apin aja ikut.
Tapi dy brg Ipoy. Udah berangkat.
Ooh, pantesan rumah sepi banget. Ternyata si tuan muda satu
itu sedang kencan bersama sang kekasih di pasar malam entah dimana itu.
To : TukangTarik
Funfair? Which one?
Kyknya ga ada psr malem deh hri ini. D smg.
From : TukangTarik
Bkn d smg. Ungaran.
Alun2. Ikutan yok : )
To : TukangTarik
Jauh ga sih?
From : TukangTarik
Ga. Uda ikutan aj -_-
To : TukangTarik
Iya deh.
Lo jmput gw tapi. Hhe.. :P
From : TukangTarik
Gw uda d rmh lo.
5 mnt lg ga trun, gw tggal.
To : TukangTarik
Iye, iye. Bawel lu ah,
Sivia bergegas mengganti nama kontak Rio dengan TanteRio
sebelum mengganti piyama birunya dengan kaos plain white dan skinny jeans
hitam. Kemudian ia memasukkan ponselnya ke dalam saku jeansnya dan menyambar
cardigan hitam favoritnya dari kursi belajar. Lalu mengambil flat shoes hitam
dan keluar terburu-buru dari kamarnya.
Saat ia sampai di ruang tamu,terkejutlah ia saat melihat Rio
tengah duduk dengan santainya, telah rapi dengan pakaian yang hampir sama
dengannya. Jeans hitam, kaos putih polos, converse hitam dan jaket hitam polos.
“Lah, kok sama sih?” tanya Sivia heran sambil menunjuk
dirinya dan Rio bergantian.
“Elaah, gapapa lagi. Udah, ga usah ganti baju. Kita langsung
berangkat aja.” kata Rio menyarankan.
“Tapi...” Sivia hendak menyanggah, namun ia tidak cukup
cepat.
“Udah, ga usah pake tapi. Eh, lo ada helm ga?” tanya Rio
terburu-buru. Ia melirik arlojinya. 18.27. ‘Keburu malem nih,’
“Ada di depan.” jawab Sivia lemas.
“Ya udah. Ayo!” ajak Rio semangat. Ia melenggang mendahului
Sivia menuju motor hitam besarnya yang terparkir di halaman kediaman Sindhunata.
Sementara Sivia sengaja berjalan agak lambat mengikuti langkah-langkah mantap
Rio. Ditatapnya punggung tegap Rio yang semakin menjauh, yang hanya membuatnya
tersenyum heran dan mempercepat langkahnya. Ia tahu Rio sudah kesal menungguinya
datang dan segera menaiki motornya. Secepatnya berangkat ke pasar malam itu.
Sivia menyambar helm putih yang sering ia pakai saat
berangkat sekolah bersama sang kakak dan cepat-cepat menaiki motor Rio.
“Ayo, Yo! Berangkaatt!!!” Sivia mengangkat kepalan tangannya
tinggi-tinggi tanda semangat. Rio hanya memandangnya dengan wajah yang
seolah-olah mengatakan plis-deh-lo-udah-gede-malu-maluin-aja. Sivia hanya
mengeluarkan senyuman tidak berdosanya, yang ternyata bisa membuat Rio
menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Kemudian memacu motornya cepat, keluar
dari kediaman Sindhunata, menuju Ungaran Funfair entah dimana itu. Menurut
pandangan Sivia.
@Ungaran Funfair.
7.02 pm.
“Anjrit ah, Vi... Gue ga mau.. Lo tau kan kalo gue phobia
gelap. Plis, Vi... Ogah gue.. Najis ah,” tolak Rio melas sambil menarik-narik
tangannya agar lepas dari genggaman tangan Sivia yang—ternyata—cukup kuat juga.
Baginya.
“Ih, Yo.. Lo tuh ye.. Cowok kok takut gelap,” komentar Sivia
sambil terus menarik-narik Rio. “Ayo ah!!” Dengan paksa, Sivia menyeret Rio
menuju wahana permainan di pasar malam itu. Rumah Hantu Sisillia. Begitu judul
yang terpampang besar-besar di kayu-kayu yang membentuk seperti sebuah gapura.
Setelah membayar sejumlah uang untuk ditukar dengan tiket
masuk, Sivia kembali menarik-narik Rio menuju pintu masuk rumah hantu tersebut.
Dan semakin dekat mereka ke pintu masuk, semakin pucat wajah Rio dibuatnya.
Awalnya mereka memang dipandu dengan seseorang yang, kemungkinan, panitia pasar
malam itu. Namun, setelah beberapa saat mereka memasuki Rumah Hantu Sisillia,
pemandu itu harus meninggalkan mereka. Katanya harus cari jalan keluar sendiri.
Mampuslah Rio. Harus keliling rumah hantu sialan ini berdua Sivia. Rio
benar-benar mengabaikan fakta bahwa ia sekarang sedang berdua bersama Sivia. Ketraumaannya
terhadap kegelapan jauh lebih besar sehingga fakta itu tenggelam habis-habisan
ditelan trauma Rio.
Sivia berjalan pelan, menuntun Rio dan dirinya agar bisa
keluar dari rumah hantu tersebut. Sesekali ia terkikik geli melihat Rio yang
ketakutan dan setan-setan palsu yang dibuat panitia pasar malam. Saat akhirnya,
momen itu datang juga. Tepat ketika sebuah boneka berbentuk bungkus permen
sugus rasa susu terjatuh tiba-tiba di depan mereka.
Refleks, Rio langsung memeluk Sivia dari belakang. Menutup
matanya rapat-rapat dan membenamkan wajahnya pada bahu Sivia. Sedang Sivia
hanya tertawa terbahak-bahak melihat respon dari Rio yang super ketakutan itu.
Pelan-pelan ia melepaskan cengkeraman tangan Rio dari kaus putihnya. Kemudian
meraih tangan Rio dan menggenggamnya erat. Menenangkannya sebentar sampai
akhirnya ia merangkul tengkuk Rio, membenamkannya lebih dalam pada bahunya. Ia
bisa merasakan dingin air mata cowok itu di kausnya. Benar-benar ketakutan ia.
Tak peduli berapa umurnya sekarang.
Cepat-cepat Sivia menuju pintu keluar dan langsung menuju
bagian pasar malam di mana hampir tidak ada orang di sana begitu ia bisa
mendengar ingar-bingar musik dangdut murahan pasar malam.
Segera didudukkannya Rio di atas tempat duduk semen yang ada,
membiarkan cowok itu menuntaskan ketakutannya di bahu Sivia. Membiarkan cowok
itu merusak kaus putih Sivia. Ia juga sesekali menenangkannya dengan
menyanyikan lagu-lagu bernada jazzy yang memang menenangkan.
Setelah beberapa lama, Rio mulai tenang. Ia mengangkat
kepalanya sedikit sambil terus mengatur napasnya. Dengan tisu yang dibawanya,
Sivia menghapus sisa-sisa air mata Rio. Dengan penuh kesabaran, kekhawatiran
dan sambil terus menyanyi, Sivia mengahpusnya perlahan-lahan. Agak sedikit
bersalah juga ia melihat Rio ketakutan begini. Walaupun ia tahu sejak dulu Rio
memang phobia gelap. Pernah suatu kali Rio dikunciin di kamar mandi, lalu
lampunya di matikan. Histeris sekali ia saat itu.
Perlahan namun pasti, Rio tenang. Napasnya kembali teratur
dan bulir-bulir air mata tidak lagi berjatuhan. Sivia memeluk Rio sebentar,
lalu memulai percakapan.
“Lo udah nggak pa-pa kan?” tanya Sivia khawatir. Rio hanya
mengangguk pelan menanggapi pertanyaan Sivia.
“Maaf ya.. Gue ga ada maksud buat bikin lo jadi kayak gini.
Bener-bener ga ada. Gue ga tau kalo bakal begini jadinya. Kan niat kita kesini
buat seneng-seneng. Di pasar malem kan yang paling menantang cuma rumah
hantunya...” jelas Sivia takut-takut. Ia takut Rio akan murka pada dirinya
karena telah memaksa Rio bermain di area terlarang bagi Rio itu. Tapi ternyata
dugaannya salah. Rio mengusap wajahnya yang basah karena air mata, lalu ia
berdiri. Kemudian dengan lembut, ditariknya Sivia hingga berdiri dan
mengajaknya ke satu booth yang
menjual aneka camilan ringan. Rio membeli 2 botol air mineral. Kemudian
berjalan sedikit menjauh dari keramaian pasar malam. Satu botol ia berikan pada
Sivia. Disuruhnya Sivia untuk minum sedikit agar tidak dehidrasi. Dalam remang
cahaya di tempat mereka kini, Rio bisa melihat wajah pucat Sivia. Entah
kelelahan atau apa, namun yang terpenting ia tidak ingin gadisnya itu
kenapa-napa.
Satu botol lagi untuk dirinya membersihkan mukanya yang
sedikit kucel setelah adegan pertumpahan air mata tadi. Setelah ia selesai, ia
menenggak habis minumnya, lalu melemparkan botolnya yang kini kosong
sembarangan entah ke mana.
“Iih, jangan buang sembarangan doong!” Sivia menampar lengan
Rio, cukup keras, karena Rio terlihat kesakitan setelahnya.
“Dih, suka-suka gue kali. Yang beli kan gue,” balas Rio
tenang sambil mengusap-usap bagian lengannya yang ditampar Sivia tadi. “Lagian,
lo tuh makan apa aja sih tadi? Sakit banget tau nggak lengan gue yang lo gampar
barusan,”
Sivia sukses manyun dibuatnya. Rasa bersalahnya tadi pada
cowok di depannya ini menguap begitu saja. Diremasnya botol air mineral yang
digenggamnya, lalu dilemparkannya ke arah Rio. Dan benda itu sukses menghantam
dada Rio yang bidang. Dengan kesal Sivia meninggalkan Rio di tempat itu.
‘Yaah, marah kan,’ batinnya menyesal. Buru-buru ia menyusul
Sivia. Terpaksa ia melangkah cepat-cepat karena Sivia juga melangkah cepat.
Sambil menghentakkan kakinya kesal pula.
Begitu sudah agak dekat, Rio meraih tangan Sivia, menahan
langkah-langkah kesalnya dengan paksa. Ditatapnya manik coklat gadis itu
lekat-lekat hingga terlihat rona kemerahan itu di pipi chubby yang sudah sangat familiar baginya.
Merasa rona sialan itu sudah tertera jelas di pipinya, Sivia
buru-buru mengalihkan pandangannya. Memecah konsentrasi Rio yang sedang
memandang manik coklat menawan itu. Rio hanya terkikik geli melihat reaksi
gadis di depannya ini. Sungguh manis bagaimana rona itu ternyata sedikit
menghangatkan dadanya yang kelewat dingin, yang kekurangan dosis kehangatan
kasih sayang ini.
“Udah dong. Jangan ngambek gitu. Ntar cantiknya ilang loh,”
rayu Rio. Sivia lantas melemparkan pandangan kesalnya pada pemuda yang tengah
menggenggam pergelangan tangannya itu.
“Gini deh. Gue traktir lo aja gimana? Jarang-jarang kan, gue
baik gini. Sama lo lagi,” Rio tersenyum meyakinkan. Dan Sivia membalas ajakan
itu dengan senyum penuh dendam.
Dan kejam.
# # # # #
“Arum manis dong, Yo...” pinta Sivia dengan wajah memelas.
Rio memandangnya sekilas, kemudian tersenyum dan menarik Sivia menuju
abang-abang penjual arum manis.
“Bang, arum manisnya satu ya?” Abang-abang penjual arum manis
tersebut langsung mengacungkan kedua jempolnya dan memulai pekerjaannya membuat
arum manis pesanan Rio.
“Mau yang bentuknya gimana, dek?” tanya si abang. Rio
terlihat berpikir sebentar sebelum menjawab.
“Lope-lope aja, Bang. Gimana, Vi?” Sivia melongo mendengar
bentuk yang disebutkan Rio tadi. Lope-lope? Love? Iihh....
“Diih, ogaah.. Masa lope-lope sih?? Ga, Bang, yang biasa aja.
Jangan mau disuruh ni orang sinting.” Rio terkikik geli mendengar penolakan
dari Sivia itu. Dengan masih menahan geli, Rio nekat berdebat dengan Sivia.
“Alah, udahlah.. Lope-lope aja.. Gue juga kan yang bayar,”
“Iiih, ga mau... Lebay banget tau ga pake lope-lopean segala.
Ga!”
“Iya!”
“Enggak!”
“Ayolah, Vi..”
“Gue ngambek nih,” Skak mat. Rio langsung memohon-mohon agar
Sivia tidak ngambek dan akhirnya memenuhi permintaan Sivia.
“Ya udah deh, Bang. Ga jadi lope-lope. Lady Gaga aja. Biar
dia ga ngambek nih..” kata Rio pasrah. Abang arum manis yang sedari tadi dengan
santai menyaksikan perdebatan dua anak manusia itu hanya terkekeh geli. Anak
muda jaman sekarang.
“Hehehehehe... Adek-adek ini romantis banget, deh. Abang
doain kalian langgeng, ya... Silakan tunggu 5 menit. Dan arum manis siap di
tangan.”
Apa tadi? Romantis? Langgeng? Rio dan Sivia sama sekali tidak
mendengar dua kalimat terakhir. Hanya dua kata sialan yang bikin pipi merah itu
saja yang terus terngiang-ngiang dalam dua kepala manusia itu.
“Kita ga pacaran kali, Bang!” sergah Rio dan Sivia bersamaan.
Abang arum manis hanya terkekeh tanpa suara sambil terus memutar-mutar alat
pembuat arum manisnya. Tak berapa lama, abang arum manis selesai. Ia
menyerahkan arum manis masterpiece-nya pada Rio dan diberikannya pada abang
arum manis selembar dua puluh ribuan. ‘Mahal amat,’ pikir Sivia heran.
“Mahal banget, Yo, sampe dua puluh ribu gitu,” katanya heran
sambil mengemut arum manis yang ia sobek sedikit demi sedikit.
“Yang mahal tipnya..” balas Rio santai.
Kemudian ia mengajak Sivia untuk mencoba wahana lain. Dan
yang dipilih oleh Rio adalaaahh..... jeng, jeng....
Komidi putar!
“Hah? Serius lo, Yo? Itu kan, buat anak kecil..” protes
Sivia. Jelas saja protes. Siapa sih, remaja yang mau naik wahana buat anak
kecil gitu? Paling banter juga naik bianglala. Itu aja juga dimanfaatkan untuk
hal yang aneh-aneh.
“Udahlaahh.... Nggak usah protes. Manut gue aja...” paksa
Rio. Alhasil, mau tak mau, Sivia harus mau. Daripada ia harus pulang sendiri
karena Rio tak mau mengantar karena ngambek Sivia nggak mau naik komidi putar?
Ogah deh.
Setelah menukar sejumlah uang yang kelihatannya banyak—karena
Sivia sempat melihat Rio mengeluarkan 4 lembar uang sepuluh ribuan, padahal
harga karcis naiknya hanya empat ribu rupiah saja—Rio menarik lengan Sivia yang
sedang tak memegang apa-apa menuju wahana anak-anak tersebut. Ia juga
menyerahkan sepuluh lembar karcis pada mas-mas panitia. Dan membisikkan sesuatu
di telinga mas-mas itu. Sepertinya penting, karena mas-mas itu mengacungkan
jempolnya tanda setuju pada Rio setelah membisikinya tadi.
“Yuk, Vi,” ajaknya lembut. Mereka menaiki sebuah kereta kuda
kecil yang jelas-jelas tidak akan muat untuk dua orang, namun tetap mereka
paksakan. Sempit, sempit deh.
Dan komidi putar tersebut mulai bergerak. Sivia dan Rio mulai
merasa tidak nyaman. Akhirnya, Rio meminta Sivia duduk di atas sandaran kereta.
Dan Rio duduk di bawahnya. Macam pelayan dan tuan putri.
Batas waktu komidi putar ini adalah 10 menit untuk satu
karcis. Sedangkan kini, mereka sudah berputar selama sekitar 30 menit. Sivia
mengerti dengan karcis-karcis yang dibeli Rio dalam jumlah banyak itu. Dan
acungan jempol mas-mas operator komidi putar.
“Lo ada rencana apa, sampe beli banyak karcis gitu?” tanya
Sivia menyelidik. Rio hanya tersenyum acuh merespon pertanyaan Sivia. Gadis itu
manyun ketika pertanyaannya hanya disenyumi saja. Ia butuh jawaban! Dalam
kata-kata!
“Woiii.... jawab napa?? Bibir lo yang seksi itu kan masih
pada bagus-bagus. Ga cacat, ga bonyok,” Sivia merayu. Dan lagi-lagi, Rio hanya
tersenyum.
Oke, kesabaran Sivia sudah menipis. Perlu diisi ulang ini!
Dasar cowok, makinya dalam hati.
Akhirnya, Sivia menyerah. Ia tidak ingin bertanya lagi. Ia
yakin bila ia berani bertanya lagi, lama-lama senyum Rio akan semakin melebar,
dan akan tetap seperti itu sampai besok pagi bila ia bertanya lebih banyak.
Menghibur memang, tapi ia masih tetap punya hati. Tidak seperti pemuda di
samping bawahnya ini. Menyebalkan. Totally
annoying.
Satu jam kemudian, Rio bangkit dengan semangatnya. Ia
berjalan meninggalkan Sivia, pergi berdiskusi dengan mas-mas operator tadi.
Lagi-lagi mas-mas itu mengacungkan jempolnya mantap. Rio kembali ke komidi
putar, sedikit melompat saat akan menaiki komidi putar yang sedang bergerak.
Sesampainya ia di tempat yang ia tinggalkan tadi, ia sodorkan
tangannya. Bibirnya menyunggingkan senyum yang membuat semua orang akan luluh
dan percaya padanya seketika itu juga. Dan itulah yang terjadi pada Sivia.
Hanya saja, senyum itu mempunyai arti yang sangat berbeda dengan apa yang
dijabarkan barusan. Arti tersendiri bagi Sivia.
Diajaknya gadis itu turun dari wahana anak-anak tersebut.
Dengan sangat hati-hati seperti sedang menurunkan guci emas milik Raja Fir’aun
yang bila miring sedikit saja, hukuman pancung langsung dilaksakan saat itu
juga. Dan gadis yang digandengnya ini adalah guci emasnya. Yang harus ia jaga
dengan sangat hati-hati agar tidak tergores barang setitikpun.
Sebelum keluar dari wahana tersebut, Rio melepas genggaman
tangannya sesaat. Ia ajak empat anak kecil berpakaian sedikit kucel. Dari
matanya, terlihat mereka ingin sekali naik wahana anak-anak itu.
Lagi-lagi Rio berdiskusi sebentar. Dan mas-mas operator
mengangguk semangat. Tak usah ditanya, mas-mas itu juga mengacungkan dua
jempolnya dengan mantap.
“Makasih mas!” seru Rio pada mas-mas operator yang tersenyum
ceria.
Sivia memandang Rio dengan penuh keheranan.
“Apa sih, liat-liat? Yak, gue tau gue tuh ganteng. Udah dari
lahir, sih. Jadi kalo lo naksir ya, ga pa-pa, sih. Udah biasa kok. Banyak yang
sering ngeliatin gue kayak gitu.” ujar Rio narsis. Gusti, cowok satu ini emang
bener-bener ga tau malu ya? rutuk Sivia dalam hati.
“Gue laper.” ujar Sivia singkat. Dan Rio mengakhiri acara
narsisnya. Digandengnya gadis itu, melangkah menuju sebuah gerobak yang menjual
sate beraneka macam jenis dan rasa.
Dengan senjata terampuhnya—senyum yang meluluhkan sejuta
umat—Rio berbasa-basi dengan ibu-ibu penjual sate. Sampai Sivia dibuat terpana
oleh kecanggihan senyuman maut Rio.
“Ibu. Yang jual sate. Yang paling uenakk tenan! Beli satenya
dong..” pesan Rio, sambil sedikit merayu. Sivia mengernyit heran dengan apa
yang baru saja ia lihat. Pandai merayu juga pemuda satu ini.
“Siap, mas. Ayam, kambing, sapi, kelinci? Pedes, biasa,
manis, pedes manis?” tanya si ibu. Rio menoleh pada Sivia, menunggu pesanannya.
“Ayam aja. Pedes manis.” jawab Sivia akhirnya.
“Dua porsi, tapi dijadiin satu, Bu. Trus, kasih bonus juga ga
pa-pa. Lima atau tujuh tusuk aja lah, Bu. Ga usah banyak-banyak. Pake pincuk ya, Ibu cakep yang jual sate
paling uenak..” tambah Rio. Ini mau beli sate apa mau ngegombalin yang jual
sih?
Si ibu langsung membuatkan pesanan Rio sambil terkekeh
mendengar pesanan Rio tadi. Tangan kekarnya dengan sigap mengipaskan kipas
bambu persegi, membuat bara-bara di bawah bertusuk-tusuk sate menjadi
kelebat-kelebat api yang muncul hilang seiring kibasan kipas si ibu.
Tak berapa lama, pesanan Rio—dan Sivia—sudah berada di tangan
si pemesan. Setelah membayar dengan selembar lima puluh ribuan—sudah termasuk
tip—pada si ibu, Rio mengajak Sivia duduk, menyantap sate-sate tadi di sebuah
bangku semen tak jauh dari gerobak sate si ibu. Lima diantara tiga puluh enam
tusuk sate lenyap sudah setelah memasuki mulut Rio dalam sekali lahap. Sivia
yang sedari tadi hanya terdiam, terheran-heran melihat pemuda di sebelahnya
tiba-tiba berubah menjadi kanibal.
“Pelan-pelan aja kenapa sih, Yo? Kayak ga pernah makan sate
aja,” komentar Sivia. Kemudian ia melahap sepotong daging dari tusuk keduanya.
Rio menggumam tak jelas saking penuh mulutnya oleh berpotong-potong daging yang
masuk ke mulutnya. Barulah, setelah semua tertelan sempurna, ia berkata.
“Emang ga pernah.” Singkat. Kemudian ia menyambar setusuk
sate lagi. Namun kali ini, pelan-pelan sepotong demi sepotong kecil ayam bakar
berbumbu yang masuk dalam mulutnya.
“Seumur-umur ga pernah makan sate?”
“Kagak. Bokap gue selalu ngasih roti tiap sarapan, lunch, bahkan dinner. Ga selalu plain sih, tapi lama-lama bosen juga. Waktu
nyokap masih ada aja sih, pernah. Sekali doang.”
“Jadi ini kali kedua elo?”
“Yap. Dan dua-duanya bakal selalu membekas di hati gue.”
“Maksudnya?”
“Karena sama yang tersayang.”
Sivia mengernyitkan dahinya lebih lagi. Rasa heran itu
berkembang menjadi lebih besar lagi. Yang tersayang? Apa maksudnya?
Baru saja ia akan menanyakan maksud perkataan cowok di
depannya ini, Rio terlanjur bangkit. Kembali ke gerobak sate si ibu. Sepertinya
ia tengah kerasukan atau sedang terkena brain
malfunction. Karena ia bertingkah aneh hari ini!
Ia mengambil alih gerobak si ibu. Membiarkan si ibu istirahat
sejenak. Dan ia berseru-seru memanggil para pelanggan. Mencoba apakah ia yang
ganteng ini bisa membantu si ibu mencari untung. Dan ternyata.... berhasil.
Sukses besar.
Sekali ia berteriak “SATEE!!!”, sekitar 8 orang menghampiri
gerobak sate tersebut. Dan hampir semuanya berjenis kelamin perempuan! Si ibu
terlihat gembira. Ia pun bangkit lagi, membantu Rio melayani para pelanggan.
Satu pelanggan bahkan sampai berfoto bersama Rio setelah mendapat satenya.
Sedang Sivia? Melihat adegan tak jauh di depannya membuatnya
sadar akan suatu hal. Rio tidaklah seburuk yang ia pikirkan. Ia memang baik.
Sangat-sangat baik. Dan ramah. Hanya saja sifat masa bodohnya terlalu
mendominasi otaknya.
Namun hari ini, malam ini, Rio membuktikan semuanya. Bahkan
rasa sayangnya pada Sivia, yang Sivia sendiri masih tidak menyadarinya. Tidak
mengerti apa maksudnya.
# # #
Please leave any comments on this blog or on my facebook : Umi Sa'adah or on my twitter : @umisaadah95. Thanks :)
Salam,
Umi Sa'adah =]
Twivortiare
15 Februari 2013
Mungkin akan menjadi hari paling gregetan sedunia. Buat gue, paling nggak. Ini pertama kalinya gue nge-post dengan bahasa sebagian besar cerita gue, karena gue mau puas-puasin nulis tentang Twivortiare.
Kalo udah baca Divortiare, pasti mudeng Twivortiare, walaupun kalo belum juga nggak pa-pa, sih. Cuma kalo udah baca yang Di, bakal lebih asik. Twi ini sejenis sekuel dari Di, dimana waktu ending Di itu, kan, dituliskan kalo Alexandra Rhea sama Beno Wicaksono nggak sengaja ketemu di RS tempat Beno kerja, trus si Beno ngajakin makan nasgor di Jalan Sabang favoritnya. Dan agak gantung disitu.
Lalu terbitlah buku ini. Twivortiare. Dikemas secara ringan a la diari dengan format twitter. Awalnya gue ragu buat beli novel ini. Secara gue nggak ngeh sama sinopsis yang di bagian belakang buku itu. Dan liat buku ini pun last minute banget. Lagi liat-liat dan nggak sengaja nemu. Asik. Ika Natassa. Twivortiare? Sekuel Divortiare? Eh buset! Akhirnya nemu! Gimana nih jadinya Om Beno sama Tante Alex? Balik kagak ya? Berbagai pikiran aneh muncul gitu aja. Terlalu meragukan bahkan. Bakal cetar membahana melanglang buana sedunia kayak Di nggak ya? Beli dulu aja deh. Bacanya ntar aja. Lagian Ika Natassa ini.
Begitu sampe rumah, mandi, sholat, trus masuk kamar, kunci pintu, dan pura-pura belajar. Sambil buka buku antropologi yang baru gue beli barengan sama si Twi (dan 2 novel lainnya), gue juga nyoba baca Twi. Kayak biasanya, buka halaman terakhir dulu. Eh, sial. Kok bagus ya? Langsung aja gue baca. Man, nggak salah gue beli ini novel. Dahsyat gila! Nggak kalah sama Di! Padahal baru aja baca 5 halaman pertama.
Format Twi yang kayak diari Twitter ini emang beda. Bahasa yang dipake juga lebih ceplas-ceplos, yah.. kurang lebih sama lah kayak Di. Secara yang nulis Ika Natassa gituh. Dan yang paling bikin gregetan itu love quote, sisi romantis Om Beno yang weird, cerita masa lalu Tante Alex, dan sesi berantem dua orang itu, yang berantem-baikan berantem-baikan nggak jelas. Mana absurd banget lagi cara minta maaf Om Beno. Tapi ya itu, bikin gregetan. Ah, sialan. Sori banget mbak Ika Natassa, udah meragukan Twi. Sial.
Eh, nggak cuma itu aja ding. Twi ini juga sarat sama quote-quote keren yang nggak boleh dilupain. Dan karena pake format twitter, jadi keliatannya bener-bener kayak quote. Ih sumpah ya, Om Beno, Tante Alex, sama Mbak Ika Natassa emang keren. Nggak salah udah beli bukunya. Kalo mau follow, monggo cari di twitter @alexandrarhea. Untuk approval bisa diliat caranya di twit favorit @twivotiare atau liat di twitter si penulis, @ikanatassa. Monggo dibaca novelnya, monggo di follow tokoh utamanya. Hidup Om Beno! Hidup Tante Alex! Hidup Mbak Ika! Hidup Beard Papa!! *hlo?*
Salam,
Umi Sa'adah =]
Mungkin akan menjadi hari paling gregetan sedunia. Buat gue, paling nggak. Ini pertama kalinya gue nge-post dengan bahasa sebagian besar cerita gue, karena gue mau puas-puasin nulis tentang Twivortiare.
Kalo udah baca Divortiare, pasti mudeng Twivortiare, walaupun kalo belum juga nggak pa-pa, sih. Cuma kalo udah baca yang Di, bakal lebih asik. Twi ini sejenis sekuel dari Di, dimana waktu ending Di itu, kan, dituliskan kalo Alexandra Rhea sama Beno Wicaksono nggak sengaja ketemu di RS tempat Beno kerja, trus si Beno ngajakin makan nasgor di Jalan Sabang favoritnya. Dan agak gantung disitu.
Lalu terbitlah buku ini. Twivortiare. Dikemas secara ringan a la diari dengan format twitter. Awalnya gue ragu buat beli novel ini. Secara gue nggak ngeh sama sinopsis yang di bagian belakang buku itu. Dan liat buku ini pun last minute banget. Lagi liat-liat dan nggak sengaja nemu. Asik. Ika Natassa. Twivortiare? Sekuel Divortiare? Eh buset! Akhirnya nemu! Gimana nih jadinya Om Beno sama Tante Alex? Balik kagak ya? Berbagai pikiran aneh muncul gitu aja. Terlalu meragukan bahkan. Bakal cetar membahana melanglang buana sedunia kayak Di nggak ya? Beli dulu aja deh. Bacanya ntar aja. Lagian Ika Natassa ini.
Begitu sampe rumah, mandi, sholat, trus masuk kamar, kunci pintu, dan pura-pura belajar. Sambil buka buku antropologi yang baru gue beli barengan sama si Twi (dan 2 novel lainnya), gue juga nyoba baca Twi. Kayak biasanya, buka halaman terakhir dulu. Eh, sial. Kok bagus ya? Langsung aja gue baca. Man, nggak salah gue beli ini novel. Dahsyat gila! Nggak kalah sama Di! Padahal baru aja baca 5 halaman pertama.
Format Twi yang kayak diari Twitter ini emang beda. Bahasa yang dipake juga lebih ceplas-ceplos, yah.. kurang lebih sama lah kayak Di. Secara yang nulis Ika Natassa gituh. Dan yang paling bikin gregetan itu love quote, sisi romantis Om Beno yang weird, cerita masa lalu Tante Alex, dan sesi berantem dua orang itu, yang berantem-baikan berantem-baikan nggak jelas. Mana absurd banget lagi cara minta maaf Om Beno. Tapi ya itu, bikin gregetan. Ah, sialan. Sori banget mbak Ika Natassa, udah meragukan Twi. Sial.
Eh, nggak cuma itu aja ding. Twi ini juga sarat sama quote-quote keren yang nggak boleh dilupain. Dan karena pake format twitter, jadi keliatannya bener-bener kayak quote. Ih sumpah ya, Om Beno, Tante Alex, sama Mbak Ika Natassa emang keren. Nggak salah udah beli bukunya. Kalo mau follow, monggo cari di twitter @alexandrarhea. Untuk approval bisa diliat caranya di twit favorit @twivotiare atau liat di twitter si penulis, @ikanatassa. Monggo dibaca novelnya, monggo di follow tokoh utamanya. Hidup Om Beno! Hidup Tante Alex! Hidup Mbak Ika! Hidup Beard Papa!! *hlo?*
Salam,
Umi Sa'adah =]
Senin, 11 Februari 2013
The Story
Oktober 2026, The
Lab, Reuni SMA Angkatan Tahun 2010
“Bukannya
Aga kerja di Bandung, ya?”
“Trus,
loe kerja di Jakarta, kan, Ra?”
“Aga
juga, kan, kerja fulltime. Dan loe
editor paling sibuk di dunia.”
“Dan
yang paling gue heran ya, cuma seminggu dua kali kalian ketemu, kenapa loe bisa
hamil, sih?”
Tara dan
Aga hanya tersenyum, lalu menyeruput minuman mereka. Teman-teman di sekeliling
mereka kembali bertanya-tanya tentang keajaiban kehamilan Tara yang kedua.
Kuantitas pertemuan mereka hanya 2 kali seminggu, walaupun sudah 6 tahun mereka
menikah. Tapi, yang tidak mereka ketahui adalah kualitas pertemuan mereka.
Tara
meminum jus jeruknya, sebelum ia menanggapi pertanyaan-pertanyaan
sahabat-sahabat lamanya.
“Well, sebenernya ada waktu-waktu
tertentu dimana Aga bisa di rumah seminggu full.
Libur dia yang terakhir 3 bulan lalu. Dan gue udah jalan 3 bulan. Do the math, folks.”
Rio,
yang pertama kali mengerti maksud Tara, menampar lengan Ray di sebelahnya.
“Jadi, abis kumpul-kumpul kita waktu itu, loe langsung... gitu... gitu?”
“Gitu
gimana?” Aga pura-pura tidak mengerti.
“Ya,
gitu! Ah, loe kayak nggak ngerti aja, sih!” Rio ngambek, lalu menyedot Iced
Mocca-nya barbar dengan bibir yang dimanyunkan.
“Emang
gimana, sih? Gue nggak ngerti,” Dani berbisik pada Bella di sebelahnya, cukup
keras untuk didengar semua orang di meja itu, yang membuat semua terbahak.
Bella
menyedot Iced Mocca-nya, sama barbarnya dengan Rio, sambil tertawa. Dan hampir
membuatnya tersedak. “Yaelah, Dan! 4 tahun loe nikah sama si Ray, masa nggak
ngerti, sih??” Dani hanya bengong.
Tara,
kasihan melihat temannya yang masih tidak mengerti walau sudah berumahtangga
selama 4 tahun lebih, memutuskan untuk menceritakan keajaiban kehamilannya.
“Gue
ceritain, deh. Singkat aja tapi, ya,”
Semua
kepala mengangguk. Dan Aga hanya tersenyum. Here
comes the story.
# # #
Akhir Juli 2026,
Kediaman Keluarga Magandhi Janaka
Sedikit
dingin malam itu. Hujan turun agak deras. Kabut setengah menutupi area
kompleks. Angin berhembus cukup kencang. Bisa dikatakan sedikit dingin, kan,
malam itu?
Terlihat
sesosok wanita sedang membenahi tempat tidur anaknya agar nyaman untuk tidur.
Ia duduk sebentar dan membuka sebuah buku cerita untuk mendongeng anaknya
sebelum tidur. Cerita untuk hari itu, Beauty
and The Beast.
Namun,
baru sampai ia di tengah-tengah cerita, dilihatnya anaknya sudah pulas. Terlalu
capek ia ternyata. Ia meraih selimut bergambar Belle The Beauty, dan hati-hati
menyelimutinya. Ia kecup kening anak perempuannya itu, lalu keluar dari kamar
anaknya, setelah sebelumnya ia matikan lampu kamarnya.
Saat
itulah terdengar dering ponselnya. Segera ia mengangkat, dan dengan segera pula
sebuah senyum mengembang di bibirnya, setelah ia mendengar suara suaminya di
seberang.
“Halo?”
“Halo? Belum tidur, Chan?” Chan. Hanya
Aga yang senang memanggilnya dengan suku kata pertama nama depannya.
“Belum.
Mas Aga belum tidur juga?” Mas Aga. Kebiasaan itu timbul di awal pernikahan
mereka. Dan Aga pun tidak terlalu ambil pusing dengan panggilan itu, walau
mereka seumuran. Berasa suami, katanya.
“Belum.”
“Lagi
ngapain emang?”
“Kerjalah. Ngapain lagi coba?”
Masih
kerja juga? “Bukannya Mas Aga dapat jatah libur ya, minggu ini?”
“Diundur. Ada deadline baru. Nggak tahu juga. Kenapa?”
“Ziva.
Kangen katanya,”
“Ziva? Atau jangan-jangan kamu?”
Ketahuan. Sial.
“Tau
aja, sih,”
“Tau, dong.”
Jeda.
Hanya untuk beberapa saat, sampai Tara berbicara lagi.
“Kapan
libur?”
“Minggu depan.”
“Bisa
dateng ke rumah, kan?”
“Bisalah. Bayarin tiketnya tapi,”
Tiket?
Apa pula ini?
“Lah,
kan cuma Bandung-Jakarta. Ada mobil juga, kan?”
“Aku lagi di Pyeongyang.”
“Ngapain
di Pyeongyang?” Smells fishy. Mau
main-main kayaknya.
“Disandera.” Tuh, kan.
“Buset!
Trus ini telponnya pake handphone
siapa?”
“Nggak tau. Aku nemu. Ternyata punya Siwon.”
“Tau
darimana itu punya Siwon?”
“Ada kopian Yaasin, sama E-Quran juga. Siwon
kan, religius. Berarti punya dia, kan?”
“ Kesurupan
SM Salah Gaul, ya, kamu?”
“Tau aja, sih, istrinya Magandhi,”
“Idih,
sori ya!”
Call Ended. Tunggu saja. 1 menit. Pasti akan
ada pesan masuk dari Aga.
Tringg~
Tuh,
kan.
“...
Magandhi, kan, tampan..? Apa lagi sih, bapak satu ini? Nggak jelas banget,”
Tara
memutuskan untuk meneleponnya lagi. Baru
terdengar dering pertama, telepon langsung diangkat.
“Nggak ngambek, kan?”
“Nggaklah.
Lagi di kafe Rio, kan?” Buka sajalah kartu trufnya sekarang. Sedari tadi Tara
memang sudah sadar kalau suaminya itu tidak sendiri. Terdengar suara kikik khas
Rio saat Aga mengerjainya dengan taktik “disandera di Pyeongyang”.
“Iya. Segitu jelasnya, ya?”
“Ketawanya
si Rio tuh, jelas banget tau. Buruan pulang, deh. Udah malem banget ini,”
“Ha! Emang dasar si Rio. Iya, deh, aku
pulang. Ziva udah tidur dari tadi, kan, ya?”
“Iya.
Kenapa emang?”
“Nggak. Baguslah. 15 menit lagi aku pulang,
Chan. Tunggu, ya?”
“Ati-ati
di jalan, Mas.”
15
menit. Cukuplah untuk beres-beres mainan Ziva yang masih berantakan tadi.
Namun,
belum sampai 15 menit terdengar deru mobil Aga memasuki garasi. Tara memasukkan
mainan terakhir ke dalam boks mainan, lalu menuju pintu depan. Saat ia
membukanya, Aga langsung menerjang masuk, dan tiba-tiba memeluk pinggangnya,
lalu menciumnya. Bukan sejenis ciuman “aku cinta kamu”, tapi lebih pada ciuman
“aku cinta kamu, dan aku kangen banget sama kamu karena selama ini aku cuma
bisa ketemu kamu dua kali seminggu”.
“Aku
nggak suka nunggu tiap tiga bulan sekali buat ketemu kalian berdua. Dan aku
juga nggak suka nunggu yang satu ini. Jadi, mendingan kita puas-puasin aja.
Mumpung Ziva udah tidur juga, kan?” Aga mengerling pada Tara. Tara hanya memutar
bola matanya. Ridiculous.
“Oh, come on, sweetheart. I know you want it, too,”
Tara
menatap mata suaminya itu. Sedetik. Dua detik. Tiga detik.
Dan
akhirnya, “Okay, fine.” Ia berbalik
sebentar untuk mengunci pintu. Lalu menarik suaminya. Kepada keinginan tak
terelakkan mereka.
# # #
Present time, Oktober 2026, The Lab, Reuni SMA Angkatan Tahun 2012
“... And you know what happened next.” Tara
mengakhiri ceritanya. Cukup untuk membuat audience
bengong. Cukup untuk membuat Dani mengangguk mengerti. Dan cukup untuk
membuat Aga tersenyum bangga.
“Waktu
itu loe libur, Ga?” Rio yang pertama kali buka suara. Aga hanya mengangguk
membenarkan.
Lalu
giliran Bella berkomentar. “Sinting loe berdua,”
Lalu Billa.
“Berarti Ziva juga?” Tara dan Aga mengangguk bersamaan.
Dan Ray.
“Bener-bener kayak yang di Reply 1997.
Siapa tuh, karakter utamanya?”
“Yoon
Yoon Jae sama Sung Shi Won?” Alvin menimpali.
“Iya,
tuh, iya. Untung waktu loe punya Ziva, loe udah kawin, Ga,” komentar Ray. Ia
lalu memukul lengan atas Aga pelan.
“Lho, emang
si Yoon Jae sama Shi Won belum nikah ya, waktu punya anak pertama mereka?” Bella
menggeleng menanggapi pertanyaan Billa. Si maniak K-Drama ini langsung
membenarkan.
“Seinget
gue, mereka belum nikah. Karena itu, Yoon Jae sama Shi Won nikah duluan. Ganggu
rencana pernikahan kakaknya si Yoon Jae, yang bikin emak bapaknya Shi Won
marah-marah sama si Yoon Jae sama Shi Won.”
Rio
menggeleng-gelengkan kepalanya, mendecak sok
kecewa. “Emang dasar maniak korea loe, Bel,”
“Trus,
kenapa loe mau nikah sama gue?”
“Yah,
itu kan, karena gue cinta sama loe, bukan karena loe maniak korea,”
Wajah Bella
otomatis memerah mendengar komentar Rio, membuat seluruh penduduk meja itu
bersorak. Mengejek pasangan paling absurd
sedunia itu. Rio dan Bella bergantian membalas ejekan kawan-kawan mereka itu.
Di
tengah-tengah keributan itu, mereka akhirnya diselamatkan oleh pertanyaan Dani
yang membuat mereka sadar tentang topik utama reuni kali ini.
“Eh, eh,
ngomong-ngomong due-nya kapan, Ra?”
“Sekitar
April tahun depan. Kenapa?” Tara mantap menjawab.
“Mau loe
namain siapa?”
Tara
berpikir sebentar. Lalu memandang Aga dengan senyum penuh arti.
“Kalo
cowok, Jethro untuk nama tengahnya. Kalo cewek, Myka.”
Semuanya
menghela nafas kecewa. “Lagi?” protes mereka bersamaan.
“Iya,
dong.” Tara mengangguk lebih mantap lagi. Soal nama mereka memang sudah sepakat
sejak lama.
Dan
karena ini, meja itu kembali rusuh. Protes akan nama yang telah dipersiapkan
Tara dan Aga menuai kontroversi. Lagi dan lagi, topik demi topik diangkat, tapi
terus saja terdengar protes.
Reuni
kali ini memang yang teramai.
And this is the end of The Story.
Stay alive and bye bye!
# # #
P.S : Done! See ya soon, folks!
Regards,
Umi Sa'adah =]
Senja Dalam Kelabu
“Udahlah, Ra! Nggak usah minta maaf!”
Billa menampik tangan Tara yang dijulurkan padanya. Mencoba memohon maaf. Tapi
Billa tidak menghiraukannya, bahkan membentaknya berulang kali. Meminta Tara
untuk segera pergi dari rumahnya. Billa sangat kesal.
“Gue pengen banget ngejelasin ke loe,
tapi Alvin selalu bilang jangan.. Please, Bil,
biarin gue jelasin,” Tara memohon, sungguh memohon. Setitik air mata siap
meninggalkan pelupuk mata Tara. Dan Billa melihat kerling air mata itu. Ia
memandang mata Tara lekat-lekat sesaat.
Lalu memutuskan.
# # #
Sial. Sial. Sial!
Apa salahnya hingga pacarnya sampai
mengkhianatinya? Dan lebih parahnya lagi, dengan Tara! Tara! Sahabatnya
sendiri! Sialan! Alvin sialan!!
Billa menghentak-hentakkan kakinya
sepanjang perjalanan pulang. Nafasnya memburu. Wajahnya terlihat mulai memerah.
Ia kesal. Sangat kesal, dan kecewa.
Sesampainya ia di rumah, ponselnya
berdering. Dengan dering khas yang memang ia pilih untuknya. Sesuai dengan
sifatnya yang jahil dan suka main-main. Da Lime
and Da Coconut.
“~She put
the lime in the coconut, and drank them—“
Billa langsung mengangkatnya. Ia siap
marah. Ia siap memaki. Ia siap untuk menjadi sosok Billa yang lain. Bila perlu,
ia akan mengumpat sekalian. Alvin sialan!!
“Bil, kamu
di—“
“Nggak usah nanya-nanya!! Nggak usah
sok peduli!! Kalo emang aku udah nggak ada gunanya, bilang! Nggak usah pake
khianatin segala! Kenapa harus Tara?!! Kenapa!!?”
Bip. Call Ended.
Tenang. Tenang. Tenang.
Sekarang hanya tersisa penjelasan
dari Tara, yang tidak akan ia dengarkan sepatah kata pun. Dia memang
sahabatnya. Tapi jangan harap Billa akan memanggilnya ‘sahabat’ lagi setelah
pengkhianatan hari ini. Wow. Betrayer of the Day. Siapa
lagi besok?
Billa memang masih marah. Namun, ia
putuskan untuk menghilangkan saja memori menyeramkan di toko perhiasan. Saatnya
berendam. Saatnya meredam amarah, dan biar semuanya ikut luruh bersama penatnya
hari itu.
# # #
“Udah sejuta kali gue coba telpon dia,
Alvin... Tapi nggak satupun diangkat. Di-reject-lah,
dikirimin reject message-lah, bahkan dibiarin gitu aja...
Bingung gue, Vin!!” Tara misuh-misuh di kamar
Alvin, tiga hari setelah kejadian di toko perhiasan. Alvin hanya bisa menunduk
kecewa mendengar keluhan Tara. Kesal, kecewa, marah. Tapi yang paling dominan,
bingung. Dan kecewa. Kenapa bisa seperti ini? Dan kenapa harus kejadian saat ia
bersama sepupunya sendiri? Bersama Tara? Ya. Tara memang saudara dekat Alvin.
Dan karena inilah ia makin bingung. Billa ternyata tidak tahu Tara adalah
sepupuAlvin. Makin runyamlah masalahnya.
Alvin mendongak. Dilihatnya Tara yang
duduk termenung di dekat jendelanya. Bulir-bulir air mata ikut menemani.
Sial. Ia makin kecewa. Dengan dirinya
sendiri.
“Oke, aku bakal usahain buat
ngejelasin semua ke Billa. Aku nggak tahu gimana dan apakah dia mau nerima,
yang penting aku harus jelasin ke dia.” Alvin, akhirnya menemukan suaranya,
memberikan keputusan terakhir. Tara menoleh. Ia pandangi Alvin sesaat, seolah
cowok itu sudah gila.
“Loe itu permasalahannya, Vin. Billa
nggak bakal terima.” komentar Tara pasrah. Tapi Alvin menggeleng. Bersikeras
ingin menjelaskan semuanya, cerita versi dirinya sendiri, pada Billa.
“Terserahlah. Jangan salahin gue kalo
loe diputusin Billa.” kata Tara acuh. Ia lalu memandang ke luar. Dilihatnya
langit berubah kelabu. Pekat. Sangat pekat. Sepekat pikirannya sekarang.
Sampai-sampai hampir mampet kalau saja Alvin tidak menyadarkannya.
“Billa ada jadwal apa Kamis besok?”
“Biasanya dia beli hadiah buat
anak-anak yang ikut bimbel dia. Kenapa?”
“Nggak. Cuma nanya. Telpon Aga, gih.
Paksa dia buat nemenin kamu di sini.”
Tara mendongak mendengar usulan
Alvin.
“Iya juga, ya. Ya udah, buru sana!
Siapin rencana apapun yang loe punya itu!! Gue mau nyantai jablai sama Aga!”
Alvin terkekeh mendengar kata-kata
Tara. Tipe sepupu desperate yang
butuh cinta sang pacar. Ia lalu meninggalkan Tara sendiri bersama phone call-nya
dengan Aga, dan pergi mencari ilham. Dan tempat yang pertama kali ia kunjungi,
adalah...
Starbuck’s. Satu cup Americano
akan cukup untuk membantunya berpikir lebih jernih.
Ia mencari tempat duduk yang
sekiranya bisa membuatnya tenang. Dan pilihannya jatuh pada satu meja yang
terletak di tengah ruangan, dengan akses yang luas untuk melihat hujan lebat di
luar sana.
Lalu, ia berpikir lagi.
# # #
Billa merogoh tasnya, kesal karena
kunci rumahnya terselip entah di mana. Kalau ia tidak cepat-cepat menemukannya,
ia harus kembali lagi ke toko hadiah itu dan bertanya dengan memalukan.
Sial. Tidak ketemu.
"Kemana sih, kuncinya? Perasaan
tadi udah dimasukin deh..." gumamnya kesal. Lalu, entah darimana, sebuah
tangan disodorkan padanya. Ada kunci rumah yang terlihat familiar di tangannya.
Dan kenapa pemilik tangan itu harus Alvin?
Billa memandangi lelaki itu sejenak.
Kekecewaan dan kemarahan tersirat jelas di matanya.
Sedetik. Dua detik.
Billa menyambar kunci itu, dan
langsung menyetop taksi apapun yang lewat saat itu. Billa memang cepat. Tapi
entah mengapa Alvin lebih cepat. Ia segera meminta supir taksi untuk menunggu
calon penumpangnya itu. Ini kesempatannya. Ia harus berbicara padanya.
"Bil, semuanya nggak yang kayak
kamu pikirin. Tara itu bukan siapa-siapaku. Well, dia
memang siapa-siapaku, tapi nggak yang kamu kira. Dia cuma sepupu, Bil. Tolong,
percaya sama aku,"
Billa hanya memandaninya. Tengah
sibuk mencari kebenaran pada dua benik coklat bening itu. Alvin memang terlihat
jujur, tapi ia masih tidak percaya. Persetan dengan itu.
"Terus, kamu pengen aku gimana?
Maafin kamu? Nggak segampang itu,"
Bersamaan dengan deklarasi
ketidaksetujuan Billa, supir taksi yang masih berhenti mengklakson tak sabar.
Billa langsung sadar akan taksi yang menunggunya. Kalau memang mau pakai
jasanya, lebih baik ia buru-buru.
Sebelum ia menutup pintu taksi, ia
mendengar Alvin berbicara.
"Kamis. Sore. Kapanpun kamu
selesai belanja hadiah buat anak-anak bimbel kamu. Tepat di bawah langit kelabu
yang terbakar. Di sini. Kutunggu."
Entah ia akan melakukannya, namun
satu yang pasti.
Hatinya perih. Dan ia merasa sangat
bersalah.
# # #
“Udahlah,
Ra! Nggak usah minta maaf!” Billa menampik tangan Tara yang dijulurkan padanya.
Mencoba memohon maaf. Tapi Billa tidak menghiraukannya, bahkan membentaknya
berulang kali. Meminta Tara untuk segera pergi dari rumahnya. Billa sangat
kesal.
“Gue pengen banget ngejelasin ke loe,
tapi Alvin selalu bilang jangan.. Please, Bil,
biarin gue jelasin,” Tara memohon, sungguh memohon. Setitik air mata siap
meninggalkan pelupuk mata Tara. Dan Billa melihat kerling air mata itu. Ia
memandang mata Tara lekat-lekat sesaat.
Lalu memutuskan.
"Aku...
minta maaf, Ra."
"Aku
juga minta maaf, Bil. Alvin juga sih. Dia nggak mau kamu tahu soal statusku.
Dia cuma pengen punya hubungan tanpa koar-koar soal saudaranya, atau siapapun.
Maaf banget ya, Bil,"
"Aku
juga minta maaf. Udah salah paham sama kamu."
"Hehe...
Udah ah, kayak lebaran aja, maaf-maafan. Kamu bukannya ada janji sama
Alvin?"
"Bukan
janji. Aku bahkan nggak pernah bilang "ya". Lagian aku mau beli
hadiah buat anak-anak."
Tara
hanya memandangnya penuh arti. Gusti, ia memang tidak akan pernah bisa
berbohong, apalagi di depan Tara. Billa
mengedikkan bahunya, tidak peduli. Ia merogoh tasnya, mencari ponselnya,
memandanginya sebentar, lalu memasukkannya lagi.
“Ya
udah, aku ke toko dulu. Kalo besok aku nggak bawa hadiah, anak-anak bakal
cemberut dan nggak mau belajar lagi. Kalaupun nanti aku ketemu Alvin...” katanya ragu-ragu, “Aku bakal ketemu Alvin, dan dengerin semua yang mau dia
omongin ke aku. As simple as that.”
Tara
mendecak. “Not that simple, sweetheart. You’ll understand what I’m talking about. Later, when you
meet him, you’ll feel that your heart is
beating too fast that it will explode sooner or later.” Billa menyipitkan matanya mendengar alasan Tara. Penasaran.
Tapi karena terdengar tidak masuk akal—baginya—ia mengacuhkannya. Ya, ya, mungkin nanti ia akan
merasakannya. Entah apapun itu, yang
pasti itu akan membuat hatinya berdebar tidak keruan dan hampir meledak.
Mungkin.
Ya, mungkin.
# # #
Billa berjalan agak tergesa. Hari itu benar-benar petang,
walaupun hari baru beranjak siang. Seharusnya matahari sedang bersinar dengan jumawanya.
Tapi awan mendung sialan menghalangi sinar menawannya yang juga membakar kulit.
Satu yang ia benci. Karena mendung itu mengingatkannya pada
lelaki itu.
Setelah membiarkan Tara menjelaskan apa yang terjadi pada
keduanya pagi tadi, ia jadi ingin mendengar bagaimana cerita versi Alvin.
Lelaki itu benar-benar sialan karena tidak menceritakan yang sebenarnya sejak
awal pertemuan mereka. Walaupun seharusnya Billa sudah tahu, menilik Alvin dan
Tara memang sangat dekat.
“Duh, kalau nggak buru-buru, bisa-bisa kehujanan dan nggak
bisa dipake hadiahnya..” gumamnya pada diri sendiri. Maka, ia pun bergegas.
Mencari hadiah yang diinginkan para anak didiknya yang ia asuh setiap Senin dan
Rabu, dan Jumat adalah hari hadiah. Dan ia tengah berjuang untuk mengabulkan
beberapa permintaan dari anak didiknya.
Setelah hampir 3 jam ia mencari hadiah, ia memutuskan untuk
duduk-duduk sebentar di kafe di dalam mall. Dilihatnya dari jendela kafe, hari
masih mendung. Tanda-tanda akan turun hujan, tapi ternyata sedari tadi belum
turun juga.
Selesai dengan tehnya, ia meninggalkan kafe—yang berarti ia
juga meninggalkan mall—menuju toko buku anak-anak yang ia lihat dari jendela
kafe tadi.
Satu-dua buah buku cerita akan lebih mewarnai sesi bimbel
hari Senin besok.
Ia masuk ke dalam toko buku, sedikit kesusahan karena
belanjaannya yang seabrek. Ia juga membeli beberapa kebutuhan sehari-harinya
sendiri ternyata. Ia melihat sebuah buku yang terlihat tipis, bersampul putri
duyung yang cantik, dan langsung mengambilnya dari rak, membelinya tanpa pikir
panjang. Ia juga melihat beberapa buku lain yang terlihat setipe, dan
membelinya juga.
Barulah, saat ia selesai dengan belanjanya hari itu dan
hendak keluar dari toko, hujan tiba-tiba turun. Deras. Sangat, sangat deras.
Sial. Bagaimana caranya pulang? Pangkalan taksi memang tidak
terlalu jauh dari toko buku itu, tapi ia tidak mau mengambil resiko semua
belanjaanya—termasuk dirinya, basah.
“Sial. Kenapa baru sekarang, sih? Pulangnya gimana coba?”
gumamnya kesal pada dirinya sendiri.
Seakan menjawab kekesalannya, seorang lelaki tiba-tiba
menyambar tas belanjaannya begitu saja, dan melarikannya ke sebuah mobil perak
yang terpakir di depan toko buku. Well,
seharusnya Billa akan marah bila ada orang yang seenaknya seperti itu. Tapi tidak,
setelah ia melihat siapa yang dengan berani melakukannya.
Alvianda Buana. Alias Alvin.
Alvin sialan yang nggak pernah cerita tentang keluarganya.
Alvin sialan yang begitu saja menyambar belanjaannya seperti tidak pernah
terjadi apa-apa.
Alvin sialan yang berhasil memenangkan hatinya.
“Mau pulang?” Damn.
Suaranya yang berat benar-benar membuat Billa tergoda dan terpesona. Semarah
apapun, suara itu selalu berhasil mendinginkan sekaligus melelehkan hatinya.
Billa menyerah. Ia hanya mengangguk lemah.
Alvin tersenyum
melihat gadisnya tak berdaya di depannya.
“Kalo gitu, ayo,” ajak Alvin. Tangannya terulur ke arah
Billa, menunggu persetujuan.
Billa menghela napas. Tidak bisa. Dia tidak bisa terpikat
begitu saja.
“Kenapa kamu nggak pernah cerita?” Billa menemukan suaranya, at last. Giliran Alvin yang menghela
napasnya. Lebih berat dari yang biasa, walau ia telah memantapkan hatinya untuk
menjelaskan.
Alvin memandang wajah gadisnya. Menatap dalam-dalam matanya.
“Aku nggak tahu Tara udah cerita atau belum, tapi yang pasti aku nggak suka
cerita-cerita tentang keluarga besarku. Tara adalah anak adik ibuku. Yang
terjauh. Tapi kita justru deket banget, karena dia selalu sendiri. Ayah
Bundanya kerja fulltime, Mas Gana
kuliah di luar kota, dan Tabi masih terlalu kecil buat diajak curhat. Akhirnya
dia minta aku buat jadi teman curhatnya di rumah. Kebetulan karena rumahku satu
kompleks dengan rumahnya. Aku selalu nganggap dia sebagai saudara kandungku
sendiri yang nggak pernah kudapetin.
“Hari itu, Tara cuma nemenin aku beli hadiah buat Mama untuk
ulang tahunnya, minggu depan. Kata Tara kamu sibuk, dan aku nggak berani
ngganggu kamu. Kamu tahu, kan, kebiasaanku yang itu?” Billa mengangguk, lebih
lemah. Ia masih terpana.
“So.. Maafin aku?”
Alvin sedikit berharap.
Mendengar cerita versi Alvin benar-benar membuat otaknya
seperti rusak. Ia tidak bisa berpikir. Oke, dia sudah salah paham. Oke, di
sudah keterlaluan. Oke, dia sudah egois. Dan oke, dia tidak akan menyalahkan
siapapun. Kecuali dirinya. Dalam hatinya.
Billa mengangguk lagi. “Oke, kumaafin. Bukan untuk kejadian
toko perhiasan, tapi karena kamu nggak pernah cerita soal keluarga kamu.” Well, melegakan juga ternyata.
“Kita pulang?” Alvin mengulurkan sebelah tangannya pada Billa
lagi, yang diterima oleh Billa tanpa berbasa-basi.
“Kita pulang.”
Alvin tersenyum pada Billa. Kali ini lebih tulus dan lebih
menawan. Dan berhasil membuat wajah Billa memerah saking terpananya.
Gusti. Alvin memang sialan karena tidak cerita tentang
keluarganya. Tapi Alvin jauh lebih sialan karena membuat wajahnya memerah terpana.
Hanya karena sebuah senyum sederhananya.
Sore itu memang mendung dan hujan tak terkira. Tapi dalam
hati Billa, senja hari itu tak sekelabu perkiraannya.
# # #
P.S. : Oke, ceritanya nggak nyambung karena cuma side stories, tapi yang pasti tokoh-tokohnya nyambung, dan gue jatuh cinta sama Aga!!
Langganan:
Postingan (Atom)