Laman

Selasa, 05 April 2011

When It Rains [part.2]

okeh.. ini dia part 2 cerita ga mutu saya.

kalo jelek atau apa, jangan marahin saya ya?? komen aja.

makasih sebelumnya..


enjoy reading,


-----------------------------------------------------------------------------------------------


“Kak Alvin!!” seru Sivia. Alvin langsung menoleh begitu mendengar namanya di panggil dan melihat Sivia berlari-lari kecil ke arahnya.

“Kenapa Vi?” tanya Alvin saat Sivia sudah berada di depannya.

“Ada waktu ga? Aku mau ngomong sebentar,”

“Boleh. Di mana?”

“Kantin aja gimana?”

“Ya udah. Yok..” Mereka meninggalkan tempat mereka dan menuju kantin sekolah mereka.

Oke, kita perkenalan dulu sambil menunggu Sivia dan Alvin sampai di kantin. Sivia Azizah Sindhunata adalah adik tiri Alvin Jonathan Sindhunata, cowok yang tadi dipanggil Sivia. Ibunya menikah dengan ayah Alvin saat umurnya 5 tahun, dan Alvin berumur sama saat itu. Tapi, kenapa Sivia manggil Alvin dengan sebutan ‘kak’? Awalnya, Sivia pikir Alvin lebih tua dari dia saat mereka ketemu. Jadi, dia manggilnya ‘kak Alvin’. Sivia pindah ke Semarang karena ibunya baru saja meninggal. Dan Alvin adalah satu-satunya keluarga yang dia punya di Indonesia. Ayah mereka kerja di Paris, belom pulang sampai sekarang. Mereka tinggal berdua di sebuah rumah besar bareng 7 pembantu mereka. Sivia pindah ke sekolah yang sama kayak Alvin biar Alvin bisa ngontrol dan ngejaga si Sivia. Begitulah ceritanya.

Sivia dan Alvin baru saja sampai di kantin. Mereka juga sudah memesan masing-masing chocolate dan strawberry milkshake. Mereka menemukan sebuah tempat kosong di satu pojokan di sana dan mereka mulai berbicara.

“Kak, Kakak tuh terkenal banget ya di GHS ini?” Sivia memulai saat sebelumnya menyeruput strawberry milkshake-nya terlebih dahulu.

“Ga terlalu, Vi. Kenapa emang?”

“Gini. Tadi waktu Via ngenalin diri pas inggris, anak-anak plus gurunya kaget gitu. Pas Via tanya sama temen Via, dia malah tambah kaget, sampe ngatain aku gila lagi,”

“Karna lo adek gue, Vi,”

“Emang kenapa kalo adek Kakak?”

“Ga ada yang tau gue punya adek, Vi. Mungkin mereka kaget karna itu kali,”

“Kak Alvin bo’ong nih pasti..”

“Ga lah, Vi. Ngapain bo’ong sama lo? Ujung-ujungnya ketauan juga kan?”

“Iya sih, hehe..”

“Wooii, Vin!” Sebuah suara menyela pembicaraan Sivia dan Alvin. Orang itu segera mendatangi tempat Alvin dan Sivia duduk.

“Sori ganggu. Lo dipanggil Bu Ira, Vin. Ada yang mau diomongin katanya,”

“Oh, oke.” Alvin berdiri dan menoleh sebentar ke arah Sivia.

“Vi, lanjutin di rumah aja ya. Gue mesti pergi dulu,” Alvin berbalik. Namun, baru selangkah berjalan, ia langsung terhenti.

“O ya. Hari ini lo ada jadwal pengenalan sekolah sama.. Rio. Jangan bantah,” kata Alvin saat Sivia membuka mulutnya untuk membantah. Ia lalu menutup mulutnya dan mengangguk setuju sambil mengeluarkan muka manyun khasnya.

“Gue duluan, Yo, Vi,”

“Yok,” Alvin menepuk bahu Rio pelan *Rio yang manggil tadi* dan meninggalkan mereka berdua di pojok kantin yang mulai sepi. Sivia menyeruput milkshake-nya pelan-pelan. Rio mengambil handphone-nya yang berbunyi. Sebuah sms. Rio membacanya sekilas dan mengalihkan pandangannya dari handphone-nya ke arah Sivia.

“Lo, ikut gue. Tur dimulai,”

“Ha? Maksudnya?” Rio menarik Sivia berdiri dengan se-‘gentleman’ mungkin dan membawanya keluar kantin untuk memulai tur mereka.

# # # #

“Tur sekolah ini diadain kalo ada anak baru atau tamu. Biasanya OSIS yang jadi guide-nya. Sayangnya buat gue, gue harus jadi guide lo buat dua minggu ini.” Rio menjelaskan.

“Dua minggu? Masa tur dua minggu?”

“Tur-nya 2 hari, bimbingan 8 hari, tenggat tugas 4 hari.”

“Bimbingan apa?”

“Bimbingan buat tau apa-apa aja yang mesti lo lakuin di sekolah ini.”

“Oh. Trus, pembimbing gue siapa?”

“Ya gue lah. Siapa lagi?”

“Berarti gue harus stuck sama lo buat 2 minggu ini? Ogah ah,”

“Gue juga ogah. Udah, diem dulu aja lo. Nah, ini perpus. Yang di sebelahnya itu UKS.” kata Rio sambil menunjuk sebuah ruangan yang… sangat besar yang Rio sebut perpustakaan itu. Sivia terbengong-bengong melihat perpustakaan super besar itu.

“Ga usah bengong gitu. Namanya juga international school. Lanjut,” Mereka mulai berjalan lagi menuju ruangan selanjutnya. Ruangan yang paling dielu-elukan oleh seluruh murid-murid Gamasta International High School. Ruang Auditorium Musik.

“Ruangan ini sering dipake buat acara-acara musikal. Kayak Festival Musik Tahunan yang sering diadain tiap tahunnya di sini.”

“Ooh. Festival Musik itu sistemnya gimana?”

“Dipilih satu perwakilan atau lebih dari tiap kelas. Perwakilan itu akan membentuk sebuah grup yang akan tampil pas FestiMus, itu singkatannya. Boleh individual atau kelompok. Terserah si wakilnya. Ngerti lo?”

“Lumayan. Gue harus liat secara langsung, baru gue ngerti.”

“Lo harus bisa nunjukin skill lo, baru lo bisa ikutan. Lo juga belom seleksi Gamasta Voice kan?”

“Apaan tuh Gamasta Voice?”

“Lo ga tau Gamasta Voice?”

“Kak Alvin bilang kayak paduan suara. Bener bukan?”

“Hampir. Paduan suara khusus anak baru. Yang terbaik bakalan bertahan di GV sampe kelas dua akhir.”

“Ooh. Gitu toh,”

“Lo mau ikut FestiMus?”

“Ga tau sih. Belom tanya dan minta ijin Ayah sama Kak Alvin.”

“Yang penting tunjukin dulu skill lo. At least sama gue. Soal Alvin, serahin aja ke gue.”

Rio membimbing Sivia ke dalam Auditorium Musik, berjalan ke arah sebuah grand piano putih yang ada di sebuah sudut auditorium. Sivia duduk di atas kursinya, dan memencet sebuah tuts.

Ting..

Merdu. Adalah kata pertama yang terlintas di kepala Sivia saat mendengar denting piano tersebut. Ia semakin pede untuk menunjukkan skill-nya pada Rio yang berdiri di sampingnya.

Easy come, easy go,

That’s just how you live

Oh, take, take it all, but you never give..” Alunan merdu piano yang tercampur suara indah milik Sivia mengisi atmosfer di auditorium itu. Rio, yang awalnya ragu akan skill Sivia, dibuat kagum akan skill rahasia Sivia itu.

‘Banyak kejutan juga dia, sampe bisa bikin gue kagum gini.’ pikir Rio.

I would go through all this pain

Take a bullet straight through my brain

Yes, I would die for you baby

But you won’t do the same

No, you won’t do the same

You wouldn’t do the same

Ooh, you never do the same

No, no, no, no..” Sivia menyelesaikan lagunya dengan baik. Sangat baik hingga Rio bertepuk tangan dengan semangat. Memang benar-benar ber-skill seorang Sivia Azizah Sindhunata ini.

“Keren juga lo ternyata. Grenade-nya Bruno Mars, kan?” tanya Rio setelah ia selesai bertepuk tangan.

“Iya. Gue suka banget sama lagu itu.”

“Kenapa emang?”

“Gue cuma suka aja. Bruno Mars-nya keren sih. Cute-cute gitu orangnya. Hehe..”

“Dasar lo. Minggir gih,”

“Mo ngapain lo?” Sivia berdiri saat Rio memintanya untuk memberikan tempat untuknya. Setelah duduk, Rio langsung memainkan serangkaian nada-nada yang terdengar asing di telinga Sivia.

3 menit kemudian, rangakaian nada-nada asing itu selesai dimainkan. Rio langsung beranjak berdiri dan menarik pergelangan tangan Sivia, yang masih terkagum-kagum pada permainan piano Rio, secara paksa.

“Yo..” panggil Sivia pelan. Rio tak menjawab.

“Yo!” kali ini sedikit lebih keras. Lagi-lagi Rio tak menjawab.

“Yo!!” panggilan yang terakhir ternyata manjur. Rio menghentikan langkahnya. Membalikkan badannya pelan-pelan dan menghadap Sivia dengan tatapan seriusnya.

“Apaan?” tanya Rio ketus.

“Tangan gue..” Rio melihat ke arah tangan kanannya yang menggenggam pergelangan tangan Sivia. Beberapa detik kemudian, otaknya langsung normal kembali, dan langsung melepas genggamannya.

“Sori.”

Dan dengan ucapan terakhir dari Rio itu, mereka berpisah di sana tanpa ada alasan yang jelas. Namun, yang terpenting, terdapat saksi yang menyaksikan kejadian itu. Rintik hujan yang mulai turun pelan membasahi bumi pertiwi. Satu-satunya saksi yang mengetahui isi hati Rio saat itu.

# # # #

“Kak Alvin dimana?” tanya Sivia pada Alvin, via handphone Sivia. Ya, Sivia sedang menelepon Alvin karena kakaknya itu tidak bisa ditemukan di sekitar sekolah mereka.

“Maaf, Vi. Lo pulang sendiri ya? Gue lagi ada urusan. Bu Ira nyuruh gue ke luar Semarang buat cari sponsor. Maaf ya, Vi,” kata Alvin dari seberang sana.

“Berarti aku pulang sendiri? Aku kan ga tau jalan pulang, Kak. Mana ujan lagi. Ntar kalo aku nyasar gimana?”

“Aduuh, gue juga ga bisa nganterin lo pulang, Vi.”

“Trus gimana dong?”

“Lo cari Rio aja deh. Suruh nganter lo pulang. Gimana?”

“Masa Rio sih, Kak?”

“Ya ga pa-pa lah. Daripada ga pulang?”

“Ya udah deh. Tapi aku ga tau Rio di mana kak,”

“Gue sms-in dia bentar. Lo tunggu di tempat aja, Vi. Oke?”

“Iya deh kak. Buruan,”

“Iya.”

Tut tut tut..

‘Rio lagi, Rio lagi. Capek deh,’ batin Sivia.

Lama Sivia menunggu, saat tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Sivia terperanjat kaget dan kemudian menoleh, melihat Rio dan seorang teman sekelasnya, Raynald.

“Eh, elo, Yo. Lo mau nganterin gue kan?”

“Ga—“

“Iya Vi. Dia mau kok. Tapi bareng gue yak,” Ray memotong omongan Rio, yang dibalas jitakan dari Rio.

“Iye, gue mau. Lagian kita berdua mau nyari sketsa desain interior auditorium Festival yang dibikin Alvin.”

“Oh, oke deh, kalo gitu. Trus kita pulang naek apa?”

“Mo—“

“Civic Si-nya Rio. Dia belain beli mobil ini waktu dia denger mobil ini ditanda tanganin langsung sama Paramore. Di Indonesia ga ada loh,” Lagi-lagi Ray mendapat jitakan dari Rio buah hasil memotong omongan Rio. Sivia tertawa melihatnya.

“Gue ambil mobil dulu. Lo berdua tunggu di sini.”

Rio pergi dari selasar Gamasta IHS, menuju parkiran sekolah. Sementara menunggu Rio, Sivia dan Ray mencoba mengetahui diri masing-masing.

“Sivia ya? Yang kena lempar bolpen itu ‘kan?” Ray memulai.

“Iya. Raynald kan?”

“Ray aja.”

“Oh, oke.”

Sesaat mereka diam. Keheningan yang cukup lama, sampai Ray membuka mulutnya untuk berbicara lagi.

“Rio jarang kayak gini loh, FYI,”

“Maksudnya?”

“Dia jarang baik gini sama anak baru. Mungkin karna lo adeknya Alvin kali ya?”

“Masa sih?”

“Yep. Bisa diitung kok berapa anak baru yang dia kerjain tiap tahunnya. Sampe-sampe banyak anak baru yang baru aja masuk, langsung minta pindah. Kocak banget tuh si Rio,”

“Hahahaha, iya. Kasihan banget anak-anak baru itu. Hahaha!”

“Iye, hahaha!” mereka berdua tertawa bersama. Namun, tawa itu tak berlangsung lama. Dengan segera keheningan menyelimuti mereka kembali.

“Dia banyak masalah, makanya dia ngerjain anak-anak baru itu.” jelas Ray.

“Sebagai… pelampiasannya?”

“Yep. Kalo dia udah terlalu banget ngerjainnya, bokapnya bakal turun tangan. Dia juga ga terlalu akrab sama bokapnya. Ga akrab banget malah,”

“Kenapa emang?”

“Karena nyokapnya Rio.”

“Kenapa sama nyokapnya Rio?”

“Ntar lo juga tau,”

Tin tin!

“Tuh Rio. Yok Vi!”

“Eh, iya,”

Sivia mengikuti Ray keluar dari selasar sekolah menuju mobil Rio yang sudah menunggu di driveway sekolah. Tentu saja, raut kebingungan menghiasi wajah cantik Sivia. Sekali lagi.

# # # #

“Bagaimana sekolahmu Aditya?”

“Udah kubilang namaku bukan cuma Aditya. Kenapa ga panggil Rio aja sih? Apa susahnya??”

“Papa ga suka. Itu nama yang diberikan oleh wanita itu.”

“Jangan pernah panggil mama dengan sebutan wanita itu!” Rio menutup buku yang sedang dibacanya dengan kasar dan berdiri dengan kemarahan memenuhi tiap sel di tubuhnya.

“Dan jangan pernah kamu panggil dia mama, Aditya!”

“Emangnya kenapa?! Ga suka ?!”

“Pergi kamu ke kamarmu! Sekarang!”

“Memang itu yang aku pengen lakuin dari tadi.”

“Naik kamu sekarang!”

Rio membanting bukunya ke sofa terdekat darinya dan bergegas pergi dari ruang keluarga kediaman Haling itu. Sekali lagi dia membanting pintunya sesudah ia masuk ke dalam kamarnya. Ia membanting tubuhnya di atas tempat tidurnya, dan meletakkan tangan kanannya di atas matanya. Sesaat kemudian, Rio mengangkat tangan yang menutupi matanya, dan melepas gelang silver yang melingkari pergelangan tangannya. Ia memutar-mutar sejenak gelang itu. Matanya menyipit karena mencoba mengingat wajah wanita yang memberinya gelang itu.

Wanita yang sama yang membuat Rio rajin mengikuti les piano, agar ia bisa membuat rangkaian nada-nada harmonisnya sendiri. Wanita yang sama yang memberinya nama Mario Stevano. Wanita yang sama yang mengajarinya cara memperlakukan wanita dengan sangat gentleman-nya. Wanita yang sama yang memperkenalkannya pada musik. Wanita yang sama yang telah melahirkannya dengan susah payah. Wanita yang sama yang meninggalkannya dengan ayah yang sangat ia benci, 9 tahun yang lalu.

Tak sadar, sebuah air mata menetes dari mata tenangnya. Segera, Rio mengusap air mata itu. Ia kembali mengenakan gelang itu dan bergegas bangun, menuju kamar mandi di kamarnya yang besar itu, membersihkan dirinya, mengganti baju yang tadi ia pakai, dan bergegas keluar rumahnya. Tidak menggubris ayahnya yang berteriak marah, menanyakan kemana ia akan pergi. Ia hanya ingin menuju Taman Musik, tempat favoritnya untuk merenung, secepatnya.

15 menit kemudian, Rio memarkirkan mobilnya di dekat taman. Ia terdiam sesaat di dalam mobilnya, sebelum mematikan mesin dan keluar dari mobilnya. Ia mulai berjalan-jalan di sekitar taman *pintu mobilnya udah ditutup pastinya*, sampai akhirnya ia berhenti di sebuah bangku taman di pinggir danau buatan di taman itu.

Rio duduk di sana. Lama sekali ia termenung sambil sesekali melihat jam tangan hitamnya. Pukul 22.30 malam. ‘Pantes taman sepi. Udah malem banget kayak gini. Bagus kalo sepi. Jadinya gue bisa berpikir lebih bebas lagi, tanpa diganggu orang tua itu.’ pikir Rio.

Sekali lagi, Rio melihat ke arah jam tangannya. Saat ia melihat lagi ke arah di depannya, secara tak sengaja ia melihat sebuah siluet wanita, bukan, gadis berambut hitam panjang, tidak acak-acakan, dan ber-dress putih selutut. Rio langsung membeku di tempatnya. ‘Ga mungkin ada setan. Bertahun-tahun gue numpang mikir di sini, ga pernah gue liat ada setan berkeliaran di sini. Mampus gue,’ rutuk Rio dalam hati saat melihat siluet itu berjalan perlahan menuju ke arahnya. Rio semakin panik, mengira siluet itu benar-benar setan, karena ia (berpikir) tidak melihat kaki siluet itu. Semakin dekat, Rio menutup matanya, mencoba berdoa pada Tuhan agar ia diselamatkan dari siluet misterius itu. Sampai akhirnya,

“Loh, Yo? Ngapain lo di sini? Sambil takut gitu,” siluet itu berkata pada Rio. Tiba-tiba Rio berteriak kencang karena kaget siluet itu berbicara padanya.

“Ampun.. ampun, tan setan, gue janji ga bakal ngerjain anak-anak baru di sekolah gue lagi.. Ampun.. Ampun..” Rio berkata dengan nada ketakutan terpancar jelas di setiap kata yang ia ucapkan.

“Hah? Setan? Maksudnya?” siluet itu bergumam. Kemudian dengan tepukan yang agak keras, siluet itu menepuk pundak Rio. Lagi-lagi Rio menjerit.

“Aduuh Yo.. Ga usah teriak-teriak gitu deh.. Berisik tau.. Sivia nih!” siluet yang mengaku bernama Sivia itu mencoba meyakinkan Rio dengan mengguncang-guncangkan bahu Rio perlahan agar Rio percaya.

Pelan-pelan Rio membuka matanya dan melihat Sivia berdiri membayanginya dengan kedua tangan di pundaknya.

“Yaah, kirain setan beneran..” Rio bernapas lega sambil membenarkan posisi duduknya. Sivia memindahkan tangannya dari pundak Rio dan duduk di sebelah Rio.

“Lo kenapa sih Yo?” Sivia menanyai Rio setelah Rio cukup tenang.

“Ga pa-pa. Kaget aja. Gue kira lo setan,”

“Gue bukan setan. Emangnya apa sih, yang bikin lo mikir gue tuh setan?”

“Rambut lo yang panjang itu, trus lo pake dress putih gitu, trus gue kira lo melayang, ternyata pake Converse item..” kata Rio sambil melirik ke bawahnya, ke arah Converse hitam yang dipakai Sivia.

“Maaf deh. Gue ga bermaksud,”

“Ga pa-pa. Lo ngapain sih, di sini?”

“Merenung. Biasalah. Lo sendiri?”

“Sama. Tapi kok gue ga liat lo yak?”

“Gue tadi di atas pohon itu. Trus gue ngeliat ada orang dateng kesini. Ya gue datengin aja. Ga taunya elo,”

“Lo ngapain di atas pohon? Bertranformasi jadi beruk yak?”

“Ga lah. Masa beruk cakep sih?”

“Elo? Cakep? Ngimpi kali..”

“Biarin,”

Sesaat mereka termenung, tenggelam dalam pikiran mereka masing. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari kejauhan. Rio dan Sivia dengan cepat menengadah, melihat ke arah langit di atas mereka yang menggelap karena tidak hanya sudah sangat malam, tapi juga karena akan hujan.

“Mo ujan nih, Vi. Lo ga pulang?” tanya Rio.

“Harusnya gue udah pulang dari tadi.” jawab Sivia.

“Mm, mau gue anterin?”

“Beneran? Baik bener. Tumben,”

“Daripada gue kena semprot Alvin, mending gue anterin lo pulang.”

“Emang Kak Alvin sebegitu nakutinnya yak?”

“Ga juga sih.” Mereka berdua berdiri, beranjak pergi meninggalkan tempat mereka tadi. Menuju mobil Rio.

“Gue penasaran deh, Vi,”

“Penasaran kenapa?”

“Kenapa lo manggil Alvin pake ‘kak’? kalian kan seumuran,”

“Gue kira dia lebih tua dari gue waktu kita ketemu 11 tahun lalu. Jadinya gue panggil dia pake embel-embel ‘kak’. Ga taunya keterusan sampe sekarang.” jelas Sivia.

“11 tahun? Lama banget,”

“Yep.”

“Berarti nyokap lo kawin lagi gitu?”

“Iyelah. Bokap gue meninggal waktu gue umur 3 tahun.”

“Eh, sori. Gue ga tau. Turut berduka cita ya. Kalo boleh tau, meninggal karena apa?”

“Ga pa-pa. Beliau itu tentara. Waktu ditugasin ke Palestina, ga taunya beliau gugur pas melaksanakan tugasnya.”

“Oh, gitu. Lo ga sedih?”

“Waktu itu gue ga ngerti kenapa nyokap nangis-nangis gitu. Ya gue ikutan nangis aja. Setahun kemudian, baru gue tau bokap udah ga ada. Saat itu, nyokap udah pacaran sama bokapnya Alvin. Mereka ketemu pas gue sama nyokap lagi di Prancis. Setahun kemudian mereka nikah. Gue dikenalin sama Kak Alvin sebulan setelah mereka nikah. Selama 11 tahun gue tinggal di Amrik, Prancis dan Indonesia, sampai akhirnya seminggu yang lalu nyokap meninggal karena serangan jantung. Akhirnya gue dikirim sama bokap ke sini, ke Indonesia, tinggal di rumahnya kak Alvin, permanently. Dan begitulah ceritanya,” Sivia melenggang santai ke arah Civic Si Rio, meninggalkan Rio yang terbengong-bengong tidak percaya setelah mendengar cerita panjang Sivia barusan.

‘Berarti si Sivia itu yatim piatu dong? Lebih parah dari gue. Tapi kenapa dia masih tetep bisa senyum ceria kayak gitu ya? Aneh,’


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


mungkin cukup. sudah cukup panjangkah??

kalo belom, besok-besok saya post-in yang lebih panjangan dah..

makasih sebelumnya..

salam,

Umi Sa'adah


Please leave a comment on this blog

or on my Facebook account : Umi Sa'adah

or on my twitter account : @umisaadah27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar