Senin sore, capek dan berkeringat.
“The Lab? Yang punya
keluarganya Rio, kan? Ogah!”
Bella langsung
terbangun dari kasurnya, setelah mendengar di mana tempat reuni mereka kali
ini.
Tara terus
memohon-mohon di seberang telepon, “Ayolah, Bel.. Demi kita..”
Oops! Skak mat. Sial, kutuk Bella dalam hati. Kalau
kata-kata “demi kita” andalan Tara itu terlontar sudah, Bella tidak bisa
menolak.
Sial. Sial. Sial! “Oke.
Kapan?"
Tara terdiam sesaat.
Berpikir.
“Selasa? Gue yakin loe nggak
bakal bisa hari Rabu. Billa juga besok ada acara sama Alvin. Gimana?”
Selasa, ya?
“Oke. Selasa berarti.
Agak siangan aja, ya? Jam sepuluhan gitu,”
“Oke! See you besok, Bel!”
Beep. Telepon dimatikan
oleh si penelepon sinting. Bella mengernyitkan dahinya heran. Kenapa gue bisa temenan sama orang sinting
ini, sih? Heran gue.
Ia melangkah menuju
kamar mandi. Membasuh muka. Lalu kembali ke kasurnya, tidur lagi.
# # #
Selasa pagi, pusing dan kembali
pusing.
“Kalo gue bilang
enggak, ya enggak! Lagian apa pentingnya sih??”
“Heh! Reuni ini tuh,
penting banget! Loe kan tahu, Ray baru aja menang pertandingan basket kemaren
itu di Amrik sana. Lagian dia juga pulang hari ini.”
“Trus, kenapa harus di
kafe gue kalo Ray yang bayarin kali ini?”
“Yah.. loe kan tahu..
Kita nggak punya duit sebanyak itu... Ngerti, kan?”
Rio menghela napasnya
malas, sangat mengerti akan maksud kawannya itu.
“Oke, oke. Jam?”
“Sepuluh? Gue jemput,
deh,”
“Loe nggak jalan sama
Tara?”
“Dia ada acara.
Kenapa?”
“Cuma nanya.”
“Bella?”
Rio terdiam. Aga memang
benar-benar sahabatnya, yang kadang tahu jauh lebih banyak tentang dirinya.
Termasuk yang satu ini.
“Yap. Gue cerita di
kafe.”
Rio langsung memutuskan
sambungan. Kepalanya sudah terlalu pening memikirkan caranya berbicara dengan
gadis itu. Adelia Bellasa.
Aargh!! Memikirkan
namanya saja membuatnya kembali merasa bersalah. Kenapa dia harus berburuk sangka
padanya hari itu? Kenapa dia mau menjadi boneka Hana, orang yang sama yang
membuat hubungannya dengan Bella harus hancur dan membuatnya sangat bersalah.
Memang dasar tidak tahu diri lelaki bernama Rio ini.
Ia melangkah menuju
kamar mandi. Membasuh muka. Mencoba menghilangkan pening di kepalanya karena
gadisnya.
# # #
Selasa, pukul 10.00 WIB, kita
bertemu.
“Mario Andhika. Adelia
Bellasa—“
“Don’t put my name together with his. I hate it.”
“Maaf. Kalo emang loe
nggak mau berurusan lagi sama dia, kenapa loe masuk ke universitas yang sama?”
Bella menghela napasnya
lagi. Entah sudah untuk yang ke berapa kalinya.
“Kan udah gue bilang,
universitas itu satu-satunya yang memang cocok sama hobi gue.”
“Dan kebetulan emang
cocok sama hobi Rio. Gitu?” Tara dan Billa membombardir dirinya dengan
pertanyaan-pertanyaan tentang Rio yang selama 2,5 tahun ini ia coba hindari. Dan
selama 2,5 tahun itu pula ia tidak pernah berhasil menghindar satu inci pun.
“Terserah. Gue ke kamar
mandi dulu.”
Kafe ini bisa dibilang
unik. Dibagi menjadi tiga ruangan, boys
zone, girls zone dan free zone.
Untuk cowok, cewek dan untuk para pasangan yang nggak mau dipisah. Selain untuk
menarik perhatian, pembagian seperti ini ditujukan agar yang cowok tidak
terganggu dengan gosip-gosip khas cewek dan yang cewek tidak terganggu ocehan
nggak keruan khas cowok.
Namun, untuk kamar
mandi hanya dibagi masing-masing 6 tiap gender
dalam satu ruangan. Jujur, Bella sangat menyukai suasana yang ditimbulkan dari
pembagian ruangan kafe ini. Tapi, kafe ini milik keluarga Rio, yang... tahu
kan? Bella sangat anti Rio akhir-akhir ini.
Ia membasuh tangannya
pelan-pelan, sedikit berniat membuat tagihan air kafe ini melonjak. Ia menatap
wajahnya sendiri yang terlihat sangat lelah di cermin di depannya sambil
menepis-nepis air di tangannya. Mencoba menghabiskan waktu mengeringkan tangan
dengan cara manual walaupun persis di sebelahnya sebuah hand-dryer yang masih waras menempel dengan gagah.
Mario.
Nama itu selalu terasa
segar di ingatannya, walau hampir 5 tahun mereka tidak pernah bahkan saling
menyapa. Tapi tetap saja. Nama itu selalu menempel di pikirannya dan seakan
seperti benalu, tidak pernah bisa dihilangkan. Tapi.. bukan berarti tidak
mungkin, kan?
Pikiran itu membuatnya
tersenyum. Namun, tiba-tiba senyum itu menghilang saat ia menyadari ia tidak
sendirian di kamar mandi itu.
Seseorang sengaja
mengunci pintu kamar mandi. Agaknya orang itu berhasil mengunci pintu pertama
dan baru saja mengunci pintu kedua, saat Bella berbalik, terkejut, menyadari
siapa orang itu.
Sial. Mario Andhika,
alias Rio. Kedudukannya sebagai manajer boys
zone, menjadikannya memiliki banyak keuntungan. Salah satunya kunci ruangan.
Sial.
Sebenarnya, Bella
memiliki kesempatan untuk lari saat itu juga, menilik pintu zona cewek masih
terbuka. Namun, ia hanya berdiri di tempatnya, seperti membeku.
Rio menutup pintunya,
hanya menutupnya. Lalu menaruh kunci yang dibawanya di wastafel di samping
Bella. Bella tak bergeming. Sama sekali. Ia hanya menatap Rio. Tatapan matanya
penuh kebencian, keinginan untuk membalas dendam. Tapi juga sarat akan
kekecewaan, kerinduan, dan juga... kasih sayang.
“Aku... minta maaf,
Bel,” Rio memulai. Bella masih tidak bergeming. Namun kini, matanya berkilat.
Sebulir air mata menggantung pasrah di sudut matanya. Melihatnya, Rio terdiam,
tidak berani bicara lagi. Mereka berdua seakan berbicara sekaligus memaki dalam
diam.
Lalu akhirnya kebekuan
terpecah, saat Bella meraih berendelan kunci di sampingnya dan melemparnya pada
Rio. Pria itu refleks menangkapnya, dan saat ia menatap kembali pada Bella,
mendadak ia terhenyak.
Meski hanya sekilas, ia
yakin ia melihat Bella menangis, sebelum gadis itu berputar, tergesa menuju
pintu kamar mandi. Sesaat sebelum Bella keluar, ia akhirnya bersuara.
“Jangan lupa unlock pintunya... Dan jangan minta
maaf. Nggak semuanya salah kamu.”
Makin terhenyaklah Rio.
Pandangan matanya kabur karena air mata, saat ia memandang Bella, gadisnya—yang
dulu gadisnya—melangkah pergi. Untuk kedua kalinya.
Ia meremas kunci di
tanganya. “Sialan!” geramnya kecewa pada dirinya sendiri. Rasa bersalah itu
benar-benar telah membuatnya amburadul.
# # #
Rabu sore, kita main basket bersama
lagi.
Dug. Dug. Dug.
Dribble.
And dribble. And another dribble. Ia
terus menggiring bolanya. Menembaknya tepat ke arah ring, tapi tak pernah ada
satupun yang berhasil masuk. Permainannya kacau. Pikirannya kacau.
Sudah 2 jam lebih ia
seperti ini. Dan bahkan ia sendiri tidak tahu ada apa dengan dirinya. Sejak
pagi, ia mencoba melupakan kejadian kamar mandi kemarin. Tapi semua yang ia
lakukan hanya memperkuat memorinya akan—well,
Rio.
Bones,
serial favoritnya yang akan ia tonton pagi tadi, juga merupakan favorit Rio.
Saat akan ngemil Chitato-nya, ia teringat pesan Rio agar tidak banyak memakan junkfood untuk menjaga tubuhnya tetap
fit dan tidak kendor. Bisep, trisep, otot paha, dan abs-nya memang menakjubkan, kata Rio. Saat menemukan DVD ”Reply 1997” di rak DVD-nya, ia hanya menatapnya.
Mengingat saat Seo In Guk yang shirtless
mencium Jung Eun Ji di salah satu adegan di drama itu. Bukan apa-apa, tapi Rio
memang pernah menciumnya setelah kelas Rio selesai olahraga. Shirtless. Coincidence? Yeah, right.
Akhirnya ia memilih bersepeda
mengelilingi kompleks rumahnya, meninggalkan memori-memori itu jauh di
belakang. Walaupun akhirnya ia capek, dan berakhir bermain basket asal-asalan
di lapangan basket di kompleksnya. Ya, ya. Tempat itu juga menyimpan banyak
memori tentang mereka berdua.
Saat itu juga, bola
memantul keras pada ring, yang membuatnya kembali pada realita. Bola itu
melambung jauh ke arah berlawanan, yang membuatnya harus berbalik untuk melihat
ke mana bola itu terus melambung dan akhirnya akan terjatuh. Namun, saat bola
itu mendarat di tangan seorang pria, bukannya plester semen lapangan, air
mukanya mengeras.
Rio.
Rio melangkah mendekati
Bella, namun Bella tidak mencoba mundur atau menghindar seperti yang sering
gadis itu lakukan tiap kali ia mendekat padanya. Ia melangkah lagi. Tidak ada
respon. Ia melangkah lagi, dan masih tetap tidak ada respon.
Ia melangkah lagi.
Lebih mantap. Lalu berhenti setengah meter di hadapannya dan terus menatapnya.
Pandangannya tidak pernah lepas dari Bella. Dan hal itu menyadarkannya. Well, Bella memang... cantik. Dan manis,
sangat manis. Sedikit mengingatkannya pada Sung Shi Won, gadis di drama favorit
Bella. Yeah, she is a sweetie. Dan
dia merasa sangat bodoh karena pernah tidak mempercayainya, dan meninggalkan
Bella-nya yang cantik begitu saja.
“Aku.. minta maaf.” Rio
memulai. “Entah udah berapa kali aku minta maaf, dan aku yakin kamu juga capek
berkali-kali harus denger kata-kata itu. Tapi, Bel, hampir 5 tahun. Aku cuma
nggak mau terus-terusan dihantui masa lalu dengan nggak dapet kepastian that I am forgiven. Kamu.. tahu
maksudku, kan?”
Bella hanya diam.
“Come on, Bells..”
Bella tetap diam. Lalu
tiba-tiba ia menyerbu, memeluk Rio erat.
Rio bingung. Harus
bagaimanakah ia?
Satu tangannya lalu
meraih punggung Bella, membalas pelukannya. Sedang tangannya yang lain
melingkar pada bola basket Bella.
“I’m forgiven..?”
“Let’s just say you are forgiven, Mario. Karena nggak semuanya salah kamu. But—“ Bella melepas pelukannya, lalu merebut bola basketnya dari
tangan Rio.
“Beat me, or you won’t be forgiven forever. Deal?”
Rio menghela napasnya
lega. Itu artinya ia dimaafkan. Benar-benar dimaafkan oleh Bella.
“Let’s shoot some hoops, then?”
Mereka benar-benar
one-on-one. Pertandingan yang sedikit berisik, menilik hanya ada mereka berdua
di lapangan itu.
Sambil men-dribble, Rio menyeringai pada Bella.
“Inget Bones?”
Bella mengangguk cepat.
Mengerti siapa yang dimaksud. “Pastinya! Hodgins sama Angela, kan?”
“Kayak kita, ya,”
Giliran Bella yang
menyeringai. “Beat me first, baru aku
setuju.”
Lalu mereka bertanding
lagi. Dan kali ini lebih banyak canda dan tawa yang mereka bagi pada atmosfer
di lapangan basket penuh memori itu. Dan aura baru.
Penerimaan kembali
perasaan dahulu kala yang sengaja dilupakan.
Dan semoga untuk seterusnya, kita
masih terus bersama.
# # #
P.S. : This is one of my short stories for the literature project. There are another stories coming up after this one. Stay tune.
Regards,
Umi Sa'adah =]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar