Laman

Selasa, 03 Mei 2011

When It Rains [part. 4]

okeyyy, langsung aja, karena buru-buru..
ini dia part empat!!
enjoyy!!

----------------------------------------------------------------------------------------------------

“Combien de temps resterez-vous?” (berapa lama Anda tinggal di sini?) tanya Rio.

“Je resterai trois semaines. Your france’s pretty good, Mister.” (3 minggu. Bahasa prancismu cukup bagus, Tuan.) jawab Anthony *nama bokapnya Sivia dan Alvin*.

“Uh, yeah. Not really, actually.” (uh, yeah. Tidak juga, sebenarnya.)

“No, no. No modesty in this house, young man.” (tidak, tidak. Tidak ada rendah hati di rumah ini, anak muda.)

“ Of course. It’s forbidden.” (tentu saja. Itu dilarang.) Sivia ikutan ngomong.

“Aah, Sivia. Jangan begitu.”

“Tapi emang iya kan, Pa?”

“Memang sih. Hahaha.. Oh ya, Rio. Bagaimana kabar ayahmu?”

“Eeh, ayah baik-baik aja kok, Om. Cuma akhir-akhir ini beliau sering di kantor. Jarang di rumah.”

“Oh, begitu rupanya. Tapi, kan masih ada Alvin, Cakka, Ray, dan semua teman-temanmu itu. Lagipula sekarang kan sudah ada Sivia ini. Jadi kamu ga akan kesepian lagi kan?”

“Maybe, Sir. Maybe,” (mungkin, pak. Mungkin.)

Bruummm, bruummm…

Cklek,

“Lho, papa kapan dateng?” tanya Alvin, yang baru datang, tiba-tiba.

“Alvin my boy! Where were you, son?” (alvin, anakku! Dari mana saja kamu, nak?) tanya Anthony dengan suaranya yang super menggelegar.

“Cari sponsor, Pa. biasalah..”

“Kamu itu. Udah jadi ketua OSIS, ketua panitia GEO, trus apa lagi itu yang kemaren?”

“Lupa Pa. Kebanyakan jabatan sih. Untung cuma sampe akhir kelas 2.”

“Ya sih. Tapi kan kasihan yang lain. Masa semua jabatan ketua kamu ambil semua?”

“Ga semua kok Pa. jabatan ketua GV kan di pegang sama Rio.” Kata Alvin sambil melirik Rio yang duduk manis, diam tanpa kata, di sebelah Sivia.

“Hahaha, benar juga.” Anthony melihat jam tangannya dan beranjak dari tempatnya. Meregangkan tubuhnya sebentar, dan menguap lebar-lebar.

“Hah, Papa tidur dulu. Capek banget nih,”

“Iya Pa. Yang nyenyak ya,”

“Siip. Bonsoir..” (Selamat sore..) pamit Anthony.

“Bonsoir..” (sore..) jawab Sivia, Alvin dan Rio.

Pak Anthony memungut jas dan koper yang dibawanya dan pergi menaiki tangga menuju kamarnya. Sesaat setelah Pak Anthony menghilang dari pandangan, Rio juga beranjak dari tempatnya.

“Mau kemana lo, Yo?” tanya Alvin sambil melepas sepatunya.

“Pulang lah. Masa mau nginep?” jawab Rio sekenanya dan mengambil Chitato yang tadi disuguhkan Sivia untuknya.

“Oh, ya udah. Ati-ati ya,”

“Yep..”

Saat Rio hendak membuka pintu, tiba-tiba ia teringat sesuatu.

“Vin, masih ujan ga?”

# # # #

“Ya elo. Sok-sok-an mau pulang sendiri. Kalo bego, kira-kira dong, Yo.” Kata Alvin mengejek sambil memandang jalanan Pentagon House Regency yang lumayan lengang.

“Yah, kalo minta anter Sivia kan ga mungkin. Gengsi gila gue. Kalo minta anter lo, ga enak juga. Lo-nya kan baru pulang. Sebagai temen yang baik, gue harusnya ngerti.” Jelas Rio panjang lebar.

“Iye, iye. Terserah lo aja deh. Oh iya, gimana lo sama Via?” tanya Alvin lagi dengan wajah ingin tahunya.

“Ga tau. Ga jelas banget. Gue masih agak gengsi gitu..”

“Yaelah, ga usah pake gengsi ngapa? Jaman sekarang emang masih ada yang namanya gengsi ya?”

“Yaah, ga tau juga Vin.. Kayaknya masih ada deh. Nih, korbannya ada di samping elo,”

“Haha! Iya deh.. eh, lo mau langsung pulang ato ke taman dulu?”

“Langsung pulang aja,”

“Yakin lo?”

“Yep,”

“Ya udah..”

Alvin membelokkan mobilnya memasuki perumahan Halingga, dan sesaat kemudian menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah yang megah, besar dan mewah. Kediaman Haling.

“Gue duluan Vin,”

“Yep.. eh yo, jangan lupa, lo masih punya kita-kita. Jangan malu-malu buat ceritain semua masalah lo.”

“Iye, iye,”

“Oh ya, satu lagi.”

“Apaan?”

“Malem ini anak-anak pada mau balapan di jalan utama. Jam 12.15. lo ikut kan?”

“Gue ikut, asal…”

“Asal apaan?”

“Lo ajak Sivia.” Rio memandang Alvin sesaat dengan tatapan menantang, kemudian membuka pintu mobil dan menutupnya kembali setelah ia keluar. Alvin hanya bengong dibuatnya, lalu memutar mobilnya keluar dari driveway kediaman Haling dan langsung ngebut saat ban mobilnya menyentuh aspal jalan utama kompleks perumahan Pentagon.

Sementara Rio hanya memandang kepergian Alvin dengan kesenduan meliputi wajah tampannya. Sudah rindu pada Sivia lagi rupanya.

# # # #

“El est minuit?!?!” (tengah malam?!?!) jerit Sivia setelah mendengar informasi dari Alvin.

“Oui.” (ya.) balas Alvin dengan entengnya, kemudian ia merebahkan tubuhnya ke atas sofa di kamar Sivia.

“Are you crazy? C’est imposiible..” (kamu gila ya? Itu tidak mungkin..) Sivia mendudukkan pantatnya ke atas sofa di samping Alvin dengan sikap tak percaya.’ Ngapain juga dia mesti ikut nonton balapan? Mana tengah malem lagi..’ rutuknya dalam hati.

“I know, I know. Tapi ini demi kebaikanmu juga kan, Vi?”

“Kebaikan apa Kak??”

“Gini. Seumur-umur kamu ga pernah liat balapan kan Vi?”

“Ga tuh. Pernah kok..”

“Di mana? Di tivi? Ga diitung. Lagian, Vi, balapan kayak gini cuma diadain sebulan sekali. Ga setiap hari kok. Gimana? Ikutan ya?”

“Aduuh, aku juga ga tau kak. Kalo Papa ga ngijinin gimana? Aku sih sebenernya mau-mau aja,”

“Tenang aja. Soal Papa serahin aja ke kak Alvin. Oke?”

“Iya deh. Aku pake mobilku sendiri nih kak?”

“Ya iyalah. Masa mau bareng kakak? Mobilnya kan mau langsung dipake buat pemanasan.”

“Balapan di mana sih kak?”

“Jalan utama. Kumpulnya ntar di Gamasta.”

“Oke deh,”

“Eh ntar kakak duluan. Kamu nyusul aja ya? Tau jalan ke sekolah kan?”

“Ya tau lah. Kan cuma lima menit dari sini,”

“Alah, tepu kamu Vi. Kalo tau cuma lima menit dari sini, kenapa tadi pulang dianterin Rio?”

“Hehe, kan tadi belom tau. Sekarang udah,”

“Haha, iya deh. Kakak mandi dulu ya? Habis ini makan malem bareng. Jangan kabur lagi loh,”

“Iya Kak Alvin..”

Alvin beranjak dari sofa dan keluar dari kamar Sivia, menuju kamarnya sendiri untuk membersihkan dirinya sebelum makan malam.

“Mbak Ucie…” panggil Sivia manja pada pelayan favoritnya.

“Eh, mbak Via. Ada apa ta mbak? Kok manggilnya manja gitu?”

“Eee, menunya apa mbak buat makan malem hari ini?”

“Ada ini lho, mini chicken kebab buat opening-nya, sop ayam a la Chef Duta yang enak itu, sama cream soup buat main menu, trus desert-nya puding coklat stroberi non-fat.O ya, pencuci mulutnya apel malang favoritnya Tuan Besar. Ana apa ta mbak, kok nanya-nanya gitu?”

“Yaah, ga ada cheese fussili ya mbak?”

“Waah, maaf mbak Via. Tuan besar tidak mengijinkan,”

“Aah, Papa nih, ga asyik deh.. Mmm, ya udah deh mbak Ucie. Makasih ya, Mbak,”

“Iya mbak Via. Sama-sama,”

Sivia meninggalkan dapur dan menuju ruang makan. Sesampainya di sana, ia langsung menduduki kursi di sebelah kakaknya yang tengah duduk manis sambil bermain-main dengan ponselnya. Alvin menengok sekilas ke arah adiknya yang sedang manyun sebal.

“Kenapa Vi? Manyun gitu. Ga boleh dapet cheese fussili ya sama Mbak Ucie?” tanya Alvin usil.

“Kok tau??” Sivia menengok cepat ke arah kakaknya yang tersenyum-senyum jail, entah karena orang yang sedang di-sms-nya atau karena sikap Sivia yang menurutnya lucu itu.

“Ya tau lah. Tiap makan malem kan, kamu selalu nyariin si cheese fussili..”

“Haah, iya nih. Ga asik ah,”

“Lagian ya Vi, kalo kamu makan CF mulu, lambung kamu bisa-bisa pensiun tugas. Kebanyakan keju,”

“Iya, iya, Pak Profesor. Nurut deh,”

“Siapa yang profesor?” kata Pak Anthony yang datang tiba-tiba.

“Bonne nuit, Pa..” sapa Alvin dan Sivia berbarengan pada ayah mereka yang baru datang itu.

“Bonne nuit. Pertanyaan Papa belom di jawab loh.. Siapa yang profesor? Hayoo..” tanya Anthony usil *FYI, Anthony itu bisa dibilang ‘bokap gaul’. Jadi emang ngomongnya ya kayak gitu*.

“Ini lho Pa, kak Alvin, nasehatin Via buat jangan kebanyakan makan CF. Ntar lambung Via bakal pensiun kerja.. Profesor banget ga sih?” Sivia menjulurkan lidahnya iseng pada Alvin.

“Yaah, emang kayak gitu kan, ya, Pa?” Alvin balas menjulurkan lidahnya pada Sivia.

“Haha, memang benar kata kakakmu itu Via. Udah, meletnya dilanjutin ntar aja. Sekarang makan dulu.” Sivia dan Alvin menghentikan duel melet mereka saat Mbak Ucie, sang kepala pelayan, dan anak-anak buahnya memasuki ruang makan dan meletakkan berbagai masakan enak ke atas meja, di hadapan masing-masing anggota keluarga.

Setelah mengatur appetizer dan minumannya, anak-anak buah Mbak Ucie kembali ke dapur. Sedang Mbak Ucie beranjak berdiri di samping Tuan Besarnya dan menjelaskan menu yang akan disantap Keluarga Sindhunata malam itu.

“Appetizer untuk makan malam hari ini adalah mini kebab saus tomat yang dipesan oleh Tuan Alvin. Bon Appetite,” Alvin senyum-senyum girang karena pesanannya dipenuhi oleh Mbak Ucie. Mbak Ucie berhenti sejenak untuk memberi kesempatan Sivia, Alvin dan Pak Anthony melahap appetizer mereka.

“Haha, Chef Duta memang yang paling the best..nyam..nyamm..” kata Anthony disela kunyahan kebab-nya.

Setelah semuanya kandas, Mbak Ucie menepuk tangannya dua kali. Dan pelayan-pelayan tadi kembali dengan main course mereka malam ini.

“Yeee!! Sop ayam sama cream soup a la Chef Duta!!” Alvin, Anthony dan Sivia menjerit kegirangan *emang dasar keluarga gila.*

“Yes. Main Courses for tonight are Chicken Soup and Cream Soup a la Chef Duta. Bon Appetite,” jelas Mbak Ucie lagi. Kemudian ia meninggalkan area meja makan, menuju dapur, menunggu majikannya selesai dengan hidangan santap malam mereka.

“Bagaimana perkembangan sekolah kalian anak-anak? Alvin?” tanya Anthony.

“Bagus Pa. kayak biasanya.”

“Baguslah kalau begitu. Lalu bagaimana dengan Ify?”

Glekk!

Alvin langsung tersedak begitu mendengar nama Ify. Ia menenggak habis segelas air putih yang tersedia. Dan menjawab pertanyaan ayahnya dengan wajah tersipu malu.

“Eee, baik-baik aja kok.. Pa.. Kenapa emang?”

“Ya gapapa. Papa cuma nanya. Bagus deh kalo dia baik-baik aja. Kamu masih sama Ify kan?” Alvin mengangguk-angguk menanggapi pertanyaan ayahnya.

“Makin mesra Pa, malahan.” Sivia nimbrug.

“Wah, wah, bagus itu. Kalo lulus ntar, langsung dikawinin aja gimana?”

GLEKKK!!

Lagi-lagi Alvin tersedak. Setelah minum, ia mendelik ke arah adik dan ayahnya yang sedang tertawa-tawa setan.

“Ahahahaha! Bagus tuh Pa!”

“Eh, tapi kamu juga lho, Vi. Sama Rio. Jadi biar bareng gitu. Kan ga repot,”

Giliran Sivia sekarang yang tersedak dan Alvin yang terbahak. Memang dasar keluarga gila. Sambil manyun, Sivia melanjutkan santapannya. Sedang Alvin menyatap cream soup-nya sambil menahan tawa.

Setelah semuanya tandas, Mbak Ucie kembali lagi dengan 3 pelayan yang sama yang membawa menu terakhir malam itu. Non-Fat Chocolate and Strawberry Pudding dan apel malang sebagai pencuci mulut. Sekali lagi, setelah mengucapkan ‘Bon Appetite’, Mbak Ucie meninggalkan area ruang makan, menuju dapur.

Setelah menyantap habis dessert dan pencuci mulutnya, Anthony berdeham-deham, cukup keras untuk membuat Sivia dan Alvin meletakkan sendok puding mereka sejenak.

“Kapan kalian mulai libur?” tanya Anthony.

“Kalo enggak salah minggu depan, kalo nggak depannya lagi. Ada apa Pa?” jawab Alvin.

“Begini, kalian bisa tidak Sabtu besok ijin ga sekolah dulu?”

“Ya, kalo Alvin sih bisa-bisa aja. Tapi kalo Via agak repot. Dia kan baru 2 hari jadi murid Gamasta. Iya kan?” Alvin menengok ke arah Sivia, memastikan jawabannya barusan.

“Yep. Lagian Via masih ada bimbingan dari OSIS. Tapi masalah itu bisa diaturlah. Kan ketua OSIS-nya disini.” Sivia melirik kakaknya yang sedang melanjutkan acara mengosongkan mangkuk pudingnya. Alvin, yang merasa dilirik, menengok ke arah Sivia dan mendelik padanya.

“Benar juga sih. Ah, sudahlah. Biar Alvin saja yang memikirkan. Jadi kalian mau kan menemani Papa ke acara makan malam perusahaan Papa?”

“Perusahaan yang mana Pa?”

“Buku sama label musik Papa itu lho,”

“Oooh. Emang ada acara apa Pa?”

“Ga ada acara apa-apa sih. Cuma peringatan 25 tahun perusahaan. Gimana?”

“Oke. Boleh bawa pasangan ga Pa?”

“Ya boleh dong. Kamu gimana Via?”

“Bisa, Pa. Tapi Via ga usah bawa pasangan yak?”

“Mmm, iya deh. Nanti kamu sama Papa aja. Atau mau sama Rio?”

“Iiih, Papa nih. Kok Rio sih??”

“Ya gapapa dong.”

“Lagian Rio kan anak tunggal. Kamu sama dia aja lah, Vi. Kasian ntar dia sendirian..” Alvin dan ayahnya tertawa setan bersama. Dan Sivia dibuat manyun sekali lagi oleh mereka berdua. Dan dengan itu pula, selesai sudah makan malam Keluarga Sindhunata.

# # # #

Rio mengangguk-angguk tidak jelas mengikuti irama dari musik yang didengarnya melalui headset yang tersambung pada iPod Touch 4G-nya. Sambil membolak-balik majalah otomotif terbaru. Tak lama, jemari-jemarinya terhenti di sebuah halaman yang menampilkan sebuah artikel tentang mobil sport keluaran Itali.

Ia mengangkat sebelah alisnya. Terheran-heran sebentar, kemudian melanjutkan aktifitas sebelumnya. Mombolak-balik halaman majalah itu hingga kusut.

‘Fiorano. Kira-kira berapa ya? Jadi pengin gue..’ pikirnya.

10 menit kemudian, setelah membolak-balikkan halaman majalah otomotifnya entah untuk keberapa kalinya, Rio merasa bosan. Ia melempar majalah itu ke lantai dengan tampang suntuk setengah mati. Tak lama, terdengar ketukan pelan di pintu kamarnya. Ia pun beranjak dengan malas menuju pintunya dan membukanya dengan malas pula.

“Tuan, besok Sabtu Tuan harus ikut dengan Tuan Besar ke acara peringatan 25 tahun perusahaan rekannya.” Bi Okky, kepala pelayan di rumahnya, memberi tahu.

“Hah? Kenapa saya mesti ikut sih, Bi?”

“Tuan Besar tidak mengatakan sebabnya, Tuan.”

“Halaaah, ya udahlah. Setelan yang mau saya pake, saya kasih besok aja Bi. Hari ini saya ada balapan.”

“Baik, Tuan. Permisi..” Bi Okky membungkuk sekilas sebelum meninggalkan tempatnya. Rio hendak menutup pintu kamarnya saat ia teringat sesuatu.

“Bi Okky!!” panggilnya. Bi Okky, yang sedang menuruni tangga, terhenti seketika saat mendengar panggilan tuannya. Kemudian menghampiri Rio yang sedang menunggunya di depan kamarnya.

“Iya Tuan?”

“Bilangin Bang Joe, tolong panasin Corolla saya. Saya mau langsung.”

“Baik, Tuan.”

“Makasih Bi.”

“Sama-sama, Tuan.”

Rio masuk ke dalam kamarnya. Melepas headset yang menggantung di telinganya dan meletakkannya di atas bed side table-nya bersama dengan si iPod. Kemudian ia melepas bajunya, mengambil handuk, dan membersihkan dirinya sebentar sebelum berangkat dan bertemu gadis pujaannya. Sivia.

# # # #

Gamasta, 11.53 pm,

Malam yang cukup ramai di Gamasta IHS. Bukan, bukan karena ada kasus pembunuhan atau pencurian di sana. Tapi karena balapan bulanan yang digelar oleh murid-murid Gamasta malam itu, membuat malam terasa seperti siang. Ramai dan menyenangkan. Tapi yang membedakan adalah bulan yang tergantung indah di langit, bukannya matahari. Dan juga berwarna-warni. Bukan karena lampu hias, tetapi karena mobil-mobil yang terparkir di main yard yang super luas milik Gamasta.

Ada yang putih, merah, biru, hitam, pink, oranye, ungu, hijau, bahkan kuning terjejer rapi dengan para pemilik yang berada di samping mobil mereka.

Tak terkecuali empat buah Corolla bertipe sama, namun berbeda warna yang baru saja memasuki pelataran halaman utama Gamasta. Merah, biru, silver, dan hitam. Ya, ya. Kalian pasti tahu siapa-siapa saja yang berada di balik setir Corolla-Corolla itu.

Setelah memakirkan mobil mereka (dengan posisi berjejeran), hampir seluruh murid mengerumuni mobil-mobil itu. Setelah keluar dengan susah payah, salah satu dari pengemudi Corolla itu menghampiri pengemudi Corolla merah.

“Vin, lo yakin Sivia bakal dateng?” tanya Rio.

“Yakiiin.. Udahlah tenang aja.” Alvin meyakinkan. Kemudian, ia (Alvin) menengok ke arah sebuah mobil yang baru saja memasuki halaman Gamasta, dan tersenyum.

“Tuh, pujaan hati elo udah dateng,” tunjuk Alvin ke arah mobil itu. Rio melihat ke arah yang ditunjuk Alvin. Dan tercenganglah ia.

Alvin membukakan pintu mobil Sivia (yang baru saja datang), dan memeluknya dengan cukup erat setelah Sivia keluar dari mobilnya. Kemudian menggandengnya ke arah teman-temannya yang sedang terbengong-bengong.

“Nih, cewek lo udah dateng,” Alvin melepas gandengannya saat ia sudah ada di dekat Rio, yang tebengong-bengong.

“Hah?? Oh iye..” Rio tergagap. Kemudian memandang bergantian antara gadis di depannya dan mobil gadis itu.

“Lo punya Fiorano??” tanyanya sedikit menyentak.

“I-iya..” jawab Sivia takut-takut. ‘Kenapa nih si tukang seret satu?’ pikirnya heran.

“Lo beli dimana?” tanya Rio lagi.

“D-di Itali..”

“Lo beli langsung di Itali?!?!”

“I-i-iyaa… Kenapa sih? Kaget banget kayaknya..”

“Ya jelas kaget lah!! Secara, elo, Sivia, punya Fiorano elo sendiri!! Busettt…” Sivia dan Alvin serta merta tertawa melihat reaksi Rio yang menurut mereka berlebihan itu. Melihat Sivia dan Alvin yang tertawa, Rio pun ikut tertawa *penulis juga ikut tertawa. Haha..*

Setelah beberapa lama, dan jam pun menunjukkan pukul 12 malam, murid-murid Gamasta bersiap-siap untuk menonton balapan. Mereka beranjak dari tempat mereka menuju jalan utama Pentagon House Regency, di mana balapan akan dihelat.

Tak lama, balapan pun mulai. Daud dan Ozy dari kelas XI-III, kelas Sivia adalah yang pertama memulai. Seorang gadis dengan kaus kurang bahan, yang memperlihatkan pusarnya, rok mini berbahan jeans yang robek-robek, dan heels Manolo Blahnik 8 cm, berdiri di tengah-tengah 2 mobil Daud dan Ozy yang sudah meraung-raung kencang.

Bendera mungil berwarna hijau yang dibawa gadis tadi telah dijatuhkan, dan melesatlah mobil-mobil itu dalam kegelapan jalan utama PHR. Semua orang yang menyaksikan balapan itu bersorak-sorak meriah. Tak terkecuali Sivia.

“Kak, balapannya sampe mana sih?” tanyanya pada Alvin yang berdiri di sebelahnya.

“Cuma sampe ujung PHR. Di Halingga. Kamu mau ikutan?”

“Nggak ah, Kak. Aku nonton aja..”

“Iya deh iya. Terserah kamu aja,”

“Kakak mau ikut ya?”

“Ya harus dong.”

“Haha, iya deh iya. Tapi menangin ya kak!” Bersamaan dengan perkataan Sivia barusan, mobil Mazda D 4 UD melesat cepat melewati gadis tadi yang membawa bendera kotak-kotak hitam putih.

“WOOOOOHOOOO!!!!!!” Semua bersorak dan mendatangi Daud yang baru saja keluar dari mobilnya. Kemudian, host balapan malam itu, Gabriel, dari kelas XI-III mengumumkan balapan selanjutnya. Dan begitulah seterusnya.

Pukul 02.16, sampai pada penghujung acara. Peserta terakhir juga telah menyelesaikan balapan mereka. Kebanyakan murid sudah menginjak pedal gas mobil mereka. Meninggalkan area balapan, dan pulang ke rumah mereka masing-masing. Tapi tetap saja ada yang tinggal di area untuk membereskan kekacauan yang dibuat oleh pihak tak bertanggung jawab yang pulang lebih dulu.

“Haduh, haduh.. Kenapa mesti OSIS sih yang selalu beresin semua ini??? Kenapa engkau tega, Tuhan???” rutuk Gabriel lebay sambil mengangkat kedua tangannya yang membawa dua kantong besar berisi sampah tinggi-tinggi.

“Hush, jangan gitu ah, Yel. Pamali, ciin..” kata Ray menasehati dengan gaya bancinya yang khas.

“Haha, udah, udah. Diberesin dulu, baru ngomel-ngomel.” Ify, anggota OSIS yang lain, ikut menasehati.

GLUDUKK GLUDUKK GLUDUKK…

Suara guntur terdengar dari kejauhan. Sepuluh kepala mendongak cepat ke arah sumber suara. Lagi-lagi hujan.

“TUHAAANN!! SUNGGUH TEGANYA DIRIMU PADA KAMIII!!! APA SALAH KAMII??” rutuk Gabriel, sekali lagi. Namun kali ini rutukannya itu dibalas oleh teriakan sebal, gemas, dan jengkel dari 9 orang temannya.

“GABRIEEELL!!!”

Dan jitakan dari Rio.

“Nyinying lo, Yel. Berisik tau ga.”

“Aduuh! Sakit tauk,” Gabriel mengelus-elus bagian kepalanya yang terkena jitakan dan mendelik ke arah Rio.

13 menit kemudian, semuanya telah selesai dibereskan. Hampir, sebenarnya. Tapi paling tidak, sudah tidak terlalu terlihat berantakan lagi.

Satu persatu, anggota-anggota OSIS yang membereskan kekacauan pasca balapan, pulang ke rumah mereka. Kecuali Alvin, Sivia, Rio, dan Ray.

“Vin, lo ikut ke acara 25 tahun perusahaan ga?” tanya Rio.

“Ya ikutlah, jeng. Perusahaan bokap gue juga. Masa anaknya ga ikut??”

“Hehe, iya ding. Kalo elo, Ray?”

“Ikut juga dong. Gue kan kangen sama Monsieur Anthony yang gokil itu. Hehe..”

“Yaah, kok pada ikut semua sih? Lo bareng siapa Vin?”

“Ify. Dan elo ga boleh nebeng.” jelas Alvin saat Rio membuka mulutnya untuk menanyakan apakah ia boleh nebeng atau tidak. Mendengar jawaban Alvin, ia pun mengurungkan niatnya.

“Ah, elo mah.. kalo el—“

“Gue bareng Dea, say.. hehe,” potong Ray sambil nyengir-nyengir kuda.

“Ah, payah. Gue bareng siapa coba?” rutuk Rio pasrah.

“Aduuh, plis deh. Harus ya pake pasangan segala?” kata Sivia tiba-tiba dari sebelah kanan Alvin, setelah sekian lama berkutat dengan ponselnya. Rio mendelik tajam ke arah Sivia, yang lagi-lagi berkutat dengan ponselnya.

“Ya harus dong. Biar.. biar..”

“Biar apa??” tantang Sivia, yang akhirnya pasrah dengan iPhone bututnya *iPhone kok butut.. Plis deh mbak penulis.. (--“)*

“Biar ga gengsi kalo ditanyain ‘pacarnya mana??’ ” gumam Rio pelan. Sayangnya, gumaman itu cukup keras untuk didengar Sivia.

“Haha, lucu. Gitu doang?” ucap Sivia, dengan sangat sarkatis sekali.

“Ya iya lah. Emang musti gimana lagi coba, hah??”

“Ga usah pake pasangan juga gapapa kan?”

“Ya ga bisa dong! Ini acara penting! Harus pake pasangan!”

“Helloooo! Lo inget kagak ini acara siapa?? Gue juga ga ada pasangan tauk. Dan gue masih stay calm. Ga kayak elo!” Saat Rio dan Sivia berdebat, secara diam-diam Alvin dan Ray menyingkir dari arena debat. Karena saking asyiknya, mereka berdua (Rio dan Sivia) bahkan tidak tahu mereka ditinggal oleh Alvin dan Ray berdua.

“Ini emang acara perusahaan bokap lo! Tapi sebagai anak rekan, gue juga harus bawa pasangan dong!”

“Haha! Sayang banget, Yo, kalo lo mau ngajak gue. I’m not available.”

“Dihh, sape juga yang mau ngajak elo?? Gak lepel!”

“Alaahh! Bilang aja iya, susah amir.. Amir aja ga susah..”

“Haha, lucu.”

“Biarin.. Wekk!”

“Wekk!” Dan saat itulah, mereka tersadar bahwa mereka berdua adalah yang terakhir di lapangan utama Gamasta IHS. Bingung, jengkel, gemas, dan takut (yang terakhir ini apa yang dirasain Sivia) tertera jelas di wajah mereka. Sivia, yang ketakutan setengah hidup, serta merta memegang lengan Rio. Dan Rio pun tersenyum-senyum girang tak keruan karena hal itu.

Pelan-pelan, mereka berjalan berdampingan menuju mobil mereka, dengan Sivia yang berpegangan erat pada lengan jaket Rio. Desir angin pagi dini hari yang sepoi-sepoi, ditambah gesekkan daun-daun pada pohon-pohon yang ada di sekolah itu, menambah rasa takut Sivia menjadi semakin besar *jujur, penulis juga takut, hehe..*

Setelah membukakan pintu mobil untuk Sivia, dan melepaskan genggaman Sivia dari lengan jaketnya, Rio menutup pintu mobil Sivia dan beranjak menuju mobilnya. Sesaat sebelum Sivia keluar dari area Gamasta, Rio membunyikan klaksonnya, dan berteriak pada Sivia.

“GUE JEMPUT ELO JAM 7 MALEM BESOK SABTU!!! JANGAN LUPA NTAR BANGUN PAGI!! LO MASIH HARUS NGERJAIN TUGAS ANAK BARU ELO!!!” Dan, whusshh!! Melesatlah Rio dari hadapan mobil Sivia. Sedang Sivia? Terbengong-bengong ga keruan atas pesan Rio barusan.

‘Ini kan jam setengah tiga. Gimana gue bangun paginya?? Sarap tuh anak satu,’ rutuk Sivia pelan. Ia menginjak pedal gas mobilnya dan ngebut hingga ke rumahnya. Memikirkan bagaimana cara untuk bisa bangun pagi, tapi tetap dapat cukup jam tidur.

Sekali lagi, raut bingung dan penasaran menghiasi wajah imut Sivia.


# # # #


---------------------------------------------------------------------------------------------


baiklahhh, itu dia. cukup panjang menurut saya..

jadi, cukup cincongnya, silakan baca dan komentari..


Please leave any comments on this blog, or on my twitter : @umisaadah95

or on my facebook : Umi Sa'adah


salam,

Umi Sa'adah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar