Laman

Senin, 18 April 2011

When It Rains [part. 3]

oke oke..
time to post!! ini dia part 3..
pada nunggu ga?? ga deh keknya *pede kumat*
oke dah, ga usah banyak cingcong. kite mule saje,,
thisisit *pake gaya farah quinn*, enjoy!!

---------------------------------------------------------------------------------------------------

“Makasih ya, Yo, udah nganterin sampe rumah.”

“Sama-sama, Vi. My pleasure lagi.”

“Yea, yea, whatever you say.. Bye,”

“Bye..”

Ketika Sivia membuka pintu, tiba-tiba hujan mengguyur cukup deras. Sivia langsung menutup kembali pintu yang tadi dibukanya.

“Yaah, malah ujan..”

“Ya ga pa-pa lagi. Cuma ujan air kan? Bukan ujan batu.. Udahlah..”

“Tapi, Yo, gue males basah-basahan,”

“Lah, lo kan cuma tinggal nyebrangin halaman depan lo aja kan? Ga bakal basah lagi..”

“Yo, lo ga sadar ya? Halaman depan rumah gue tuh segede lapangan sepakbola *hiperbol deh,*.. Tetep aja ntar bakal basah. Ogah gue,”

“Ya udah, gue talangin pake jaket gue aja gimana?”

“Ga ah. Gue kasian lo-nya. Ntar basah jaket lo itu,”

“Lha ya emang bakal basah. Siapa bilang ga?”

“Ya elo… tadi… ehmm…” Sivia bergumam-gumam sendiri tak tahu akan menjawab apa.

“Udah, udah, yok..” Rio melepas jaketnya, membuka pintu mobilnya, menutupnya kembali dan mengangkat jaket itu di atas kepalanya, menuju pintu penumpang dan membukanya.

Rio langsung menutupi puncak kepala Sivia dan berlari berdampingan menuju gerbang kediaman Sindhunata. Sivia bergegas membuka pintu gerbang dan mereka berdua berlari menghindari rintik hujan yang deras (walaupun ga ngaruh) sampai ke teras depan kediaman Sindhunata.

“Duuh, makasih banget ya, Yo. Jaket lo sampe basah kuyup gini.”

“Ga pa-pa lagi. Udah kewajiban gue sebagai cowok buat ngelindungin cewek.”

“Ceilah, gombal banget lo. Ya udah pulang sana. Keburu deres banget ntar,”

“Iya deh. Gue pulang dulu, Vi. Salamin buat Alvin, ye..”

Sesaat Rio sedikit ragu untuk mengangkat kaki dari teras depan itu. Ia memandang bergantian antara jaketnya yang basah dengan mobilnya yang terparkir agak jauh dari teras depan. Sivia yang melihat keraguan Rio, buru-buru masuk rumahnya dan mencarikan payung dan meminjamkan jaket untuk Rio.

Rio memandang jaket dan payung yang disodorkan padanya kemudian memandang Sivia dengan tatapan penuh terima kasih. Rio mengambil jaket abu-abu itu dan memakainya. Kemudian membuka payung itu. Rio berlari menembus hujan dengan payung yang melindunginya dari hujan sambil meneriakkan terima kasih pada Sivia.

Secara tak terduga benih cinta dalam hati kedua anak manusia itu tumbuh sedikit demi sedikit karena terpupuk kehangatan hati yang ditawarkan oleh dan untuk masing-masing. Di malam senyap berhias derasnya hujan menjadi saksi bisu tumbuhnya percik cinta dua anak manusia itu.

# # # #

“Tadi malem pulang ama siapa Vi?” tanya Alvin di sela-sela sarapannya.

“Hm? Sama Rio.” jawab Sivia singkat. Kemudian melahap potongan terakhir sandwich dagingnya.

“Kok bisa bareng dia?”

“Kebetulan ketemu di taman.”

“Kamu merenung lagi ya, di taman?”

“Iya. Eh, kak. Barusan kak Alvin manggil apa?”

“Hah? Apaan?”

“Tadi. Kak Alvin manggil aku pake ‘kamu’. Ga pake ‘lo’.”

“Masa iya? Yaah, berarti emang udah waktunya kakak jadi kakak yang baik buat kamu. Buruan makannya, Vi. Ntar telat.” Alvin beranjak dari kursinya, menghampiri Sivia yang sedang di kursinya, masih meminum susu putihnya, dan mengecup puncak kepala Sivia sekilas *ini ciuman kakak kepada adeknya lho*. Kemudian mengambil ransel abu-abunya dan keluar untuk memanaskan mesin motornya setelah menepuk puncak kepala Sivia pelan.

Sivia bergegas mengambil ranselnya, memakai Converse abu-abu kesayangannya dan merapikan seragamnya dengan dibantu salah satu pembantunya sebelum membonceng motor kakaknya. Sivia meneriakkan ‘dadah’ dan ‘terima kasih’ pada pembantu yang membantunya bersiap-siap tadi.

Sivia melenggang santai menuju kelasnya. Sambil mendendangkan lagu dari Jason Mraz, I’m Yours, saat tiba-tiba seseorang menarik lengannya. Sivia tersentak. Si penarik tadi kemudian menyeret Sivia menuju perpustakaan jumbo sekolah.

Sesampainya disana, Sivia didudukkan dengan sedikit kasar oleh si penarik, yang dikenali sebagai Rio.

“Aduh Yo, bisa ga sih ga narik-narik? Sakit tau,” Sivia mengusap-usap lengannya yang menjadi korban. Yang ditanya sama sekali tidak peduli. Rio hanya sibuk sendiri, mencari-cari sesuatu di dalam ransel hitamnya. Kemudian ia mengeluarkan sebuah payung warna biru langit dan sebundel fotokopian entah apa. Rio menyerahkan payung dan bundelan fotokopian itu pada Sivia.

“Nih, payungnya gue balikin. Jaketnya gue balikin besok. Masih di laundry. Trus ini ada riwayat Gamasta dari awal pendirian sampe nasibnya sekarang. Lo pelajarin baek-baek. Dan besok rangkumannya harus udah ada di meja gue. Dan jangan bantah,” Lalu Rio meninggalkan Sivia yang terbengong-bengong di perpustakaan sekolah sambil memandang bundelan riwayat hidup Gamasta IHS.

‘Bujut dah. Sebundel gede gini harus gue baca dalam waktu semalem dan harus udah ada rangkumannya besok pagi? Sadis amat.’

# # # #

Bel istirahat baru saja berbunyi. Semua murid-murid kelas X, XI, XII bergegas menuju kantin atau cafetaria sekolah untuk mengisi ulang tenaga mereka yang dikuras pagi ini. Semua kecuali satu. Sivia. Gadis imut itu tidak mempedulikan apakah sekarang jam istirahat atau jam pelajaran. Yang ia pedulikan hanya riwayat Gamasta IHS yang berada di tangannya yang tengah ia baca dengan teliti dan saksama. Suasana hening kelas XI-III membuatnya semakin berkonsentrasi membaca riwayat sekolahnya itu.

Saking heningnya, sampai-sampai Sivia tidak menyadari seseorang mendekatinya diam-diam. Dan kemudian,

Brakkk!!!

“Kyaaaaa!!!” Sivia menjerit dan melemparkan bundelan yang sedang dibacanya ke udara, yang kemudian jatuh ke lantai dengan suara berdebum cukup keras. Sivia mengelus-elus dadanya pelan dan memungut bundelan referensinya.

“Aduuh, Shilla, jangan ngagetin gitu dong.. Untung referensinya ga gue lempar ke lo.” Omel Sivia.

“AHAHAHHAA!! Maaf deh, Vi. Abis kayaknya konsen banget. Kayak gituan mah, yang dibaca isinya aja. Pendahuluan sama penutupnya ga usah di baca.” jelas Shilla, teman sekelas Sivia yang lain. Ia mengambil tempat duduk siapa-itu-ga-tau-namanya yang ada di depan Sivia.

“Oh, gitu ya? Bilang dong dari tadi,”

“Yaah, lo-nya ga nanya. Ke kantin yuk, Vi,”

“Ayo. Laper banget nih lagian.”

Sivia memasukkan referensinya ke dalam ranselnya dan mengikuti Shilla keluar kelas. Menuju kantin yang super penuh.

Sesampainya di sana, Sivia dan Shilla langsung menuju stan milkshake dan memesan 2 vanilla milkshake, kemudian bergabung dengan Dea dan Ify yang sudah lebih dulu datang. Mereka menempati sebuah meja yang agak besar berkursi 8. Selama beberapa menit mereka bercanda, sampai tiba-tiba Ray muncul from no where dan langsung duduk di sebelah Dea, yang notabene pacar Ray, tanpa minta ijin terlebih dahulu.

“Aah, si Ray nih. Lo kan cowok.. Cari tempat laen aja sana..” keluh Shilla, yang hanya dibalas juluran lidah iseng Ray.

Tak lama, pintu kantin terbuka. 3 pemuda bertubuh tinggi tegap berjalan memasuki kantin. Secara otomatis, seluruh pengunjung kantin terdiam saat itu juga, memandang ketiga pemuda itu. Mereka melihat-lihat keadaan kantin sebentar, lalu berjalan ke arah meja yang ditempati Sivia dkk. Shilla, yang sedari tadi menyedot milkshakenya dengan barbar, membeku seketika saat melihat siapa yang baru saja memasuki kantin.

3 pemuda itu duduk tanpa permisi di meja Sivia dkk.

“Bagi milkshake-nya dong Vi,” Alvin, salah satu dari 3 pemuda tadi, menyambar milkshake yang digenggam Sivia dan meminumnya hingga setengah kosong. Lalu kabur, dan duduk disebelah Ify.

“Iiih, Kak Alvin nih.. Ga asik deh..” rutuk Sivia kesal. Alvin hanya tersenyum tanpa dosa dan melanjutkan penjelasannya tentang festival musik sekolah pada Ify, yang notabene seksi acara GEO.

Cakka dan Rio, another boys yang masuk kantin tadi, yang membuat kantin tiba-tiba sunyi senyap, duduk mengapit Sivia di kiri-kanannya.

Cakka, yang memang gebetan Shilla, langsung melancarkan pedekate-nya pada Shilla, yang hanya membuat Shilla megap-megap ga keruan *lebayyy*. Sedang Rio? Ia hanya duduk tak bersuara di samping Sivia. Wajah mempesonanya memancarkan aura tenang yang tak ada habisnya, walau sebenarnya jantungnya berdegup kencang karena gadis di sebelahnya.

Semua orang di meja itu, kecuali Sivia *minus Rio*, yang menyadari ketegangan di raut muka Rio, mencoba memberi tahu Sivia yang tampaknya sedikit berhasil *sedikit lhoo*.

“Lo kenapa Yo?” tanya Sivia akhirnya.

"Ga pa-pa,” jawab Rio pelan.

“Haduuh, Rio, Rio.. Lo ga bisa ngeboongin seorang Sivia Azizah Sindhunata. Bentar ya guys,” Sivia bangkit dari tempat duduknya, menuju ke arah stan penjual snack ringan yang cukup ramai pengunjungnya.

Sementara itu..

“Lo kenapa sih Yo?” Alvin bertanya gemas, ingin tahu mengapa sahabatnya itu diam bagai petir tanpa gemuruh *haiyah..*.

“Vin, gue boleh lancang ga?” Rio berkata takut-takut.

“Ya boleh-boleh aja. Kenapa?”

“Kayaknya.. kayaknya.. gue..”

“Lo kenapa??” tanya Ray gemas.

“Gue kayaknya... suka.. sama.. adek lo..” aku Rio akhirnya. Sesaat Ray, Dea, Alvin, Ify, Shilla, dan Cakka terdiam.

Semenit, dua menit, sampai akhirnya..

“BUAHAHAHAHAHAA!!!!!!” Tawa semua orang di meja itu pun meledaklah. Rio hanya tersenyum kecut melihat semua temannya menertawainya.

“Elo?? Seorang Mario Stevano?? Suka sama cewek?? G-I-L-A-K!! Jiakakakakkaa!!” kata Ray meremehkan, lalu tawanya meledak lagi.

“Udah, udah.. Kasian tuh si Rio.. Hihihihihii..” Dea menengahi dengan diiringi tawa setannya.

“Lo beneran suka sama Sivia?” tanya Alvin serius. Alhasil, suasana di meja itu pun berubah serius.

“Kayaknya sih gitu. Gue suka deg-deg-an gitu kalo deket dia.”

“Hmm, kalo udah gitu sih, gue ga bisa ngelarang. Gue cuma bisa bilang, jangan sampe lo nyakitin dia. Jangan tinggalin dia saat dia udah bener-bener berharap. Udah cukup dia kehilangan nyokap bokapnya. Dan jangan sampe lo jadi yang ketiga. Got it?”

“Ee.. y-yes, Sir.” Dan sekali lagi, tawa mereka pun meledak.

Sivia, yang baru saja datang sambil membawa 2 bungkus Chitato gede, duduk dengan muka merengut. Ada apa lagi nih?

“Lo kenapa Vi?” tanya Rio penasaran. Secara sengaja, Ray berdeham-deham melihatnya. Rio hanya acuh tak acuh melihat tingkah Ray itu.

“Ada cewek nyebelin ngembat Chitato yang gue beli. Rugi banget dong gue!” omel Sivia.

“Lo beli berapa emang?” tanya Alvin penasaran.

“5. Diembat sama tuh cewek sama antek-anteknya 3. Ilang deh duit gue yang 10000 itu.” jelas Sivia.

“Diembat sama siapa sih, Vi?” giliran Shilla yang bertanya sekarang.

“Tuh, yang di sono noh,” Sivia menunjuk sebuah meja berpayung di lantai dua kantin, yang didudukki tiga gadis super centil, yang sedang mengunyah Chitato yang mereka ambil dari Sivia dengan gaya yang …………. *penulis tak sanggup berkata*

Refleks, Shilla, Ify, Dea, dan Sivia mengeluarkan tatapan ingin membunuh. Sedang Cakka, Alvin, Ray, dan Rio mengeluarkan tatapan jijik mereka melihat 3 gadis centil itu.

“Udahlah, Vi, ga pa-pa. Syukurin aja apa yang ada. Masih untung ga diembat semua kan?” Cakka menenangkan. Sivia, yang tidak terbiasa dengan Cakka yang baru ini, mengernyitkan matanya tak percaya.

“Cak, ini beneran elo?”

“Ya iya. Siapa lagi coba?”

“Gile, udah berubah aja lo. Kemana Cakka yang selalu ngejekin gue setiap saat itu?”

“Udah gue buang, karena..”

“Karena apa?”

“Karena si cewek satu ini, gue rela ngebuang sifat gue itu. Walo sebenernya sayang sih,” kata Cakka sambil menyentil iseng hidung Shilla.

“Ciee, udah jadi aja nih? Kok ga bilang??”

Sejenak, masalah embat-mengembat Chitato tadi terlupakan begitu saja.

# # # #

Gadis itu menunggu, menunggu, dan terus menunggu. Wajah manisnya dipenuhi peluh yang berlomba-lomba menetes dari tepi dagunya. Sambil sesekali melihat jam tangannya, ia menunggu dan terus menunggu. Sendirian di halte di hari yang panas membara, menunggu datangnya kendaraan sejuta umat bernama bis kota, yang lebih dikenal bernama Margareth, memang benar-benar membosankan.

Dan hawa panas selama 15 menit penantiannya itu, tiba-tiba tergantikan dengan dingin yang menusuk. Hujan yang cukup deras tiba-tiba mengguyur tanpa ampun. Memaksa para pengendara kendaraan roda dua bernama motor berhenti untuk mengenakan jas hujan mereka. Namun ada juga yang acuh tak acuh akan guyuran air yang dingin itu. Mungkin karena mereka terburu-buru, atau karena memang tidak membawa jas hujan.

Dan gadis itu? Mengapa dia menunggu bis kota? Apakah kakaknya tidak bisa mengantarnya pulang?

“Aduuh, kok ujan lagi sih? Nyebelin ah. Mana kak Alvin mesti keluar kota lagi buat cari sponsor. Haduuh, gue kan ga tau jalan pulang..” rutuk gadis itu pelan.

Tak lama, seseorang berlari memasuki halte. Sesmpainya di sana, seseorang itu, yang ternyata diketahui sebagai seorang pemuda, mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah. Pemuda itu tak tahu gadis di sebelahnya merasa terganggu karena terkena cipratan air dari rambut pemuda itu.

“Aduh duh duh.. Mas, liat-liat dulu dong kalo mau ngibas-ngibasin rambut. Kena ke gue semua nih..” omel Sivia sambil mengelap wajahnya yang terciprat air. Pemuda itu menengok cepat saat mendengar suara omelan Sivia.

“Lho, Vi, lo kok belom pulang? Alvin kemana?” tanya Rio *sok* khawatir.

“Eh, elo toh Yo.. Nyiprat semua tau airnya,” kata Sivia manyun, tidak menjawab pertanyaan yang diajukan Rio barusan.

“Hehe, sori deh.. Alvin kemana?” tanya Rio lagi.

“Tau tuh.. Cari sponsor katanya,” jawab Sivia akhirnya sambil menyingkirkan butir-butir air yang terciprat ke wajahnya.

Rio mengangguk tanda mengerti. Kemudian mengambil tempat duduk di sebelah Sivia. Rio mengacak-acak rambutnya yang basah dan kemudian ia menyadari sesuatu.

“Trus lo ngapain disini?” tanya Rio heran.

“Nunggu bis.” Jawab Sivia dengan polosnya.

“Ngapain nungguin bis? Rumah lo kan deket dari sini.”

“Eh, masa?”

“Lha iya. Perumahan Gastika kan?”

“Iya.”

“Perumahan Gastika cuma 5 menit dari sini. Ngapain pake bis coba?”

“Masa sih, Yo??”

“Iyalah. Mau gue anterin?”

“Iya, mau. Bentar, bentar,” Sivia mengeluarkan payung yang tadi pagi dikembalikan padanya *maksudnya gimana sih nih?*. Lalu berdiri dan membuka payungnya.

“Yuk, Yo!”

Rio dengan senang hati berdiri dan menghampiri Sivia. Mereka kemudian meninggalkan halte Gamasta IHS dalam lindungan payung biru laut Sivia di siang berhujan itu.

Mereka pun berjalan berdampingan menuju kompleks perumahan Pentagon, ke perumahan Gastika, perumahan di mana kediaman Sindhunata berada. Selama perjalanan mereka berbicara, bercanda dan sebagainya. Orang-oarang yang melihat mereka pasti berpikiran kalau mereka berpacaran. Tapi sebenarnya?

“Ah, udah gue aja yang pegang. Gue kan tinggi,” kata Rio.

“Oh. Jadi lo pikir gue pendek, gitu?”

“Ga, Vi. Engga gitu. Ah, lo mah,”

“Gue kenapa, hah?”

“Gapapa.”

“O ya, Yo. Makanan kesukaan lo apa?”

“Ngapain nanya-nanya?”

“Ya biar kalo lo dateng ke rumah kan bisa gue suguhin sesuatu yang lo suka.”

“Chitato.”

“Yang?”

“Apa aja gue suka. Yang penting Chitato.”

“Yang lo ga suka?”

“Cheese fussili.”

“Lo ga suka cheese fussili?? Wah, rugi banget lo, Yo.”

“Emang apa enaknya cheese fussili sih? Cuma bikin eneg, kok disenengin.”

“Eeeh! Jangan ngejek. Cheese fussili tuh makanan terenak sepanjang masa. Kalo misalnya gue harus milih antara cheese burger dan pepperoni and cheese pizza, gue pasti lebih milih cheese fussili. Hehe..”

“Lah, cheese fussili kan ga masuk pilihan. Dasar,”

“Dasar negara Indonesia itu Pancasila.”

“Maksudnya?”

“Rahasia, hehe..”

Aaah, cinta. Cinta dua anak manusia di siang berhujan itu memang indah.

Sivia membuka pintu rumahnya. Setelah ia dan Rio masuk, Sivia melepas sepatunya, melempar ranselnya ke kursi di ruang tamu dan pergi ke dapur untuk mencari suguhan untuk Rio dan dirinya.

Setelah mendapat apa yang dia ingin, Sivia meletakkan 2 bungkus Chitato sapi panggang dan 2 cangkir coklat panas ke atas meja tamu. Sivia kembali lagi ke dapur. Saat ia kembali, ia melemparkan sebuah handuk pada Rio.

“Keringin tuh rambut lo. Jangan dikibas-kibasin sembarangan. Ntar nyiprat ke muka gue lagi,” kata Sivia. Lalu ia duduk di sebelah Rio, kemudian mengambil ponselnya dan mengetik sebuah pesan singkat pada kakaknya.

“SMS buat siapa, Vi?”

“Hm? Kak Alvin. Cuma tanya kapan pulang. Gue ga suka sendirian di rumah. Walaupun udah kebiasa sih,”

“Trus kalo lo sendiri gitu, lo kemana?”

“Taman Musik. Merenung.”

“Oh.”

Keheningan menyerang dua anak manusia itu. Keduanya hanya bisa diam. Keduanya hanya bisa berpikir. Berpikir kapan kakaknya akan pulang. Berpikir bagaimana ia mengatakan perasaannya yang sesungguhnya pada gadis di sebelahnya. Dan penulis juga berpikir kapan keheningan ini akan berakhir.

Akhirnya, doa mereka pun terjawab. Kecuali si pemuda. Raungan mesin terdengar dari luar rumah. Sesaat kemudian, mereka mendengar suara mesin dimatikan dan pintu yang dibuka kemudian ditutup lagi. Suara langkah kaki terdengar makin keras semakin langkah kaki itu mendekati ruang tamu. Dan tiba-tiba…

“Lho Via? Kok basah gitu? Alvin kemana? Eh, kamu Rio kan, ya?”


--------------------------------------------------------------------------------------------------

huehehehe.... pendek banget yak?? najis simelekete deh gue..
namanya juga lagi usaha. ini lagi nulis cuma baru dikit banget. gue ga berani post banyakbanyak
ya sud lah.. ntaran dah saya post-in lagi yang lebih banyak. au dah kapan..
oke?

salam,
Umi Sa'adah

Please leave any comment on this blog or on my twitter : @umisaadah95
or on my facebook : Umi Sa'adah

Selasa, 05 April 2011

When It Rains [part.2]

okeh.. ini dia part 2 cerita ga mutu saya.

kalo jelek atau apa, jangan marahin saya ya?? komen aja.

makasih sebelumnya..


enjoy reading,


-----------------------------------------------------------------------------------------------


“Kak Alvin!!” seru Sivia. Alvin langsung menoleh begitu mendengar namanya di panggil dan melihat Sivia berlari-lari kecil ke arahnya.

“Kenapa Vi?” tanya Alvin saat Sivia sudah berada di depannya.

“Ada waktu ga? Aku mau ngomong sebentar,”

“Boleh. Di mana?”

“Kantin aja gimana?”

“Ya udah. Yok..” Mereka meninggalkan tempat mereka dan menuju kantin sekolah mereka.

Oke, kita perkenalan dulu sambil menunggu Sivia dan Alvin sampai di kantin. Sivia Azizah Sindhunata adalah adik tiri Alvin Jonathan Sindhunata, cowok yang tadi dipanggil Sivia. Ibunya menikah dengan ayah Alvin saat umurnya 5 tahun, dan Alvin berumur sama saat itu. Tapi, kenapa Sivia manggil Alvin dengan sebutan ‘kak’? Awalnya, Sivia pikir Alvin lebih tua dari dia saat mereka ketemu. Jadi, dia manggilnya ‘kak Alvin’. Sivia pindah ke Semarang karena ibunya baru saja meninggal. Dan Alvin adalah satu-satunya keluarga yang dia punya di Indonesia. Ayah mereka kerja di Paris, belom pulang sampai sekarang. Mereka tinggal berdua di sebuah rumah besar bareng 7 pembantu mereka. Sivia pindah ke sekolah yang sama kayak Alvin biar Alvin bisa ngontrol dan ngejaga si Sivia. Begitulah ceritanya.

Sivia dan Alvin baru saja sampai di kantin. Mereka juga sudah memesan masing-masing chocolate dan strawberry milkshake. Mereka menemukan sebuah tempat kosong di satu pojokan di sana dan mereka mulai berbicara.

“Kak, Kakak tuh terkenal banget ya di GHS ini?” Sivia memulai saat sebelumnya menyeruput strawberry milkshake-nya terlebih dahulu.

“Ga terlalu, Vi. Kenapa emang?”

“Gini. Tadi waktu Via ngenalin diri pas inggris, anak-anak plus gurunya kaget gitu. Pas Via tanya sama temen Via, dia malah tambah kaget, sampe ngatain aku gila lagi,”

“Karna lo adek gue, Vi,”

“Emang kenapa kalo adek Kakak?”

“Ga ada yang tau gue punya adek, Vi. Mungkin mereka kaget karna itu kali,”

“Kak Alvin bo’ong nih pasti..”

“Ga lah, Vi. Ngapain bo’ong sama lo? Ujung-ujungnya ketauan juga kan?”

“Iya sih, hehe..”

“Wooii, Vin!” Sebuah suara menyela pembicaraan Sivia dan Alvin. Orang itu segera mendatangi tempat Alvin dan Sivia duduk.

“Sori ganggu. Lo dipanggil Bu Ira, Vin. Ada yang mau diomongin katanya,”

“Oh, oke.” Alvin berdiri dan menoleh sebentar ke arah Sivia.

“Vi, lanjutin di rumah aja ya. Gue mesti pergi dulu,” Alvin berbalik. Namun, baru selangkah berjalan, ia langsung terhenti.

“O ya. Hari ini lo ada jadwal pengenalan sekolah sama.. Rio. Jangan bantah,” kata Alvin saat Sivia membuka mulutnya untuk membantah. Ia lalu menutup mulutnya dan mengangguk setuju sambil mengeluarkan muka manyun khasnya.

“Gue duluan, Yo, Vi,”

“Yok,” Alvin menepuk bahu Rio pelan *Rio yang manggil tadi* dan meninggalkan mereka berdua di pojok kantin yang mulai sepi. Sivia menyeruput milkshake-nya pelan-pelan. Rio mengambil handphone-nya yang berbunyi. Sebuah sms. Rio membacanya sekilas dan mengalihkan pandangannya dari handphone-nya ke arah Sivia.

“Lo, ikut gue. Tur dimulai,”

“Ha? Maksudnya?” Rio menarik Sivia berdiri dengan se-‘gentleman’ mungkin dan membawanya keluar kantin untuk memulai tur mereka.

# # # #

“Tur sekolah ini diadain kalo ada anak baru atau tamu. Biasanya OSIS yang jadi guide-nya. Sayangnya buat gue, gue harus jadi guide lo buat dua minggu ini.” Rio menjelaskan.

“Dua minggu? Masa tur dua minggu?”

“Tur-nya 2 hari, bimbingan 8 hari, tenggat tugas 4 hari.”

“Bimbingan apa?”

“Bimbingan buat tau apa-apa aja yang mesti lo lakuin di sekolah ini.”

“Oh. Trus, pembimbing gue siapa?”

“Ya gue lah. Siapa lagi?”

“Berarti gue harus stuck sama lo buat 2 minggu ini? Ogah ah,”

“Gue juga ogah. Udah, diem dulu aja lo. Nah, ini perpus. Yang di sebelahnya itu UKS.” kata Rio sambil menunjuk sebuah ruangan yang… sangat besar yang Rio sebut perpustakaan itu. Sivia terbengong-bengong melihat perpustakaan super besar itu.

“Ga usah bengong gitu. Namanya juga international school. Lanjut,” Mereka mulai berjalan lagi menuju ruangan selanjutnya. Ruangan yang paling dielu-elukan oleh seluruh murid-murid Gamasta International High School. Ruang Auditorium Musik.

“Ruangan ini sering dipake buat acara-acara musikal. Kayak Festival Musik Tahunan yang sering diadain tiap tahunnya di sini.”

“Ooh. Festival Musik itu sistemnya gimana?”

“Dipilih satu perwakilan atau lebih dari tiap kelas. Perwakilan itu akan membentuk sebuah grup yang akan tampil pas FestiMus, itu singkatannya. Boleh individual atau kelompok. Terserah si wakilnya. Ngerti lo?”

“Lumayan. Gue harus liat secara langsung, baru gue ngerti.”

“Lo harus bisa nunjukin skill lo, baru lo bisa ikutan. Lo juga belom seleksi Gamasta Voice kan?”

“Apaan tuh Gamasta Voice?”

“Lo ga tau Gamasta Voice?”

“Kak Alvin bilang kayak paduan suara. Bener bukan?”

“Hampir. Paduan suara khusus anak baru. Yang terbaik bakalan bertahan di GV sampe kelas dua akhir.”

“Ooh. Gitu toh,”

“Lo mau ikut FestiMus?”

“Ga tau sih. Belom tanya dan minta ijin Ayah sama Kak Alvin.”

“Yang penting tunjukin dulu skill lo. At least sama gue. Soal Alvin, serahin aja ke gue.”

Rio membimbing Sivia ke dalam Auditorium Musik, berjalan ke arah sebuah grand piano putih yang ada di sebuah sudut auditorium. Sivia duduk di atas kursinya, dan memencet sebuah tuts.

Ting..

Merdu. Adalah kata pertama yang terlintas di kepala Sivia saat mendengar denting piano tersebut. Ia semakin pede untuk menunjukkan skill-nya pada Rio yang berdiri di sampingnya.

Easy come, easy go,

That’s just how you live

Oh, take, take it all, but you never give..” Alunan merdu piano yang tercampur suara indah milik Sivia mengisi atmosfer di auditorium itu. Rio, yang awalnya ragu akan skill Sivia, dibuat kagum akan skill rahasia Sivia itu.

‘Banyak kejutan juga dia, sampe bisa bikin gue kagum gini.’ pikir Rio.

I would go through all this pain

Take a bullet straight through my brain

Yes, I would die for you baby

But you won’t do the same

No, you won’t do the same

You wouldn’t do the same

Ooh, you never do the same

No, no, no, no..” Sivia menyelesaikan lagunya dengan baik. Sangat baik hingga Rio bertepuk tangan dengan semangat. Memang benar-benar ber-skill seorang Sivia Azizah Sindhunata ini.

“Keren juga lo ternyata. Grenade-nya Bruno Mars, kan?” tanya Rio setelah ia selesai bertepuk tangan.

“Iya. Gue suka banget sama lagu itu.”

“Kenapa emang?”

“Gue cuma suka aja. Bruno Mars-nya keren sih. Cute-cute gitu orangnya. Hehe..”

“Dasar lo. Minggir gih,”

“Mo ngapain lo?” Sivia berdiri saat Rio memintanya untuk memberikan tempat untuknya. Setelah duduk, Rio langsung memainkan serangkaian nada-nada yang terdengar asing di telinga Sivia.

3 menit kemudian, rangakaian nada-nada asing itu selesai dimainkan. Rio langsung beranjak berdiri dan menarik pergelangan tangan Sivia, yang masih terkagum-kagum pada permainan piano Rio, secara paksa.

“Yo..” panggil Sivia pelan. Rio tak menjawab.

“Yo!” kali ini sedikit lebih keras. Lagi-lagi Rio tak menjawab.

“Yo!!” panggilan yang terakhir ternyata manjur. Rio menghentikan langkahnya. Membalikkan badannya pelan-pelan dan menghadap Sivia dengan tatapan seriusnya.

“Apaan?” tanya Rio ketus.

“Tangan gue..” Rio melihat ke arah tangan kanannya yang menggenggam pergelangan tangan Sivia. Beberapa detik kemudian, otaknya langsung normal kembali, dan langsung melepas genggamannya.

“Sori.”

Dan dengan ucapan terakhir dari Rio itu, mereka berpisah di sana tanpa ada alasan yang jelas. Namun, yang terpenting, terdapat saksi yang menyaksikan kejadian itu. Rintik hujan yang mulai turun pelan membasahi bumi pertiwi. Satu-satunya saksi yang mengetahui isi hati Rio saat itu.

# # # #

“Kak Alvin dimana?” tanya Sivia pada Alvin, via handphone Sivia. Ya, Sivia sedang menelepon Alvin karena kakaknya itu tidak bisa ditemukan di sekitar sekolah mereka.

“Maaf, Vi. Lo pulang sendiri ya? Gue lagi ada urusan. Bu Ira nyuruh gue ke luar Semarang buat cari sponsor. Maaf ya, Vi,” kata Alvin dari seberang sana.

“Berarti aku pulang sendiri? Aku kan ga tau jalan pulang, Kak. Mana ujan lagi. Ntar kalo aku nyasar gimana?”

“Aduuh, gue juga ga bisa nganterin lo pulang, Vi.”

“Trus gimana dong?”

“Lo cari Rio aja deh. Suruh nganter lo pulang. Gimana?”

“Masa Rio sih, Kak?”

“Ya ga pa-pa lah. Daripada ga pulang?”

“Ya udah deh. Tapi aku ga tau Rio di mana kak,”

“Gue sms-in dia bentar. Lo tunggu di tempat aja, Vi. Oke?”

“Iya deh kak. Buruan,”

“Iya.”

Tut tut tut..

‘Rio lagi, Rio lagi. Capek deh,’ batin Sivia.

Lama Sivia menunggu, saat tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Sivia terperanjat kaget dan kemudian menoleh, melihat Rio dan seorang teman sekelasnya, Raynald.

“Eh, elo, Yo. Lo mau nganterin gue kan?”

“Ga—“

“Iya Vi. Dia mau kok. Tapi bareng gue yak,” Ray memotong omongan Rio, yang dibalas jitakan dari Rio.

“Iye, gue mau. Lagian kita berdua mau nyari sketsa desain interior auditorium Festival yang dibikin Alvin.”

“Oh, oke deh, kalo gitu. Trus kita pulang naek apa?”

“Mo—“

“Civic Si-nya Rio. Dia belain beli mobil ini waktu dia denger mobil ini ditanda tanganin langsung sama Paramore. Di Indonesia ga ada loh,” Lagi-lagi Ray mendapat jitakan dari Rio buah hasil memotong omongan Rio. Sivia tertawa melihatnya.

“Gue ambil mobil dulu. Lo berdua tunggu di sini.”

Rio pergi dari selasar Gamasta IHS, menuju parkiran sekolah. Sementara menunggu Rio, Sivia dan Ray mencoba mengetahui diri masing-masing.

“Sivia ya? Yang kena lempar bolpen itu ‘kan?” Ray memulai.

“Iya. Raynald kan?”

“Ray aja.”

“Oh, oke.”

Sesaat mereka diam. Keheningan yang cukup lama, sampai Ray membuka mulutnya untuk berbicara lagi.

“Rio jarang kayak gini loh, FYI,”

“Maksudnya?”

“Dia jarang baik gini sama anak baru. Mungkin karna lo adeknya Alvin kali ya?”

“Masa sih?”

“Yep. Bisa diitung kok berapa anak baru yang dia kerjain tiap tahunnya. Sampe-sampe banyak anak baru yang baru aja masuk, langsung minta pindah. Kocak banget tuh si Rio,”

“Hahahaha, iya. Kasihan banget anak-anak baru itu. Hahaha!”

“Iye, hahaha!” mereka berdua tertawa bersama. Namun, tawa itu tak berlangsung lama. Dengan segera keheningan menyelimuti mereka kembali.

“Dia banyak masalah, makanya dia ngerjain anak-anak baru itu.” jelas Ray.

“Sebagai… pelampiasannya?”

“Yep. Kalo dia udah terlalu banget ngerjainnya, bokapnya bakal turun tangan. Dia juga ga terlalu akrab sama bokapnya. Ga akrab banget malah,”

“Kenapa emang?”

“Karena nyokapnya Rio.”

“Kenapa sama nyokapnya Rio?”

“Ntar lo juga tau,”

Tin tin!

“Tuh Rio. Yok Vi!”

“Eh, iya,”

Sivia mengikuti Ray keluar dari selasar sekolah menuju mobil Rio yang sudah menunggu di driveway sekolah. Tentu saja, raut kebingungan menghiasi wajah cantik Sivia. Sekali lagi.

# # # #

“Bagaimana sekolahmu Aditya?”

“Udah kubilang namaku bukan cuma Aditya. Kenapa ga panggil Rio aja sih? Apa susahnya??”

“Papa ga suka. Itu nama yang diberikan oleh wanita itu.”

“Jangan pernah panggil mama dengan sebutan wanita itu!” Rio menutup buku yang sedang dibacanya dengan kasar dan berdiri dengan kemarahan memenuhi tiap sel di tubuhnya.

“Dan jangan pernah kamu panggil dia mama, Aditya!”

“Emangnya kenapa?! Ga suka ?!”

“Pergi kamu ke kamarmu! Sekarang!”

“Memang itu yang aku pengen lakuin dari tadi.”

“Naik kamu sekarang!”

Rio membanting bukunya ke sofa terdekat darinya dan bergegas pergi dari ruang keluarga kediaman Haling itu. Sekali lagi dia membanting pintunya sesudah ia masuk ke dalam kamarnya. Ia membanting tubuhnya di atas tempat tidurnya, dan meletakkan tangan kanannya di atas matanya. Sesaat kemudian, Rio mengangkat tangan yang menutupi matanya, dan melepas gelang silver yang melingkari pergelangan tangannya. Ia memutar-mutar sejenak gelang itu. Matanya menyipit karena mencoba mengingat wajah wanita yang memberinya gelang itu.

Wanita yang sama yang membuat Rio rajin mengikuti les piano, agar ia bisa membuat rangkaian nada-nada harmonisnya sendiri. Wanita yang sama yang memberinya nama Mario Stevano. Wanita yang sama yang mengajarinya cara memperlakukan wanita dengan sangat gentleman-nya. Wanita yang sama yang memperkenalkannya pada musik. Wanita yang sama yang telah melahirkannya dengan susah payah. Wanita yang sama yang meninggalkannya dengan ayah yang sangat ia benci, 9 tahun yang lalu.

Tak sadar, sebuah air mata menetes dari mata tenangnya. Segera, Rio mengusap air mata itu. Ia kembali mengenakan gelang itu dan bergegas bangun, menuju kamar mandi di kamarnya yang besar itu, membersihkan dirinya, mengganti baju yang tadi ia pakai, dan bergegas keluar rumahnya. Tidak menggubris ayahnya yang berteriak marah, menanyakan kemana ia akan pergi. Ia hanya ingin menuju Taman Musik, tempat favoritnya untuk merenung, secepatnya.

15 menit kemudian, Rio memarkirkan mobilnya di dekat taman. Ia terdiam sesaat di dalam mobilnya, sebelum mematikan mesin dan keluar dari mobilnya. Ia mulai berjalan-jalan di sekitar taman *pintu mobilnya udah ditutup pastinya*, sampai akhirnya ia berhenti di sebuah bangku taman di pinggir danau buatan di taman itu.

Rio duduk di sana. Lama sekali ia termenung sambil sesekali melihat jam tangan hitamnya. Pukul 22.30 malam. ‘Pantes taman sepi. Udah malem banget kayak gini. Bagus kalo sepi. Jadinya gue bisa berpikir lebih bebas lagi, tanpa diganggu orang tua itu.’ pikir Rio.

Sekali lagi, Rio melihat ke arah jam tangannya. Saat ia melihat lagi ke arah di depannya, secara tak sengaja ia melihat sebuah siluet wanita, bukan, gadis berambut hitam panjang, tidak acak-acakan, dan ber-dress putih selutut. Rio langsung membeku di tempatnya. ‘Ga mungkin ada setan. Bertahun-tahun gue numpang mikir di sini, ga pernah gue liat ada setan berkeliaran di sini. Mampus gue,’ rutuk Rio dalam hati saat melihat siluet itu berjalan perlahan menuju ke arahnya. Rio semakin panik, mengira siluet itu benar-benar setan, karena ia (berpikir) tidak melihat kaki siluet itu. Semakin dekat, Rio menutup matanya, mencoba berdoa pada Tuhan agar ia diselamatkan dari siluet misterius itu. Sampai akhirnya,

“Loh, Yo? Ngapain lo di sini? Sambil takut gitu,” siluet itu berkata pada Rio. Tiba-tiba Rio berteriak kencang karena kaget siluet itu berbicara padanya.

“Ampun.. ampun, tan setan, gue janji ga bakal ngerjain anak-anak baru di sekolah gue lagi.. Ampun.. Ampun..” Rio berkata dengan nada ketakutan terpancar jelas di setiap kata yang ia ucapkan.

“Hah? Setan? Maksudnya?” siluet itu bergumam. Kemudian dengan tepukan yang agak keras, siluet itu menepuk pundak Rio. Lagi-lagi Rio menjerit.

“Aduuh Yo.. Ga usah teriak-teriak gitu deh.. Berisik tau.. Sivia nih!” siluet yang mengaku bernama Sivia itu mencoba meyakinkan Rio dengan mengguncang-guncangkan bahu Rio perlahan agar Rio percaya.

Pelan-pelan Rio membuka matanya dan melihat Sivia berdiri membayanginya dengan kedua tangan di pundaknya.

“Yaah, kirain setan beneran..” Rio bernapas lega sambil membenarkan posisi duduknya. Sivia memindahkan tangannya dari pundak Rio dan duduk di sebelah Rio.

“Lo kenapa sih Yo?” Sivia menanyai Rio setelah Rio cukup tenang.

“Ga pa-pa. Kaget aja. Gue kira lo setan,”

“Gue bukan setan. Emangnya apa sih, yang bikin lo mikir gue tuh setan?”

“Rambut lo yang panjang itu, trus lo pake dress putih gitu, trus gue kira lo melayang, ternyata pake Converse item..” kata Rio sambil melirik ke bawahnya, ke arah Converse hitam yang dipakai Sivia.

“Maaf deh. Gue ga bermaksud,”

“Ga pa-pa. Lo ngapain sih, di sini?”

“Merenung. Biasalah. Lo sendiri?”

“Sama. Tapi kok gue ga liat lo yak?”

“Gue tadi di atas pohon itu. Trus gue ngeliat ada orang dateng kesini. Ya gue datengin aja. Ga taunya elo,”

“Lo ngapain di atas pohon? Bertranformasi jadi beruk yak?”

“Ga lah. Masa beruk cakep sih?”

“Elo? Cakep? Ngimpi kali..”

“Biarin,”

Sesaat mereka termenung, tenggelam dalam pikiran mereka masing. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari kejauhan. Rio dan Sivia dengan cepat menengadah, melihat ke arah langit di atas mereka yang menggelap karena tidak hanya sudah sangat malam, tapi juga karena akan hujan.

“Mo ujan nih, Vi. Lo ga pulang?” tanya Rio.

“Harusnya gue udah pulang dari tadi.” jawab Sivia.

“Mm, mau gue anterin?”

“Beneran? Baik bener. Tumben,”

“Daripada gue kena semprot Alvin, mending gue anterin lo pulang.”

“Emang Kak Alvin sebegitu nakutinnya yak?”

“Ga juga sih.” Mereka berdua berdiri, beranjak pergi meninggalkan tempat mereka tadi. Menuju mobil Rio.

“Gue penasaran deh, Vi,”

“Penasaran kenapa?”

“Kenapa lo manggil Alvin pake ‘kak’? kalian kan seumuran,”

“Gue kira dia lebih tua dari gue waktu kita ketemu 11 tahun lalu. Jadinya gue panggil dia pake embel-embel ‘kak’. Ga taunya keterusan sampe sekarang.” jelas Sivia.

“11 tahun? Lama banget,”

“Yep.”

“Berarti nyokap lo kawin lagi gitu?”

“Iyelah. Bokap gue meninggal waktu gue umur 3 tahun.”

“Eh, sori. Gue ga tau. Turut berduka cita ya. Kalo boleh tau, meninggal karena apa?”

“Ga pa-pa. Beliau itu tentara. Waktu ditugasin ke Palestina, ga taunya beliau gugur pas melaksanakan tugasnya.”

“Oh, gitu. Lo ga sedih?”

“Waktu itu gue ga ngerti kenapa nyokap nangis-nangis gitu. Ya gue ikutan nangis aja. Setahun kemudian, baru gue tau bokap udah ga ada. Saat itu, nyokap udah pacaran sama bokapnya Alvin. Mereka ketemu pas gue sama nyokap lagi di Prancis. Setahun kemudian mereka nikah. Gue dikenalin sama Kak Alvin sebulan setelah mereka nikah. Selama 11 tahun gue tinggal di Amrik, Prancis dan Indonesia, sampai akhirnya seminggu yang lalu nyokap meninggal karena serangan jantung. Akhirnya gue dikirim sama bokap ke sini, ke Indonesia, tinggal di rumahnya kak Alvin, permanently. Dan begitulah ceritanya,” Sivia melenggang santai ke arah Civic Si Rio, meninggalkan Rio yang terbengong-bengong tidak percaya setelah mendengar cerita panjang Sivia barusan.

‘Berarti si Sivia itu yatim piatu dong? Lebih parah dari gue. Tapi kenapa dia masih tetep bisa senyum ceria kayak gitu ya? Aneh,’


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


mungkin cukup. sudah cukup panjangkah??

kalo belom, besok-besok saya post-in yang lebih panjangan dah..

makasih sebelumnya..

salam,

Umi Sa'adah


Please leave a comment on this blog

or on my Facebook account : Umi Sa'adah

or on my twitter account : @umisaadah27