Laman

Senin, 18 April 2011

When It Rains [part. 3]

oke oke..
time to post!! ini dia part 3..
pada nunggu ga?? ga deh keknya *pede kumat*
oke dah, ga usah banyak cingcong. kite mule saje,,
thisisit *pake gaya farah quinn*, enjoy!!

---------------------------------------------------------------------------------------------------

“Makasih ya, Yo, udah nganterin sampe rumah.”

“Sama-sama, Vi. My pleasure lagi.”

“Yea, yea, whatever you say.. Bye,”

“Bye..”

Ketika Sivia membuka pintu, tiba-tiba hujan mengguyur cukup deras. Sivia langsung menutup kembali pintu yang tadi dibukanya.

“Yaah, malah ujan..”

“Ya ga pa-pa lagi. Cuma ujan air kan? Bukan ujan batu.. Udahlah..”

“Tapi, Yo, gue males basah-basahan,”

“Lah, lo kan cuma tinggal nyebrangin halaman depan lo aja kan? Ga bakal basah lagi..”

“Yo, lo ga sadar ya? Halaman depan rumah gue tuh segede lapangan sepakbola *hiperbol deh,*.. Tetep aja ntar bakal basah. Ogah gue,”

“Ya udah, gue talangin pake jaket gue aja gimana?”

“Ga ah. Gue kasian lo-nya. Ntar basah jaket lo itu,”

“Lha ya emang bakal basah. Siapa bilang ga?”

“Ya elo… tadi… ehmm…” Sivia bergumam-gumam sendiri tak tahu akan menjawab apa.

“Udah, udah, yok..” Rio melepas jaketnya, membuka pintu mobilnya, menutupnya kembali dan mengangkat jaket itu di atas kepalanya, menuju pintu penumpang dan membukanya.

Rio langsung menutupi puncak kepala Sivia dan berlari berdampingan menuju gerbang kediaman Sindhunata. Sivia bergegas membuka pintu gerbang dan mereka berdua berlari menghindari rintik hujan yang deras (walaupun ga ngaruh) sampai ke teras depan kediaman Sindhunata.

“Duuh, makasih banget ya, Yo. Jaket lo sampe basah kuyup gini.”

“Ga pa-pa lagi. Udah kewajiban gue sebagai cowok buat ngelindungin cewek.”

“Ceilah, gombal banget lo. Ya udah pulang sana. Keburu deres banget ntar,”

“Iya deh. Gue pulang dulu, Vi. Salamin buat Alvin, ye..”

Sesaat Rio sedikit ragu untuk mengangkat kaki dari teras depan itu. Ia memandang bergantian antara jaketnya yang basah dengan mobilnya yang terparkir agak jauh dari teras depan. Sivia yang melihat keraguan Rio, buru-buru masuk rumahnya dan mencarikan payung dan meminjamkan jaket untuk Rio.

Rio memandang jaket dan payung yang disodorkan padanya kemudian memandang Sivia dengan tatapan penuh terima kasih. Rio mengambil jaket abu-abu itu dan memakainya. Kemudian membuka payung itu. Rio berlari menembus hujan dengan payung yang melindunginya dari hujan sambil meneriakkan terima kasih pada Sivia.

Secara tak terduga benih cinta dalam hati kedua anak manusia itu tumbuh sedikit demi sedikit karena terpupuk kehangatan hati yang ditawarkan oleh dan untuk masing-masing. Di malam senyap berhias derasnya hujan menjadi saksi bisu tumbuhnya percik cinta dua anak manusia itu.

# # # #

“Tadi malem pulang ama siapa Vi?” tanya Alvin di sela-sela sarapannya.

“Hm? Sama Rio.” jawab Sivia singkat. Kemudian melahap potongan terakhir sandwich dagingnya.

“Kok bisa bareng dia?”

“Kebetulan ketemu di taman.”

“Kamu merenung lagi ya, di taman?”

“Iya. Eh, kak. Barusan kak Alvin manggil apa?”

“Hah? Apaan?”

“Tadi. Kak Alvin manggil aku pake ‘kamu’. Ga pake ‘lo’.”

“Masa iya? Yaah, berarti emang udah waktunya kakak jadi kakak yang baik buat kamu. Buruan makannya, Vi. Ntar telat.” Alvin beranjak dari kursinya, menghampiri Sivia yang sedang di kursinya, masih meminum susu putihnya, dan mengecup puncak kepala Sivia sekilas *ini ciuman kakak kepada adeknya lho*. Kemudian mengambil ransel abu-abunya dan keluar untuk memanaskan mesin motornya setelah menepuk puncak kepala Sivia pelan.

Sivia bergegas mengambil ranselnya, memakai Converse abu-abu kesayangannya dan merapikan seragamnya dengan dibantu salah satu pembantunya sebelum membonceng motor kakaknya. Sivia meneriakkan ‘dadah’ dan ‘terima kasih’ pada pembantu yang membantunya bersiap-siap tadi.

Sivia melenggang santai menuju kelasnya. Sambil mendendangkan lagu dari Jason Mraz, I’m Yours, saat tiba-tiba seseorang menarik lengannya. Sivia tersentak. Si penarik tadi kemudian menyeret Sivia menuju perpustakaan jumbo sekolah.

Sesampainya disana, Sivia didudukkan dengan sedikit kasar oleh si penarik, yang dikenali sebagai Rio.

“Aduh Yo, bisa ga sih ga narik-narik? Sakit tau,” Sivia mengusap-usap lengannya yang menjadi korban. Yang ditanya sama sekali tidak peduli. Rio hanya sibuk sendiri, mencari-cari sesuatu di dalam ransel hitamnya. Kemudian ia mengeluarkan sebuah payung warna biru langit dan sebundel fotokopian entah apa. Rio menyerahkan payung dan bundelan fotokopian itu pada Sivia.

“Nih, payungnya gue balikin. Jaketnya gue balikin besok. Masih di laundry. Trus ini ada riwayat Gamasta dari awal pendirian sampe nasibnya sekarang. Lo pelajarin baek-baek. Dan besok rangkumannya harus udah ada di meja gue. Dan jangan bantah,” Lalu Rio meninggalkan Sivia yang terbengong-bengong di perpustakaan sekolah sambil memandang bundelan riwayat hidup Gamasta IHS.

‘Bujut dah. Sebundel gede gini harus gue baca dalam waktu semalem dan harus udah ada rangkumannya besok pagi? Sadis amat.’

# # # #

Bel istirahat baru saja berbunyi. Semua murid-murid kelas X, XI, XII bergegas menuju kantin atau cafetaria sekolah untuk mengisi ulang tenaga mereka yang dikuras pagi ini. Semua kecuali satu. Sivia. Gadis imut itu tidak mempedulikan apakah sekarang jam istirahat atau jam pelajaran. Yang ia pedulikan hanya riwayat Gamasta IHS yang berada di tangannya yang tengah ia baca dengan teliti dan saksama. Suasana hening kelas XI-III membuatnya semakin berkonsentrasi membaca riwayat sekolahnya itu.

Saking heningnya, sampai-sampai Sivia tidak menyadari seseorang mendekatinya diam-diam. Dan kemudian,

Brakkk!!!

“Kyaaaaa!!!” Sivia menjerit dan melemparkan bundelan yang sedang dibacanya ke udara, yang kemudian jatuh ke lantai dengan suara berdebum cukup keras. Sivia mengelus-elus dadanya pelan dan memungut bundelan referensinya.

“Aduuh, Shilla, jangan ngagetin gitu dong.. Untung referensinya ga gue lempar ke lo.” Omel Sivia.

“AHAHAHHAA!! Maaf deh, Vi. Abis kayaknya konsen banget. Kayak gituan mah, yang dibaca isinya aja. Pendahuluan sama penutupnya ga usah di baca.” jelas Shilla, teman sekelas Sivia yang lain. Ia mengambil tempat duduk siapa-itu-ga-tau-namanya yang ada di depan Sivia.

“Oh, gitu ya? Bilang dong dari tadi,”

“Yaah, lo-nya ga nanya. Ke kantin yuk, Vi,”

“Ayo. Laper banget nih lagian.”

Sivia memasukkan referensinya ke dalam ranselnya dan mengikuti Shilla keluar kelas. Menuju kantin yang super penuh.

Sesampainya di sana, Sivia dan Shilla langsung menuju stan milkshake dan memesan 2 vanilla milkshake, kemudian bergabung dengan Dea dan Ify yang sudah lebih dulu datang. Mereka menempati sebuah meja yang agak besar berkursi 8. Selama beberapa menit mereka bercanda, sampai tiba-tiba Ray muncul from no where dan langsung duduk di sebelah Dea, yang notabene pacar Ray, tanpa minta ijin terlebih dahulu.

“Aah, si Ray nih. Lo kan cowok.. Cari tempat laen aja sana..” keluh Shilla, yang hanya dibalas juluran lidah iseng Ray.

Tak lama, pintu kantin terbuka. 3 pemuda bertubuh tinggi tegap berjalan memasuki kantin. Secara otomatis, seluruh pengunjung kantin terdiam saat itu juga, memandang ketiga pemuda itu. Mereka melihat-lihat keadaan kantin sebentar, lalu berjalan ke arah meja yang ditempati Sivia dkk. Shilla, yang sedari tadi menyedot milkshakenya dengan barbar, membeku seketika saat melihat siapa yang baru saja memasuki kantin.

3 pemuda itu duduk tanpa permisi di meja Sivia dkk.

“Bagi milkshake-nya dong Vi,” Alvin, salah satu dari 3 pemuda tadi, menyambar milkshake yang digenggam Sivia dan meminumnya hingga setengah kosong. Lalu kabur, dan duduk disebelah Ify.

“Iiih, Kak Alvin nih.. Ga asik deh..” rutuk Sivia kesal. Alvin hanya tersenyum tanpa dosa dan melanjutkan penjelasannya tentang festival musik sekolah pada Ify, yang notabene seksi acara GEO.

Cakka dan Rio, another boys yang masuk kantin tadi, yang membuat kantin tiba-tiba sunyi senyap, duduk mengapit Sivia di kiri-kanannya.

Cakka, yang memang gebetan Shilla, langsung melancarkan pedekate-nya pada Shilla, yang hanya membuat Shilla megap-megap ga keruan *lebayyy*. Sedang Rio? Ia hanya duduk tak bersuara di samping Sivia. Wajah mempesonanya memancarkan aura tenang yang tak ada habisnya, walau sebenarnya jantungnya berdegup kencang karena gadis di sebelahnya.

Semua orang di meja itu, kecuali Sivia *minus Rio*, yang menyadari ketegangan di raut muka Rio, mencoba memberi tahu Sivia yang tampaknya sedikit berhasil *sedikit lhoo*.

“Lo kenapa Yo?” tanya Sivia akhirnya.

"Ga pa-pa,” jawab Rio pelan.

“Haduuh, Rio, Rio.. Lo ga bisa ngeboongin seorang Sivia Azizah Sindhunata. Bentar ya guys,” Sivia bangkit dari tempat duduknya, menuju ke arah stan penjual snack ringan yang cukup ramai pengunjungnya.

Sementara itu..

“Lo kenapa sih Yo?” Alvin bertanya gemas, ingin tahu mengapa sahabatnya itu diam bagai petir tanpa gemuruh *haiyah..*.

“Vin, gue boleh lancang ga?” Rio berkata takut-takut.

“Ya boleh-boleh aja. Kenapa?”

“Kayaknya.. kayaknya.. gue..”

“Lo kenapa??” tanya Ray gemas.

“Gue kayaknya... suka.. sama.. adek lo..” aku Rio akhirnya. Sesaat Ray, Dea, Alvin, Ify, Shilla, dan Cakka terdiam.

Semenit, dua menit, sampai akhirnya..

“BUAHAHAHAHAHAA!!!!!!” Tawa semua orang di meja itu pun meledaklah. Rio hanya tersenyum kecut melihat semua temannya menertawainya.

“Elo?? Seorang Mario Stevano?? Suka sama cewek?? G-I-L-A-K!! Jiakakakakkaa!!” kata Ray meremehkan, lalu tawanya meledak lagi.

“Udah, udah.. Kasian tuh si Rio.. Hihihihihii..” Dea menengahi dengan diiringi tawa setannya.

“Lo beneran suka sama Sivia?” tanya Alvin serius. Alhasil, suasana di meja itu pun berubah serius.

“Kayaknya sih gitu. Gue suka deg-deg-an gitu kalo deket dia.”

“Hmm, kalo udah gitu sih, gue ga bisa ngelarang. Gue cuma bisa bilang, jangan sampe lo nyakitin dia. Jangan tinggalin dia saat dia udah bener-bener berharap. Udah cukup dia kehilangan nyokap bokapnya. Dan jangan sampe lo jadi yang ketiga. Got it?”

“Ee.. y-yes, Sir.” Dan sekali lagi, tawa mereka pun meledak.

Sivia, yang baru saja datang sambil membawa 2 bungkus Chitato gede, duduk dengan muka merengut. Ada apa lagi nih?

“Lo kenapa Vi?” tanya Rio penasaran. Secara sengaja, Ray berdeham-deham melihatnya. Rio hanya acuh tak acuh melihat tingkah Ray itu.

“Ada cewek nyebelin ngembat Chitato yang gue beli. Rugi banget dong gue!” omel Sivia.

“Lo beli berapa emang?” tanya Alvin penasaran.

“5. Diembat sama tuh cewek sama antek-anteknya 3. Ilang deh duit gue yang 10000 itu.” jelas Sivia.

“Diembat sama siapa sih, Vi?” giliran Shilla yang bertanya sekarang.

“Tuh, yang di sono noh,” Sivia menunjuk sebuah meja berpayung di lantai dua kantin, yang didudukki tiga gadis super centil, yang sedang mengunyah Chitato yang mereka ambil dari Sivia dengan gaya yang …………. *penulis tak sanggup berkata*

Refleks, Shilla, Ify, Dea, dan Sivia mengeluarkan tatapan ingin membunuh. Sedang Cakka, Alvin, Ray, dan Rio mengeluarkan tatapan jijik mereka melihat 3 gadis centil itu.

“Udahlah, Vi, ga pa-pa. Syukurin aja apa yang ada. Masih untung ga diembat semua kan?” Cakka menenangkan. Sivia, yang tidak terbiasa dengan Cakka yang baru ini, mengernyitkan matanya tak percaya.

“Cak, ini beneran elo?”

“Ya iya. Siapa lagi coba?”

“Gile, udah berubah aja lo. Kemana Cakka yang selalu ngejekin gue setiap saat itu?”

“Udah gue buang, karena..”

“Karena apa?”

“Karena si cewek satu ini, gue rela ngebuang sifat gue itu. Walo sebenernya sayang sih,” kata Cakka sambil menyentil iseng hidung Shilla.

“Ciee, udah jadi aja nih? Kok ga bilang??”

Sejenak, masalah embat-mengembat Chitato tadi terlupakan begitu saja.

# # # #

Gadis itu menunggu, menunggu, dan terus menunggu. Wajah manisnya dipenuhi peluh yang berlomba-lomba menetes dari tepi dagunya. Sambil sesekali melihat jam tangannya, ia menunggu dan terus menunggu. Sendirian di halte di hari yang panas membara, menunggu datangnya kendaraan sejuta umat bernama bis kota, yang lebih dikenal bernama Margareth, memang benar-benar membosankan.

Dan hawa panas selama 15 menit penantiannya itu, tiba-tiba tergantikan dengan dingin yang menusuk. Hujan yang cukup deras tiba-tiba mengguyur tanpa ampun. Memaksa para pengendara kendaraan roda dua bernama motor berhenti untuk mengenakan jas hujan mereka. Namun ada juga yang acuh tak acuh akan guyuran air yang dingin itu. Mungkin karena mereka terburu-buru, atau karena memang tidak membawa jas hujan.

Dan gadis itu? Mengapa dia menunggu bis kota? Apakah kakaknya tidak bisa mengantarnya pulang?

“Aduuh, kok ujan lagi sih? Nyebelin ah. Mana kak Alvin mesti keluar kota lagi buat cari sponsor. Haduuh, gue kan ga tau jalan pulang..” rutuk gadis itu pelan.

Tak lama, seseorang berlari memasuki halte. Sesmpainya di sana, seseorang itu, yang ternyata diketahui sebagai seorang pemuda, mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah. Pemuda itu tak tahu gadis di sebelahnya merasa terganggu karena terkena cipratan air dari rambut pemuda itu.

“Aduh duh duh.. Mas, liat-liat dulu dong kalo mau ngibas-ngibasin rambut. Kena ke gue semua nih..” omel Sivia sambil mengelap wajahnya yang terciprat air. Pemuda itu menengok cepat saat mendengar suara omelan Sivia.

“Lho, Vi, lo kok belom pulang? Alvin kemana?” tanya Rio *sok* khawatir.

“Eh, elo toh Yo.. Nyiprat semua tau airnya,” kata Sivia manyun, tidak menjawab pertanyaan yang diajukan Rio barusan.

“Hehe, sori deh.. Alvin kemana?” tanya Rio lagi.

“Tau tuh.. Cari sponsor katanya,” jawab Sivia akhirnya sambil menyingkirkan butir-butir air yang terciprat ke wajahnya.

Rio mengangguk tanda mengerti. Kemudian mengambil tempat duduk di sebelah Sivia. Rio mengacak-acak rambutnya yang basah dan kemudian ia menyadari sesuatu.

“Trus lo ngapain disini?” tanya Rio heran.

“Nunggu bis.” Jawab Sivia dengan polosnya.

“Ngapain nungguin bis? Rumah lo kan deket dari sini.”

“Eh, masa?”

“Lha iya. Perumahan Gastika kan?”

“Iya.”

“Perumahan Gastika cuma 5 menit dari sini. Ngapain pake bis coba?”

“Masa sih, Yo??”

“Iyalah. Mau gue anterin?”

“Iya, mau. Bentar, bentar,” Sivia mengeluarkan payung yang tadi pagi dikembalikan padanya *maksudnya gimana sih nih?*. Lalu berdiri dan membuka payungnya.

“Yuk, Yo!”

Rio dengan senang hati berdiri dan menghampiri Sivia. Mereka kemudian meninggalkan halte Gamasta IHS dalam lindungan payung biru laut Sivia di siang berhujan itu.

Mereka pun berjalan berdampingan menuju kompleks perumahan Pentagon, ke perumahan Gastika, perumahan di mana kediaman Sindhunata berada. Selama perjalanan mereka berbicara, bercanda dan sebagainya. Orang-oarang yang melihat mereka pasti berpikiran kalau mereka berpacaran. Tapi sebenarnya?

“Ah, udah gue aja yang pegang. Gue kan tinggi,” kata Rio.

“Oh. Jadi lo pikir gue pendek, gitu?”

“Ga, Vi. Engga gitu. Ah, lo mah,”

“Gue kenapa, hah?”

“Gapapa.”

“O ya, Yo. Makanan kesukaan lo apa?”

“Ngapain nanya-nanya?”

“Ya biar kalo lo dateng ke rumah kan bisa gue suguhin sesuatu yang lo suka.”

“Chitato.”

“Yang?”

“Apa aja gue suka. Yang penting Chitato.”

“Yang lo ga suka?”

“Cheese fussili.”

“Lo ga suka cheese fussili?? Wah, rugi banget lo, Yo.”

“Emang apa enaknya cheese fussili sih? Cuma bikin eneg, kok disenengin.”

“Eeeh! Jangan ngejek. Cheese fussili tuh makanan terenak sepanjang masa. Kalo misalnya gue harus milih antara cheese burger dan pepperoni and cheese pizza, gue pasti lebih milih cheese fussili. Hehe..”

“Lah, cheese fussili kan ga masuk pilihan. Dasar,”

“Dasar negara Indonesia itu Pancasila.”

“Maksudnya?”

“Rahasia, hehe..”

Aaah, cinta. Cinta dua anak manusia di siang berhujan itu memang indah.

Sivia membuka pintu rumahnya. Setelah ia dan Rio masuk, Sivia melepas sepatunya, melempar ranselnya ke kursi di ruang tamu dan pergi ke dapur untuk mencari suguhan untuk Rio dan dirinya.

Setelah mendapat apa yang dia ingin, Sivia meletakkan 2 bungkus Chitato sapi panggang dan 2 cangkir coklat panas ke atas meja tamu. Sivia kembali lagi ke dapur. Saat ia kembali, ia melemparkan sebuah handuk pada Rio.

“Keringin tuh rambut lo. Jangan dikibas-kibasin sembarangan. Ntar nyiprat ke muka gue lagi,” kata Sivia. Lalu ia duduk di sebelah Rio, kemudian mengambil ponselnya dan mengetik sebuah pesan singkat pada kakaknya.

“SMS buat siapa, Vi?”

“Hm? Kak Alvin. Cuma tanya kapan pulang. Gue ga suka sendirian di rumah. Walaupun udah kebiasa sih,”

“Trus kalo lo sendiri gitu, lo kemana?”

“Taman Musik. Merenung.”

“Oh.”

Keheningan menyerang dua anak manusia itu. Keduanya hanya bisa diam. Keduanya hanya bisa berpikir. Berpikir kapan kakaknya akan pulang. Berpikir bagaimana ia mengatakan perasaannya yang sesungguhnya pada gadis di sebelahnya. Dan penulis juga berpikir kapan keheningan ini akan berakhir.

Akhirnya, doa mereka pun terjawab. Kecuali si pemuda. Raungan mesin terdengar dari luar rumah. Sesaat kemudian, mereka mendengar suara mesin dimatikan dan pintu yang dibuka kemudian ditutup lagi. Suara langkah kaki terdengar makin keras semakin langkah kaki itu mendekati ruang tamu. Dan tiba-tiba…

“Lho Via? Kok basah gitu? Alvin kemana? Eh, kamu Rio kan, ya?”


--------------------------------------------------------------------------------------------------

huehehehe.... pendek banget yak?? najis simelekete deh gue..
namanya juga lagi usaha. ini lagi nulis cuma baru dikit banget. gue ga berani post banyakbanyak
ya sud lah.. ntaran dah saya post-in lagi yang lebih banyak. au dah kapan..
oke?

salam,
Umi Sa'adah

Please leave any comment on this blog or on my twitter : @umisaadah95
or on my facebook : Umi Sa'adah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar