Drrt.. drrt..
From : TukangTarik
Cip, ke psr malem yok,
Pasar malam? Tumben banget Rio ngajakin ke pasar malam. Ada
yang aneh kayaknya. Perlu diselidiki.
From : TukangTarik
Ad yg laen2 jg. Apin aja ikut.
Tapi dy brg Ipoy. Udah berangkat.
Ooh, pantesan rumah sepi banget. Ternyata si tuan muda satu
itu sedang kencan bersama sang kekasih di pasar malam entah dimana itu.
To : TukangTarik
Funfair? Which one?
Kyknya ga ada psr malem deh hri ini. D smg.
From : TukangTarik
Bkn d smg. Ungaran.
Alun2. Ikutan yok : )
To : TukangTarik
Jauh ga sih?
From : TukangTarik
Ga. Uda ikutan aj -_-
To : TukangTarik
Iya deh.
Lo jmput gw tapi. Hhe.. :P
From : TukangTarik
Gw uda d rmh lo.
5 mnt lg ga trun, gw tggal.
To : TukangTarik
Iye, iye. Bawel lu ah,
Sivia bergegas mengganti nama kontak Rio dengan TanteRio
sebelum mengganti piyama birunya dengan kaos plain white dan skinny jeans
hitam. Kemudian ia memasukkan ponselnya ke dalam saku jeansnya dan menyambar
cardigan hitam favoritnya dari kursi belajar. Lalu mengambil flat shoes hitam
dan keluar terburu-buru dari kamarnya.
Saat ia sampai di ruang tamu,terkejutlah ia saat melihat Rio
tengah duduk dengan santainya, telah rapi dengan pakaian yang hampir sama
dengannya. Jeans hitam, kaos putih polos, converse hitam dan jaket hitam polos.
“Lah, kok sama sih?” tanya Sivia heran sambil menunjuk
dirinya dan Rio bergantian.
“Elaah, gapapa lagi. Udah, ga usah ganti baju. Kita langsung
berangkat aja.” kata Rio menyarankan.
“Tapi...” Sivia hendak menyanggah, namun ia tidak cukup
cepat.
“Udah, ga usah pake tapi. Eh, lo ada helm ga?” tanya Rio
terburu-buru. Ia melirik arlojinya. 18.27. ‘Keburu malem nih,’
“Ada di depan.” jawab Sivia lemas.
“Ya udah. Ayo!” ajak Rio semangat. Ia melenggang mendahului
Sivia menuju motor hitam besarnya yang terparkir di halaman kediaman Sindhunata.
Sementara Sivia sengaja berjalan agak lambat mengikuti langkah-langkah mantap
Rio. Ditatapnya punggung tegap Rio yang semakin menjauh, yang hanya membuatnya
tersenyum heran dan mempercepat langkahnya. Ia tahu Rio sudah kesal menungguinya
datang dan segera menaiki motornya. Secepatnya berangkat ke pasar malam itu.
Sivia menyambar helm putih yang sering ia pakai saat
berangkat sekolah bersama sang kakak dan cepat-cepat menaiki motor Rio.
“Ayo, Yo! Berangkaatt!!!” Sivia mengangkat kepalan tangannya
tinggi-tinggi tanda semangat. Rio hanya memandangnya dengan wajah yang
seolah-olah mengatakan plis-deh-lo-udah-gede-malu-maluin-aja. Sivia hanya
mengeluarkan senyuman tidak berdosanya, yang ternyata bisa membuat Rio
menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Kemudian memacu motornya cepat, keluar
dari kediaman Sindhunata, menuju Ungaran Funfair entah dimana itu. Menurut
pandangan Sivia.
@Ungaran Funfair.
7.02 pm.
“Anjrit ah, Vi... Gue ga mau.. Lo tau kan kalo gue phobia
gelap. Plis, Vi... Ogah gue.. Najis ah,” tolak Rio melas sambil menarik-narik
tangannya agar lepas dari genggaman tangan Sivia yang—ternyata—cukup kuat juga.
Baginya.
“Ih, Yo.. Lo tuh ye.. Cowok kok takut gelap,” komentar Sivia
sambil terus menarik-narik Rio. “Ayo ah!!” Dengan paksa, Sivia menyeret Rio
menuju wahana permainan di pasar malam itu. Rumah Hantu Sisillia. Begitu judul
yang terpampang besar-besar di kayu-kayu yang membentuk seperti sebuah gapura.
Setelah membayar sejumlah uang untuk ditukar dengan tiket
masuk, Sivia kembali menarik-narik Rio menuju pintu masuk rumah hantu tersebut.
Dan semakin dekat mereka ke pintu masuk, semakin pucat wajah Rio dibuatnya.
Awalnya mereka memang dipandu dengan seseorang yang, kemungkinan, panitia pasar
malam itu. Namun, setelah beberapa saat mereka memasuki Rumah Hantu Sisillia,
pemandu itu harus meninggalkan mereka. Katanya harus cari jalan keluar sendiri.
Mampuslah Rio. Harus keliling rumah hantu sialan ini berdua Sivia. Rio
benar-benar mengabaikan fakta bahwa ia sekarang sedang berdua bersama Sivia. Ketraumaannya
terhadap kegelapan jauh lebih besar sehingga fakta itu tenggelam habis-habisan
ditelan trauma Rio.
Sivia berjalan pelan, menuntun Rio dan dirinya agar bisa
keluar dari rumah hantu tersebut. Sesekali ia terkikik geli melihat Rio yang
ketakutan dan setan-setan palsu yang dibuat panitia pasar malam. Saat akhirnya,
momen itu datang juga. Tepat ketika sebuah boneka berbentuk bungkus permen
sugus rasa susu terjatuh tiba-tiba di depan mereka.
Refleks, Rio langsung memeluk Sivia dari belakang. Menutup
matanya rapat-rapat dan membenamkan wajahnya pada bahu Sivia. Sedang Sivia
hanya tertawa terbahak-bahak melihat respon dari Rio yang super ketakutan itu.
Pelan-pelan ia melepaskan cengkeraman tangan Rio dari kaus putihnya. Kemudian
meraih tangan Rio dan menggenggamnya erat. Menenangkannya sebentar sampai
akhirnya ia merangkul tengkuk Rio, membenamkannya lebih dalam pada bahunya. Ia
bisa merasakan dingin air mata cowok itu di kausnya. Benar-benar ketakutan ia.
Tak peduli berapa umurnya sekarang.
Cepat-cepat Sivia menuju pintu keluar dan langsung menuju
bagian pasar malam di mana hampir tidak ada orang di sana begitu ia bisa
mendengar ingar-bingar musik dangdut murahan pasar malam.
Segera didudukkannya Rio di atas tempat duduk semen yang ada,
membiarkan cowok itu menuntaskan ketakutannya di bahu Sivia. Membiarkan cowok
itu merusak kaus putih Sivia. Ia juga sesekali menenangkannya dengan
menyanyikan lagu-lagu bernada jazzy yang memang menenangkan.
Setelah beberapa lama, Rio mulai tenang. Ia mengangkat
kepalanya sedikit sambil terus mengatur napasnya. Dengan tisu yang dibawanya,
Sivia menghapus sisa-sisa air mata Rio. Dengan penuh kesabaran, kekhawatiran
dan sambil terus menyanyi, Sivia mengahpusnya perlahan-lahan. Agak sedikit
bersalah juga ia melihat Rio ketakutan begini. Walaupun ia tahu sejak dulu Rio
memang phobia gelap. Pernah suatu kali Rio dikunciin di kamar mandi, lalu
lampunya di matikan. Histeris sekali ia saat itu.
Perlahan namun pasti, Rio tenang. Napasnya kembali teratur
dan bulir-bulir air mata tidak lagi berjatuhan. Sivia memeluk Rio sebentar,
lalu memulai percakapan.
“Lo udah nggak pa-pa kan?” tanya Sivia khawatir. Rio hanya
mengangguk pelan menanggapi pertanyaan Sivia.
“Maaf ya.. Gue ga ada maksud buat bikin lo jadi kayak gini.
Bener-bener ga ada. Gue ga tau kalo bakal begini jadinya. Kan niat kita kesini
buat seneng-seneng. Di pasar malem kan yang paling menantang cuma rumah
hantunya...” jelas Sivia takut-takut. Ia takut Rio akan murka pada dirinya
karena telah memaksa Rio bermain di area terlarang bagi Rio itu. Tapi ternyata
dugaannya salah. Rio mengusap wajahnya yang basah karena air mata, lalu ia
berdiri. Kemudian dengan lembut, ditariknya Sivia hingga berdiri dan
mengajaknya ke satu booth yang
menjual aneka camilan ringan. Rio membeli 2 botol air mineral. Kemudian
berjalan sedikit menjauh dari keramaian pasar malam. Satu botol ia berikan pada
Sivia. Disuruhnya Sivia untuk minum sedikit agar tidak dehidrasi. Dalam remang
cahaya di tempat mereka kini, Rio bisa melihat wajah pucat Sivia. Entah
kelelahan atau apa, namun yang terpenting ia tidak ingin gadisnya itu
kenapa-napa.
Satu botol lagi untuk dirinya membersihkan mukanya yang
sedikit kucel setelah adegan pertumpahan air mata tadi. Setelah ia selesai, ia
menenggak habis minumnya, lalu melemparkan botolnya yang kini kosong
sembarangan entah ke mana.
“Iih, jangan buang sembarangan doong!” Sivia menampar lengan
Rio, cukup keras, karena Rio terlihat kesakitan setelahnya.
“Dih, suka-suka gue kali. Yang beli kan gue,” balas Rio
tenang sambil mengusap-usap bagian lengannya yang ditampar Sivia tadi. “Lagian,
lo tuh makan apa aja sih tadi? Sakit banget tau nggak lengan gue yang lo gampar
barusan,”
Sivia sukses manyun dibuatnya. Rasa bersalahnya tadi pada
cowok di depannya ini menguap begitu saja. Diremasnya botol air mineral yang
digenggamnya, lalu dilemparkannya ke arah Rio. Dan benda itu sukses menghantam
dada Rio yang bidang. Dengan kesal Sivia meninggalkan Rio di tempat itu.
‘Yaah, marah kan,’ batinnya menyesal. Buru-buru ia menyusul
Sivia. Terpaksa ia melangkah cepat-cepat karena Sivia juga melangkah cepat.
Sambil menghentakkan kakinya kesal pula.
Begitu sudah agak dekat, Rio meraih tangan Sivia, menahan
langkah-langkah kesalnya dengan paksa. Ditatapnya manik coklat gadis itu
lekat-lekat hingga terlihat rona kemerahan itu di pipi chubby yang sudah sangat familiar baginya.
Merasa rona sialan itu sudah tertera jelas di pipinya, Sivia
buru-buru mengalihkan pandangannya. Memecah konsentrasi Rio yang sedang
memandang manik coklat menawan itu. Rio hanya terkikik geli melihat reaksi
gadis di depannya ini. Sungguh manis bagaimana rona itu ternyata sedikit
menghangatkan dadanya yang kelewat dingin, yang kekurangan dosis kehangatan
kasih sayang ini.
“Udah dong. Jangan ngambek gitu. Ntar cantiknya ilang loh,”
rayu Rio. Sivia lantas melemparkan pandangan kesalnya pada pemuda yang tengah
menggenggam pergelangan tangannya itu.
“Gini deh. Gue traktir lo aja gimana? Jarang-jarang kan, gue
baik gini. Sama lo lagi,” Rio tersenyum meyakinkan. Dan Sivia membalas ajakan
itu dengan senyum penuh dendam.
Dan kejam.
# # # # #
“Arum manis dong, Yo...” pinta Sivia dengan wajah memelas.
Rio memandangnya sekilas, kemudian tersenyum dan menarik Sivia menuju
abang-abang penjual arum manis.
“Bang, arum manisnya satu ya?” Abang-abang penjual arum manis
tersebut langsung mengacungkan kedua jempolnya dan memulai pekerjaannya membuat
arum manis pesanan Rio.
“Mau yang bentuknya gimana, dek?” tanya si abang. Rio
terlihat berpikir sebentar sebelum menjawab.
“Lope-lope aja, Bang. Gimana, Vi?” Sivia melongo mendengar
bentuk yang disebutkan Rio tadi. Lope-lope? Love? Iihh....
“Diih, ogaah.. Masa lope-lope sih?? Ga, Bang, yang biasa aja.
Jangan mau disuruh ni orang sinting.” Rio terkikik geli mendengar penolakan
dari Sivia itu. Dengan masih menahan geli, Rio nekat berdebat dengan Sivia.
“Alah, udahlah.. Lope-lope aja.. Gue juga kan yang bayar,”
“Iiih, ga mau... Lebay banget tau ga pake lope-lopean segala.
Ga!”
“Iya!”
“Enggak!”
“Ayolah, Vi..”
“Gue ngambek nih,” Skak mat. Rio langsung memohon-mohon agar
Sivia tidak ngambek dan akhirnya memenuhi permintaan Sivia.
“Ya udah deh, Bang. Ga jadi lope-lope. Lady Gaga aja. Biar
dia ga ngambek nih..” kata Rio pasrah. Abang arum manis yang sedari tadi dengan
santai menyaksikan perdebatan dua anak manusia itu hanya terkekeh geli. Anak
muda jaman sekarang.
“Hehehehehe... Adek-adek ini romantis banget, deh. Abang
doain kalian langgeng, ya... Silakan tunggu 5 menit. Dan arum manis siap di
tangan.”
Apa tadi? Romantis? Langgeng? Rio dan Sivia sama sekali tidak
mendengar dua kalimat terakhir. Hanya dua kata sialan yang bikin pipi merah itu
saja yang terus terngiang-ngiang dalam dua kepala manusia itu.
“Kita ga pacaran kali, Bang!” sergah Rio dan Sivia bersamaan.
Abang arum manis hanya terkekeh tanpa suara sambil terus memutar-mutar alat
pembuat arum manisnya. Tak berapa lama, abang arum manis selesai. Ia
menyerahkan arum manis masterpiece-nya pada Rio dan diberikannya pada abang
arum manis selembar dua puluh ribuan. ‘Mahal amat,’ pikir Sivia heran.
“Mahal banget, Yo, sampe dua puluh ribu gitu,” katanya heran
sambil mengemut arum manis yang ia sobek sedikit demi sedikit.
“Yang mahal tipnya..” balas Rio santai.
Kemudian ia mengajak Sivia untuk mencoba wahana lain. Dan
yang dipilih oleh Rio adalaaahh..... jeng, jeng....
Komidi putar!
“Hah? Serius lo, Yo? Itu kan, buat anak kecil..” protes
Sivia. Jelas saja protes. Siapa sih, remaja yang mau naik wahana buat anak
kecil gitu? Paling banter juga naik bianglala. Itu aja juga dimanfaatkan untuk
hal yang aneh-aneh.
“Udahlaahh.... Nggak usah protes. Manut gue aja...” paksa
Rio. Alhasil, mau tak mau, Sivia harus mau. Daripada ia harus pulang sendiri
karena Rio tak mau mengantar karena ngambek Sivia nggak mau naik komidi putar?
Ogah deh.
Setelah menukar sejumlah uang yang kelihatannya banyak—karena
Sivia sempat melihat Rio mengeluarkan 4 lembar uang sepuluh ribuan, padahal
harga karcis naiknya hanya empat ribu rupiah saja—Rio menarik lengan Sivia yang
sedang tak memegang apa-apa menuju wahana anak-anak tersebut. Ia juga
menyerahkan sepuluh lembar karcis pada mas-mas panitia. Dan membisikkan sesuatu
di telinga mas-mas itu. Sepertinya penting, karena mas-mas itu mengacungkan
jempolnya tanda setuju pada Rio setelah membisikinya tadi.
“Yuk, Vi,” ajaknya lembut. Mereka menaiki sebuah kereta kuda
kecil yang jelas-jelas tidak akan muat untuk dua orang, namun tetap mereka
paksakan. Sempit, sempit deh.
Dan komidi putar tersebut mulai bergerak. Sivia dan Rio mulai
merasa tidak nyaman. Akhirnya, Rio meminta Sivia duduk di atas sandaran kereta.
Dan Rio duduk di bawahnya. Macam pelayan dan tuan putri.
Batas waktu komidi putar ini adalah 10 menit untuk satu
karcis. Sedangkan kini, mereka sudah berputar selama sekitar 30 menit. Sivia
mengerti dengan karcis-karcis yang dibeli Rio dalam jumlah banyak itu. Dan
acungan jempol mas-mas operator komidi putar.
“Lo ada rencana apa, sampe beli banyak karcis gitu?” tanya
Sivia menyelidik. Rio hanya tersenyum acuh merespon pertanyaan Sivia. Gadis itu
manyun ketika pertanyaannya hanya disenyumi saja. Ia butuh jawaban! Dalam
kata-kata!
“Woiii.... jawab napa?? Bibir lo yang seksi itu kan masih
pada bagus-bagus. Ga cacat, ga bonyok,” Sivia merayu. Dan lagi-lagi, Rio hanya
tersenyum.
Oke, kesabaran Sivia sudah menipis. Perlu diisi ulang ini!
Dasar cowok, makinya dalam hati.
Akhirnya, Sivia menyerah. Ia tidak ingin bertanya lagi. Ia
yakin bila ia berani bertanya lagi, lama-lama senyum Rio akan semakin melebar,
dan akan tetap seperti itu sampai besok pagi bila ia bertanya lebih banyak.
Menghibur memang, tapi ia masih tetap punya hati. Tidak seperti pemuda di
samping bawahnya ini. Menyebalkan. Totally
annoying.
Satu jam kemudian, Rio bangkit dengan semangatnya. Ia
berjalan meninggalkan Sivia, pergi berdiskusi dengan mas-mas operator tadi.
Lagi-lagi mas-mas itu mengacungkan jempolnya mantap. Rio kembali ke komidi
putar, sedikit melompat saat akan menaiki komidi putar yang sedang bergerak.
Sesampainya ia di tempat yang ia tinggalkan tadi, ia sodorkan
tangannya. Bibirnya menyunggingkan senyum yang membuat semua orang akan luluh
dan percaya padanya seketika itu juga. Dan itulah yang terjadi pada Sivia.
Hanya saja, senyum itu mempunyai arti yang sangat berbeda dengan apa yang
dijabarkan barusan. Arti tersendiri bagi Sivia.
Diajaknya gadis itu turun dari wahana anak-anak tersebut.
Dengan sangat hati-hati seperti sedang menurunkan guci emas milik Raja Fir’aun
yang bila miring sedikit saja, hukuman pancung langsung dilaksakan saat itu
juga. Dan gadis yang digandengnya ini adalah guci emasnya. Yang harus ia jaga
dengan sangat hati-hati agar tidak tergores barang setitikpun.
Sebelum keluar dari wahana tersebut, Rio melepas genggaman
tangannya sesaat. Ia ajak empat anak kecil berpakaian sedikit kucel. Dari
matanya, terlihat mereka ingin sekali naik wahana anak-anak itu.
Lagi-lagi Rio berdiskusi sebentar. Dan mas-mas operator
mengangguk semangat. Tak usah ditanya, mas-mas itu juga mengacungkan dua
jempolnya dengan mantap.
“Makasih mas!” seru Rio pada mas-mas operator yang tersenyum
ceria.
Sivia memandang Rio dengan penuh keheranan.
“Apa sih, liat-liat? Yak, gue tau gue tuh ganteng. Udah dari
lahir, sih. Jadi kalo lo naksir ya, ga pa-pa, sih. Udah biasa kok. Banyak yang
sering ngeliatin gue kayak gitu.” ujar Rio narsis. Gusti, cowok satu ini emang
bener-bener ga tau malu ya? rutuk Sivia dalam hati.
“Gue laper.” ujar Sivia singkat. Dan Rio mengakhiri acara
narsisnya. Digandengnya gadis itu, melangkah menuju sebuah gerobak yang menjual
sate beraneka macam jenis dan rasa.
Dengan senjata terampuhnya—senyum yang meluluhkan sejuta
umat—Rio berbasa-basi dengan ibu-ibu penjual sate. Sampai Sivia dibuat terpana
oleh kecanggihan senyuman maut Rio.
“Ibu. Yang jual sate. Yang paling uenakk tenan! Beli satenya
dong..” pesan Rio, sambil sedikit merayu. Sivia mengernyit heran dengan apa
yang baru saja ia lihat. Pandai merayu juga pemuda satu ini.
“Siap, mas. Ayam, kambing, sapi, kelinci? Pedes, biasa,
manis, pedes manis?” tanya si ibu. Rio menoleh pada Sivia, menunggu pesanannya.
“Ayam aja. Pedes manis.” jawab Sivia akhirnya.
“Dua porsi, tapi dijadiin satu, Bu. Trus, kasih bonus juga ga
pa-pa. Lima atau tujuh tusuk aja lah, Bu. Ga usah banyak-banyak. Pake pincuk ya, Ibu cakep yang jual sate
paling uenak..” tambah Rio. Ini mau beli sate apa mau ngegombalin yang jual
sih?
Si ibu langsung membuatkan pesanan Rio sambil terkekeh
mendengar pesanan Rio tadi. Tangan kekarnya dengan sigap mengipaskan kipas
bambu persegi, membuat bara-bara di bawah bertusuk-tusuk sate menjadi
kelebat-kelebat api yang muncul hilang seiring kibasan kipas si ibu.
Tak berapa lama, pesanan Rio—dan Sivia—sudah berada di tangan
si pemesan. Setelah membayar dengan selembar lima puluh ribuan—sudah termasuk
tip—pada si ibu, Rio mengajak Sivia duduk, menyantap sate-sate tadi di sebuah
bangku semen tak jauh dari gerobak sate si ibu. Lima diantara tiga puluh enam
tusuk sate lenyap sudah setelah memasuki mulut Rio dalam sekali lahap. Sivia
yang sedari tadi hanya terdiam, terheran-heran melihat pemuda di sebelahnya
tiba-tiba berubah menjadi kanibal.
“Pelan-pelan aja kenapa sih, Yo? Kayak ga pernah makan sate
aja,” komentar Sivia. Kemudian ia melahap sepotong daging dari tusuk keduanya.
Rio menggumam tak jelas saking penuh mulutnya oleh berpotong-potong daging yang
masuk ke mulutnya. Barulah, setelah semua tertelan sempurna, ia berkata.
“Emang ga pernah.” Singkat. Kemudian ia menyambar setusuk
sate lagi. Namun kali ini, pelan-pelan sepotong demi sepotong kecil ayam bakar
berbumbu yang masuk dalam mulutnya.
“Seumur-umur ga pernah makan sate?”
“Kagak. Bokap gue selalu ngasih roti tiap sarapan, lunch, bahkan dinner. Ga selalu plain sih, tapi lama-lama bosen juga. Waktu
nyokap masih ada aja sih, pernah. Sekali doang.”
“Jadi ini kali kedua elo?”
“Yap. Dan dua-duanya bakal selalu membekas di hati gue.”
“Maksudnya?”
“Karena sama yang tersayang.”
Sivia mengernyitkan dahinya lebih lagi. Rasa heran itu
berkembang menjadi lebih besar lagi. Yang tersayang? Apa maksudnya?
Baru saja ia akan menanyakan maksud perkataan cowok di
depannya ini, Rio terlanjur bangkit. Kembali ke gerobak sate si ibu. Sepertinya
ia tengah kerasukan atau sedang terkena brain
malfunction. Karena ia bertingkah aneh hari ini!
Ia mengambil alih gerobak si ibu. Membiarkan si ibu istirahat
sejenak. Dan ia berseru-seru memanggil para pelanggan. Mencoba apakah ia yang
ganteng ini bisa membantu si ibu mencari untung. Dan ternyata.... berhasil.
Sukses besar.
Sekali ia berteriak “SATEE!!!”, sekitar 8 orang menghampiri
gerobak sate tersebut. Dan hampir semuanya berjenis kelamin perempuan! Si ibu
terlihat gembira. Ia pun bangkit lagi, membantu Rio melayani para pelanggan.
Satu pelanggan bahkan sampai berfoto bersama Rio setelah mendapat satenya.
Sedang Sivia? Melihat adegan tak jauh di depannya membuatnya
sadar akan suatu hal. Rio tidaklah seburuk yang ia pikirkan. Ia memang baik.
Sangat-sangat baik. Dan ramah. Hanya saja sifat masa bodohnya terlalu
mendominasi otaknya.
Namun hari ini, malam ini, Rio membuktikan semuanya. Bahkan
rasa sayangnya pada Sivia, yang Sivia sendiri masih tidak menyadarinya. Tidak
mengerti apa maksudnya.
# # #
Please leave any comments on this blog or on my facebook : Umi Sa'adah or on my twitter : @umisaadah95. Thanks :)
Salam,
Umi Sa'adah =]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar