Laman

Jumat, 01 Juli 2011

When It Rains [part. 6]

sudah sebulan sjk gue ngepost pt.5.
ini yang keenamnya nih. lama2 makin gaje aja nih crita.
yaudah, monggo dibaca aja,
gue ga mau banyak omong.
enjoyy :)

----------------------------------------------------------------------------------------------------

Sabtu, 6.45 p.m.

@Kediaman Sindhunata

Rio menghentikan Jaguar-nya dengan sangat mulus, layaknya seorang profesional, di depan Kediaman Sindhunata. Kemudian ia bengong sebentar di dalam mobilnya, berpikir apakah ia sudah cukup ganteng ataukah belum. Setelah meyakinkan diri kalau dia sangat amat teramat sudah ganteng sekali *lebayy jablayy*, lebih ganteng dari tiga sohibnya itu, dengan percaya diri ia keluar dari kendaraannya, dan berjalan pelan namun mantap menuju teras Kediaman Sindhunata. Ia mengulurkan tangan saat sudah sampai di depan bel pintu Kediaman Sindhunata. Saat ia memencetnya, terlonjaklah ia karena mendengar suara bel aneh yang kedengarannya seperti wanita yang berteriak. Sambil mengatur nafasnya yang tak teratur karena bel itu, Rio mengelus-elus dadanya menenangkan diri. ‘Anjrit, gue lupa sama bel yang dipasang sama Om Toni *panggilan akrabnya bokap Sivia-Alvin* ini. Buset, hampir copot dah nih jantung. Ckckck,’ rutuknya dalam hati.

Tak lama, pintu depan terbuka. Dan hadirlah Alvin yang terlihat tampan dengan kemeja merah marun yang dipadu dengan jas dan celana pantalon hitam klasik. Rio buru-buru membandingkan dengan dirinya yang mengenakan kemeja pale purple dan jas dan pantalon yang sama dengan Alvin. ‘Masih gantengan gue.’ komentarnya pede dalam hati sambil sedikit menahan senyum.

“He? Ngapain lo di sini? Ngemis? Ga ada receh. Kartu kredit noh banyak,” kata Alvin asal.

“Ih, sori ye. Ga butuh gue. Udah punya.” balas Rio sekenannya.

“Dih, gaya amat lo, Yo. Gue beneran nih. Lo ngapain kesini? Jemput si Via?” tanya Alvin.

Sedikit lebih serius sekarang. Ia benar-benar penasaran ada apa gerangan Rio ke rumahnya.

“Iya, gue mo jemput si Via. Udah siap belom dianya?”

“Oh, ngobrol kek dari tadi. Tau juga deh tuh. Gue dari tadi juga nungguin dia soalnya.”

“Berarti belom siap. Gue tunggu deh,”

“Ya udah. Masuk gih,”

“Trims.” Mereka berdua pun memasuki rumah Alvin. Rio langsung duduk gitu aja, ga ijin atau apa, dan ngambil sebuah majalah fashion pria yang tergeletak di atas meja tamu Keluarga Sindhunata begitu sampai di ruang tamu *serasa di rumah sendiri deh tuh si Rio*. Alvin langsung ngeloyor ke dapur, mengambil minuman untuk dirinya dan Rio.

Alvin meletakkan minuman yang dibawanya di meja tamu, dan melakukan hal yang sama dengan Rio sesaat setelah mendudukkan pantatnya di atas sofa di ruang tamu rumahnya. Namun yang berbeda adalah Alvin membaca majalah kuliner dan Rio membaca majalah fashion pria.

“Baca apaan lo?” tanya Rio, tanpa mengalihkan pandangan dari majalah yang tengah ia baca.

“Kuliner. Ngiler gue. Lo?” jawab Alvin, pun tanpa mengalihkan pandangannya dari majalah yang dibacanya.

“Fashion cowok.”

“Punya Ray/Cakka.” kata Rio dan Alvin berbarengan. Dan kemudian ngakak bersama. Namun tawa mereka harus terinterupsi oleh panggilan mengenaskan dari Sivia, yang secara tiba-tiba muncul di tengah tangga.

“Kak, balikin kagak jepit Via?!?!?! Via aduin ke papa nih?!?!” ancam Sivia sadis.

“Jepit apaan sih?” tanya Alvin tanpa dosa. Ia sebenarnya tahu apa maksud Sivia dan di mana jepitnya itu berada. Namun ia berpura-pura tidak tahu.

“Kaaakk...” rayu Sivia.

“Kakak ga tau, Vi. Cari dulu di kamar kamu sana.”

“Udah kak. Ga ketemu,”

“Cari yang bener. Ntar juga ketemu.” Sivia manyun, kemudian menaiki tangga menuju kamarnya. Dengan bodohnya mencari lagi jepit rambutnya.

Rio, yang juga penasaran di mana jepit rambut Sivia disembunyikan, menanyakan hal ini kepada Alvin.

“Lo umpetin di mana sih, Vin, emangnya?” tanya Rio.

“Gue bawa. Nih,” Alvin menyodorkan sebuah jepit renda berwarna krem pada Rio. Setelah meneliti sebentar, barulah ia sadar kalau ternyata jepit itu adalah jepit yang dibeli Sivia saat Sivia memaksanya menemaninya ke toko aksesoris perempuan. Rio geli sendiri mengingat dirinya sendiri yang ditertawai pelayan dan pengunjung toko yang kebanyakan memang berjenis kelamin perempuan.

“Nape lo senyam-senyum gitu? Stres mikirin utang?” tanya Alvin sekenannya.

“Ga. Cuma inget sesuatu aja. Gue boleh balikin ini ke Sivia ga?” jawab/tanya Rio.

“Boleh sih. Tapi jangan bilang kalo gue yang ngumpetin. Awas aja lo kalo sampe bilang,”

“Iye iye, kagak..” Rio beranjak dari tempat duduknya, menaiki tangga menuju kamar Sivia. Tanpa diberitahu, ia tahu betul yang mana kamar Sivia.

Rio mengetuk tiga kali pintu jati bertuliskan ‘Mademoiselle Me’ milik Sivia. Terdengar suara buku-buku yang terjatuh sesaat sebelum Sivia membuka pintu kamarnya.

“Ada apaan??” tanya Sivia galak sambil menepuk-nepuk rok putih rendanya yang sedikit kotor karena debu.

“Katanya elo mau pake pale purple. Kok malah pake abu putih gitu?” Rio tanya balik.

“Iya, nanti. Gue baru nyiapin yang musti gue pake dulu. Harusnya gue udah ganti. Tapi gara-gara jepit sialan yang diumpetin Kak Alvin belum ketemu, gue belom bisa ganti.” jawab Sivia. Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya, kembali mencari jepitnya.

“Perlu bantuan?” Rio menawarkan.

“Ya perlu lah. Lo cari di deket sofa. Gue mo ngubek-ubek laci rias gue lagi.” Perintah Sivia. Rio hanya mengangguk dan melakukan apa yang diperintahkan Sivia. Rio berjongkok, berpura-pura mencari jepit Sivia, dan mengeluarkan jepit yang diberikan padanya tadi oleh Alvin dari saku dalam jasnya. Sambil berpura-pura senang, ia berteriak,

“Ketemu!!” Sivia langsung menengok begitu mendengar teriakan Rio.

“Mana mana?” tanyanya tidak sabar, dan menyambar jepit renda putihnya begitu Rio menunjukkannya padanya.

“Wuiiih, hebat lo, Yo. Nemu di mana?” tanyanya sumringah.

“Di sela sofa itu.”

“Makasih banyak ya, Yo.. Gue terbantu banget,”

“Iya iya, mending sekarang lo mandi, ganti baju trus siap-siap aja deh. Lo ga pengen telat kan?”

“Iya. Makasih lagi ya, Yo. Sekarang, bisa ga lo keluar dulu? Gue mo ganti baju.” usir Sivia dengan sopan.

“Gue boleh liat ga?”

“Sinting lo!! Kagak!! Keluarr!!”

“Yaela, becanda doang kale,”

Sivia mendorong Rio keluar kamarnya, dan menutup serta mengunci pintunya sekalian agar Rio tidak masuk ke kamarnya. Kemudian mengambil handuk untuk membersihkan dirinya dan bersiap-siap seperti yang dikatakan Rio tadi.

“Gue gorok tuh ntar, si Kak Alvin,” gumamnya pelan saat memasuki kamar mandi di kamarnya.

# # # # #

“Ya enggak lah! Sebenernya tuh ketua ama wakil ga boleh ikut festival. Lo inget kagak Kak Kiki, yang dulu jadi ketua GEO?” jelas Alvin.

“Iye, iye inget. Tapi masa ga bisa sih bikin pengecualian? Buat taun ini aja kok,” pinta Rio.

“Buat apa sih, Yo, emangnya?” tanya Ify, yang baru saja datang dijemput Alvin tadi.

“Gue mutusin buat ikut festival. Dan gue butuh bantuannya si Ray, Cakka, ama si Alvin Blangsak satu ini.” Jelas Rio.

“Konsep lo/kamu gimana emang?” tanya Alvin dan Ify berbarengan.

“Eee, kayak orkestra gitu. Cuma ada band-nya juga.” Jawab Rio.

“Trus, guna gue, Ray, ama Cakka buat apaan?” tanya Alvin lagi.

“Cakka ntar bakal pegang gitar, Ray di drum, kayak biasa, trus lo di bassnya. Lo tau lagunya Tompi yang Tak Pernah Setengah Hati itu kan?”

“Iye tau. Cuma gitu doang nih?”

“Ga juga sih. Maksimal boleh nampilin berapa lagu Fy?” tanya Rio pada Ify.

“Mmm, maksimal 6 lagu, kalo di mix. Kalo satu-satu, ya 4. Kenapa?” jawab Ify setelah menyeruput jus jeruk yang disuguhkan padanya.

“Engga. Nanya aja.”

“Payah lo.”

Saat itu, Rio, Alvin dan Ify sedang berbincang-bincang mengenai rencana Rio untuk—akhirnya—menampilkan sesuatu saat festival, sambil menunggu Sivia selesai dengan segala persiapannya yang memang agak memakan waktu. Banyak memang yang menantikan penampilan Rio saat festival nanti, namun lebih banyak lagi yang kecewa karena Rio memutuskan untuk tidak menampilkan apa-apa, karena posisinya sebagai ketua GV, yang memang akhir-akhir ini sibuk latihan untuk festival. Mungkin akan lebih banyak lagi yang gembira apabila mereka mendengar rencana Rio ini.

Dan pembicaraan mereka bertiga ini harus terhenti karena Sivia, yang sejak tadi ditunggu-tunggu kedatangannya, akhirnya turun juga melalui tangga, menuju ruang tamu.

“Aaah, there you go, Missy. How was your preparation? All set?” (Aaah, akhirnya, Nona. Bagaimana persiapan Anda? Siapkah semua?) tanya Alvin dengan nada sarkatis khasnya.

“Oh, shut up. Like you don’t know me,” (Oh, diem aja deh. Kayak ga tau gue aja.) jawab Sivia tak kalah sarkatisnya.

“Ify!!” sapa Sivia pada Ify, dan menghampirinya untuk kemudian ber-cipika-cipiki dengannya.

“Cieeh, cantik banget kamu, Vi..” puji Ify. Sivia tersipu karenanya.

“Makasih, Ippy. Kamu juga cantik kok.” Sivia balik memuji Ify. Sivia mengalihkan pandangannya dari Ify ke Rio yang ternyata sedang bengong-bengong ria menatapnya. Sivia berpura-pura acuh tak acuh melihatnya dan berusaha menyembunyikan semburat merah muda yang mulai menyembul di pipinya, yang ternyata terselamatkan berkat blush on merah muda yang ia sapukan pada pipinya dan ajakan kakaknya untuk segera berangkat menuju tempat perhelatan acara.

“Udah siap kan? Berangkat yok, keburu dimarahin bokap entar,” ajak Alvin. Ia beranjak dari tempatnya dan membereskan gelas-gelas yang berserakan (?) di meja tamu. Saat ia kembali, ia mendapati Rio yang—masih—terbengong-bengong mengagumi kecantikan Sivia yang terpancar secara alami dengan make up natural yet simple yang dibubuhkan pada wajah imutnya.

Dengan sigap, Alvin menarik lengan Rio, yang berhasil membuatnya kembali ke dunia nyata dan mengambil kunci Jaguar milik Rio dan kunci Aston Martin miliknya dari atas meja tamu. Rio tergopoh-goopoh mengikuti langkah-langkah mantap Alvin dan berhasil menyamai langkah Alvin setelah melepaskan cengkeraman Alvin dari lengannya.

“Nih kunci lo. Jangan bengong pas nyetir. Kalo sampe si Via sampe kenapa-napa, walo cuma dikit, gue gorok lo. Ngerti?” Alvin berpesan (lebih mirip mengancam sebenarnya). Rio mengangguk cuek dan mengambil kunci mobilnya dari tangan Alvin.

Alvin mengulurkan tangannya ke arah Ify, dan dengan senang hati Ify menyambutnya. Mereka berdua berjalan berdampingan, dengan mesra. Kemudian, Alvin membukakan pintu penumpang untuk Ify. Sangat gentleman, dan juga sangat kontras dengan apa yang dilakukan oleh Sivia-Rio.

Rio mengulurkan tangannya, dan dengan sinisnya, Sivia menolaknya. Di sini terlihat seperti Rio mencontek apa yang dilakukan Alvin tadi. Padahal sebenarnya Rio yang mengajari Alvin behaviour seorang gentleman yang diajarkan almarhumah ibunya padanya. Dengan berat hati, Rio berlaku seperti layaknya pelayan pada nona besarnya, dengan mempersilahkan Sivia untuk berjalan terlebih dahulu menuju mobil Rio, dan Rio mengikutinya dari belakang dengan dua tangan terkait di belakang tubuhnya. Setelah meng-unlock mobilnya, dengan sangat gentleman-nya, Rio membukakan pintu penumpang untuk Sivia. Kemudian berlari pelan menuju pintu kemudi, dan masuk ke dalam kursi kemudi. Men-starter mesin mobilnya, dan melesat beberapa saat setelah mobilnya menyala.

@Hotel Janasia Krainal, 7.03 pm

Dan sampailah Alvin-Ify dan Rio-Sivia di tempat acara malam itu berlangsung. Untung saja mereka tidak terlambat.

Sesampainya di tempat acara, mereka langsung berpisah. Alvin dan Ify melancarkan aksi tebar pesona mereka pada tamu-tamu yang hadir. Sedangkan Rio dan Sivia? Mereka langsung mencari meja-meja panjang penuh masakan untuk mencicipi berbagai macam masakan yang tersedia. Yah, memang rencana ini sebenarnya sudah direncanakan. Saat perjalanan mereka menuju Hotel Janasia Krainal ini.

#FLASHBACK

“Adoooohhh....” Sivia mengaduh-aduh sambil memegangi perutnya erat-erat.

“Kenapa Vi?” tanya Rio penasaran.

“Perut gue..” jawab Sivia, sambil sesekali mengaduh-aduh.

“Kenapa perut lo? Sakit?” tanya Rio lagi. Sivia hanya mengangguk pelan dan meremas perutnya lebih erat lagi.

“Lo punya maag emangnya?”

“Bukan maag..”

“Trus kenape?? Dapet?”

“I’ve got my period 2 weeks agoo..” (gue udah dapet 2 minggu yang laluu..)

“Lah, trus napa dong?” Rio bolak-balik bertanya sambil liat-liat jalan, takut nabrak dan khawatir dengan Sivia yang terus mengaduh.

“Guee... lapeeerrr...”

DOENGGG...

Rio kaget mendengar jawaban Sivia barusan. ‘Jadi dari tadi aduh, aduh mulu tuh karena laper??’ pikir Rio cengo.

“Yaelah, laper doang ternyata. Kirain kenapa. Bikin kuatir orang aja lo Vi,”

“Hehehe.. Maap deh,”

“Iye iye, gue maapin. Gini aja deh. Kalo misal ntar udah nyampe di JK (Janasia Krainal), kita langsung ke meja makanan aja gimana? Yang jadi kokinya kan si Cakka ama keluarganya tuh. Makanannya pasti dijamin enak. Jadinya, paling nggak lo udah agak kenyang-an sebelom dinner-nya mulai. Gimana? Asik ga tuh?”

Sivia terlihat berpikir sebentar, dan kemudian berkata,

“Oke. Pinter juga lo ternyata.”

“Yeeh, kalo gue ga pinter, gue ga bakal bisa masuk GIHS terkenal itu.”

“Hehehehe, iya juga yak..” Pembicaraan mereka berdua pun berakhir karena mereka telah sampai di tempat. Dan siap untuk melancarkan rencana mereka.

#FLASHBACK END

Dan di sinilah Rio dan Sivia sekarang. Di depan meja panjang dengan banyak makanan (kebanyakan makanan sekali lahap) tersaji. Memang hebat Keluarga Nuraga dalam urusan masak memasak.

Sivia mengambil sebuah piring kecil dan mulai berjalan menyusuri meja panjang tersebut. Ia mengambil beberapa potong penganan mungil sekali lahap. Seperti mini chocolate muffin, mini apple pie, mini pan bagnat, dan segala penganan berjudul mini lainnya. Rio, yang sedari tadi hanya memandangi Sivia mengambili makanan, mulai mengikuti apa yang dilakukan Sivia, minus mengambil piring kecil.

Ia memasukkan sepotong mini frozen pudding ke dalam mulutnya dan sepotong bakpia mungil setelah menelan frozen pudding yang ia makan sebelumnya. Kemudian menghampiri Sivia yang sedang sibuk menjejalkan sebuah mini pan bagnat agar muat dalam mulutnya. Dan akhirnya pan bagnat itu muat juga dalam mulut Sivia. Tersungging senyum kemenangan pada bibir Sivia yang menggembung karena pan bagnat itu. Rio terkikik pelan melihatnya. Sivia, yang sadar bahwa dirinya kini tidak sendiri, mendelik tajam pada Rio karena mengganggu acara eksekusinya pada makanan-makanan sekali lahap di piring kecilnya.

“Oppo loo kottowwo-ttowwo??” (Apa lo ketawa-tawa??) Sivia nyolot dengan mulutnya yang penuh oleh pan bagnat yang belum tertelan habis. Dan Rio tertawa geli mendengarnya.

“Telen dulu napa? Keselek ntar lo,” kata Rio menasehati disela-sela tawanya.

“Iye, iye. Udah gue telen nih. Bawel amat lo,” balas Sivia setelah menelan pan bagnat-nya.

“Masalahnya, Vi, kalo lo sampe keselek, gue yang mati.”

“Hah? Kok bisa sih? Ga mungkin..”

“Ya mungkin aja kalee..”

“PENGUMUMAN. ACARA 25TH ANNIVERSARY OF ANTHONY BOOKS AND XANDERLAND RECORDS AKAN SEGERA DIMULAI. KEPADA PARA TAMU, HARAP SEGERA MENUJU TEMPAT MASING-MASING. TERIMA KASIH.” Saat pengumuman selesai diumumkan, Rio dan Sivia langsung berpandangan dengan mata terbelalak.

“Mampus!!” teriak Rio dan Sivia. Refleks, Rio menarik tangan Sivia, menuju tempat mereka. Sesampainya di sana, mereka segera duduk di sebuah meja yang tidak terlalu besar, yang telah ditempati oleh Keluarga Sindhunata dan Keluarga Haling.

# # # # #

“Dari mana aja lo berdua?” tanya Alvin, setelah menenggak air putih yang berada di hadapannya.

“Ngemil.” Jawab Rio dan Sivia berbarengan.

“Ngemil apa ngembat cemilan?”

“Eee, dua-duanya sih. Hehehe..” Alvin menggelengkan kepalanya, heran dengan kelakuan sahabat dan adiknya itu yang memang punya hobi sama. Makan.

“Sssstt, udah udah. Udah mau mulai nih acaranya,” Ify menengahi. Tepat dengan akhir ucapan Ify barusan, Pak Anthony berdiri dari kursinya. Kemudian mengetuk-ngetukkan sebuah sendok kecil pada gelas sampanye miliknya. Setelah berdehem-dehem, ia pun membuka acaranya.

“Ahem. Good evening, ladies and gentlemen. Welcome and thank you for coming to 25th Anniversary of Anthony Books and Xanderland Records. It is a pleasure to see you folks here. So, blablabla...” Basa basi. Seperti biasanya.

5 menit berlalu. Dan sepertinya Pak Anthony belum menunjukkan tanda-tanda bahwa ia akan mengakhiri pidatonya. Terlihat wajah bosan tergambar jelas di wajah Sivia dan Rio.

“Kapan selesenya sih? Udah laper gue,” gumam Rio pelan di telinga Sivia, yang sukses membuat Sivia terkikik pelan. Entah karena keluhan Rio atau karena hembusan nafas Rio yang menerpa daun telinganya.

“Hihihi, tunggu aja. Ntar juga selese.” Balas Sivia. Dan benar saja. Pak Anthony mengakhiri pidatonya dan memanggil pelayan-pelayan masuk ke ruangan untuk memulai jamuan makan malam.

Satu persatu para pelayan berseragam sama, putih-putih, dan bersepatu roda membagikan buku menu ke setiap meja. Dan buku menu ini sedikit berbeda dengan buku menu lainnya. Rio, Alvin, Ify, Sivia, dan tamu-tamu lain tampaknya juga terkejut melihat penampilan buku menu satu ini. Ya, di dalamnya bukan terdapat kertas bertuliskan menu, namun iPad yang langsung menampilkan menu makan malam kala itu.

Appetizer :

Quiche Lorraine

Foie Gras

Apple Pie

Main Dish :

Pasta Primavera

Fettuccine Alfredo

Angel Hair Al Pesto

Pan Bagnat

Coq Au Vin

Beouf Bourguignon

Confit Du Canard

Dessert :

Mousse Au Chocolat

Tartufo

Plain Berry Yoghurt

Rio dan Sivia terbelalak kaget melihat menu yang ditampilkan pada layar iPad itu. Benarkah itu semua nyata? Atau hanya mimpi semata?

“Vi, ini beneran makanannya Itali ama Prancis semua?” tanya Rio heran pada Sivia.

“Meneketehe. Dari namanya sih, Itali ama Prancis deh. Tau deh tuh bokap gue,” jawab Sivia tak kalah heran, sambil melirik ke arah ayahnya yang sedang memilih makanan-makanan apa saja yang akan disantapnya malam itu dengan santainya. Rio ikut-ikutan melirik ke arah sobat karib ayahnya itu.

“Ckckckck...” Rio dan Sivia berdecak heran berbarengan. Kemudian entah ada angin apa, mereka berdua terkikik geli. Kemudian cepat-cepat memilih menu yang tersedia.

“Ck, dessert-nya ga ada yang engga manis apa? Heran gue,” Rio merutuk kesal sambil meletakkan buku menunya di atas meja.

“Halah, tepu lo Yo. Kayak ga pernah liat dessert aja lo.”

“Dih, suka-suka gue dong. Lagian gue ga bisa sama yang terlalu manis.”

“Ya uda, lo ambil Berry Yoghurt-nya aja kalo gitu.”

“Ogah. Gue ga suka berry. Asem.”

“Manja banget sih lo. Kayak cewek,”

“Biarin.”

“Trus tadi lo ambil apa?”

“Mousse Au Chocolat.”

“Lah, itu kan coklat. Kok lo ambil sih?”

“Biarin. Ntar pokoknya pas dessert-nya dateng gue mo kabur.”

“Eeh, kok ga bilang-bilang sih? Gue ngikut dong.. Ya, Yo, ya?? Ya??” Sivia memohon-mohon pada Rio dengan muka belas kasihannya yang khas. Tak terhankan, rona merah muda menyembul pada pipi Rio. Ia berdehem untuk menyembunyikan kegrogiannya sebelum menyetujui permohonan Sivia.

“Iye, manis.. Ntar kalo udah waktunya, lo pura-pura ke kamar mandi aja. Trus pas lo kelamaan, gue bakalan nyusulin elo. Trus, kita tinggal kabur deh. Sounds fun, right?” jelas Rio sambil tersenyum setan. Memang ahli sekali dirinya dalam urusan melarikan diri.

“Iye sih. Tapi, kita mo kabur kemana?”

“Wherever you wanna go, Miss Sindhunata.” Rio tersenyum setan bersama dengan Sivia. Terlihat jahat memang. Namun, untuk kesenangan, apapun akan mereka lakukan.

20 menit kemudian...

Rio melahap potongan Pan Bagnat terakhirnya, kemudian menyesap non-alcoholic coctail-nya. Melihat ke arah dapur dan jam tangannya bergantian. ‘8 menit lagi,’ pikirnya.

Beberapa saat kemudian, pelayan-pelayan datang membawa dessert malam itu. Saat melihat Mousse Au Chocolat yang diletakkan di hadapannya, serta merta Rio mengernyit jijik. Sepertinya ia lebih baik memakan Chitato segala rasa daripada memakan benda berwarna coklat kental yang ditaruh dalam mangkuk kecil berhiaskan potongan kecil cherry dan dua lembar daun mint itu.

“Why don’t you eat that, Aditya?” (kenapa tidak kamu makan itu, Aditya?)tanya Ayah Rio keheranan melihat Mousse Au Chocolat yang hanya dipandangi oleh Rio saja.

“Uuhh, don’t call me Aditya, please. And you know I hate sweets.” (uuhh, mohon jangan panggil aku Aditya. Dan, Papa tau kalau aku nggak suka yang manis-manis.)

“I thought you only hate sweets. Berarti ga termasuk coklat kan?”(kukira kamu hanya tidak suka yang manis-manis.)

“Oh yeah, it does. What do you think it tastes? Salty?” (oh, ya, itu termasuk. Papa pikir rasanya apa? Asin?) Rio memandang ayahnya dengan tatapan yang seolah-olah berkata “plis-dong-jangan-jadi-orang-bego-gitu-deh”.

“Don’t look at me like that, young man.” (jangan melihatku seperti itu, anak muda.) Ayah Rio melanjutkan menyantap Berry Yoghurt-nya santai seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Sivia, yang sedari tadi memperhatikan dengan pandangan prihatin, menjawil lengan Rio. Menanyakan apakah ini saatnya untuk kabur atau masih nanti.

“Yo, sekarang?” tanya Sivia.

“Eh, iya. Buruan sana,” Sivia mengangguk setuju. Kemudian ia terlihat berbisik pada ayahnya. Mungkin izin, atau apa pun itu, Rio tidak tahu. Sivia beranjak dari kursinya, menuju ke arah kamar mandi. Begitu ia hilang dari pandangan Rio, Rio segera beranjak, melangkah menuju kamar mandi.

“Mau kemana lo Yo?” tanya Alvin sebelum Rio meninggalkan meja tempat makan malamnya.

“Kamar mandi.” Rio menjawab dengan singkat, padat dan jelas, dan langsung melesat ke kamar mandi sebelum Alvin sempat membuka mulutnya untuk bertanya lagi.

Begitu Rio yakin bahwa ia telah hilang dari pandangan keluarga Sivia dan ayahnya, Rio segera merubah arahnya menuju pintu darurat yang berada di dekat kamar mandi itu yang lansung terhubung dengan taman di hotel termewah itu. Ia celingak-celinguk, mencari-cari sosok gadis berambut panjang dengan dress ungu pucat dan cardigan hitam. Dan akhirnya menemukan sosok itu sedang duduk di salah satu kursi kayu panjang, temenung memandang langit malam yang berhiaskan butir-butir bintang yang menenangkan.

Rio menghampiri Sivia pelan-pelan dan berdehem pelan di telinga Sivia, yang ternyata sukses membuatnya terlonjak kaget.

“Iiihh!! Nyebelin banget sih lo! Hobi banget ngagetin orang..” omel Sivia sambil memanyunkan bibirnya. Lagi-lagi membuat Rio terhibur dengan bibir manyun Sivia itu.

“Yeeh, malah ketawa..” gumam Sivia pelan. Rio semakin geli melihat ekspresi Sivia barusan. Tak pernah ia merasa sesenang ini hanya karena memandang wajah seorang gadis. Apalagi bila gadis itu seistimewa seorang Sivia Azizah Sindhunata.

Sivia kembali duduk di tempatnya. Kemudian melanjutkan kegiatan yang dilakukannya sebelum kedatangan Rio. Memandang bintang.

“Lo suka mandangin bintang kayak gini ya?” tanya Rio setelah beberapa saat terdiam dalam kesunyian malam. Sivia menghela nafasnya sebelum menjawab pertanyaan Rio.

“Yep. Apalagi kalo lagi ujan,”

“Maksudnya? Emang ada bintang pas ujan?”

“Hmm, kedengerennya emang mustahil, tapi lo harus percaya. Gue pernah liat satu bintang menyala dengan terangnya, pas ujan. Gue lupa kapan. Tapi yang pasti bintang itu berhasil ngabulin permintaan gue.”

“Apaan? Kalo boleh tau,”

“Apanya?”

“Permintaan lo,”

“Oh. Emm, permintaan gue itu gue pengen ketemu sama cowok yang pernah gue suka banget. Sayang malah. Cowok yang ngiket janjinya sama gue buat bakal nikahin gue kalo udah gede ntar. Waktu gue berharap, waktu gue nyatain harapan gue ini ke bintang itu, ga taunya beberapa tahun kemudian, harapan itu terkabul. Gue ketemu sama dia.”

“Dia siapa?”

“Suatu saat lo juga bakal ing—tahu, maksud gue,” Sivia tersenyum meyakinkan, cukup meyakinkan untuk Rio agar tidak bertanya lebih jauh lagi. Kemudian Sivia bangkit berdiri, melepas high heels yang membuat kaki-kakinya pegal dan sedikit terkejut saat telapak kakinya menyentuh rumput-rumput jepang basah yang ditanam di taman itu.

Rio memandang Sivia bingung. Apa gerangan yang akan dilakukan oleh Sivia?

“Mo kemana neng?” tanya Rio bingung. Benar-benar bingung.

“Katanya mau kabur. Ya ayo. Gue udah tau mo kemana nih,” jawab Sivia santai. Sejurus kemudian mengulurkan tangannya yang tidak membawa high heels-nya. Dengan senang hati, Rio menyambut uluran tangan Sivia, dan mereka pun kabur. Ke tempat penuh kenangan dua anak manusia itu.

# # # # #

@Pantai Manira Semarang, 8.47 pm.

Terdengar tawa gembira dari dua anak manusia yang sedang berlari-lari, mengejar satu sama lain di pantai berhias debur ombak yang tidak terlalu kencang malam itu. Sesekali candaan terlontar dari mulut sang pemuda. Dan sejurus kemudian kikik geli dan tak percaya dari sang gadis menyeruak atmosfer Pantai Manira yang kebetulan sedang kosong melompong, tak ada pengunjung.

Entah karena terlalu lelah atau karena sudah kehabisan candaan, mereka berdua akhirnya menyerah. Mereka duduk di hamparan pasir kering yang agak jauh dari garis batas ombak pasang. Sambil mengatur nafas mereka yang tidak teratur sehabis kejar-kejaran tadi, sesekali kikik geli keluar dari bibir sang gadis.

“Kenape sih lo? Ketawa mulu dari tadi. Apa yang lucu coba??” tanya sang pemuda, Rio, heran.

“Ya gapapa. Hihihi... abis lo lucu sih, Yo. Hahahaha....” jawab gadis itu, Sivia, dengan diselingi kikik geli entah karena apa.

“Lah, gue emang udah lucu dari lahir kali!” Rio berkata dengan pedenya sambil menepuk-nepuk dadanya bangga.

“Duile, pedenya si bapak satu ini.. Ckckckckc,” Sivia menggeleng sok dramatis. Kemudian tertawa lagi. Kali ini Rio juga ikut tertawa.

“Sumpah, Vi. Gue ga pernah ketawa selepas ini. Bahagia selepas ini. Thanks anyway,”

“Yaela, biasa aja kali, Yo. Kayak ama siapa aje lo,”

“Tapi beneran deh, Vi. Makasih banyak yak,” Sivia terlihat tersipu saat mendengar ucapan terima kasih kedua dari Rio ini.

“Yoi, yoi. Sama-sama. Oiya, gue boleh tanya sesuatu?”

“Boleh aja. Apaan?”

“Kata Ray, lo ga akur sama bokap lo. Kenapa? Kalo boleh tau,”

Rio terlihat berpikir keras. Mungkin memikirkan apakah seharusnya ia menjawab pertanyaan Sivia atau tidak. Namun dengan sangat berani, ia pun memustuskan untuk menjawab, ya. YA.

“Lo boleh tau kok. Lo mungkin inget ini ato mungkin aja udah lupa. Nyokap gue meninggal 9 tahun lalu. Seinget gue, lo juga ada di pemakamannya. Bareng sama Alvin, Om Toni, Ify, Cakka, Ray, Shilla, Dea, dan yang laen-laen. Guue ga terlalu inget. Lo mungkin ato ga pernah denger cerita ini. Nyokap gue meninggal karena kanker paru-paru. Lo tau kalo bokap gue perokok aktif?” Sivia mengangguk semangat. Jelas ia tahu kebiasaan sahabat karib ayahnya ini. “Gue pikir waktu itu, nyokap meninggal karena kebanyakan ngirup racun-racun yang dibawa melalui asap rokok yang diisep bokap gue. Sebenernya emang itu salah satu penyebabnya. Ga taunya nyokap kena sesak nafas gara-gara sering debat sama bokap.

“Sekitar 9 tahun yang lalu, nyokap meninggal karena kankernya udah parah. Gue marah banget sama bokap. Karena gue pikir dia yang bikin nyokap gue meninggal. Gue ga pernah sekalipun denger kata maaf dari bokap dan sekalipun gue ga pernah berniat buat maafin bokap. Atau minta maaf sama dia.” cerita Rio panjang lebar. Terlihat kilat-kilat kemarahan dan kesedihan terpancar dari mata coklat bening Rio. Sedang Sivia hanya terdiam. Ia ingat betul cerita Rio ini. Cerita yang sama yang diceritakan padanya 8 tahun yang lalu. Di tempat mereka berada saat ini.

“Ya udahlah, Yo. Ikhlasin aja. Sekali-kali coba buat ngelapangin dada lo atas semua perbuatan bokap lo itu.” nasihat Sivia. Rio melengos mendengar nasihat Sivia barusan. Kemudian menengadahkan kepalanya begitu mendengar guntur menggelegar di langit yang menghitam.

“Mau ujan nih, Vi. Lo mau balik sekarang apa nanti aja?” tanya Rio.

“Nanti aja. Gue mau nikmatin suasana ini dulu.” jawab Sivia santai, kemudian menutup kedua matanya. Menikmati suasana malam yang dingin.

Plekk...

Sebutir air hujan menetes mengenai pipi Sivia. Sivia pun membuka matanya dan langsung saja butir-butir air hujan membasahi bumi, juga Sivia dan Rio yang terdiam termenung di sebelah Sivia. Saat membuka matanya itulah ia menemukan bintang terangnya berbinar-binar dengan bangga walau langit hitam dan butir hujan deras mengelilinginya. Sivia tersenyum bahagia memandangnya.

“Yo, liat deh. Di antara hitam, ada yang bersinar terang. Bintang Evaniza.” kata Sivia sambil menunjuk ke bintang terangnya yang disebut Evaniza itu. Rio mengernyit tak percaya mendengar nama yang disebutkan oleh Sivia.

“Evaniza?” tanya Rio tak percaya.

“Yap. Dulu gue sama temen semasa kecil gue yang namain bintang itu. Evaniza itu dari nama kita. Evan sama Iza. Parah banget ya? Hihihihi..” Sivia terkikik geli mendengar penjelasannya sendiri tentang bintang itu.

“Kayaknya gue tau siapa Evan. Gue kenal siapa Evan. Akrab banget malah.” Kata Rio acuh. Sivia menengok ke arah Rio cepat, memandangnya dengan pandangan menyelidik.

“O ya? Masa sih?” tanya Sivia usil.

“Yap. Udah ah, pulang yok. Masuk angin ntar kita,” ujar Rio asal.

“Iya iya. Dasar blangsak,”

“Heh, lo panggil gue apa barusan, hah? Blangsak? Blangsak darimana coba?? Orang ganteng gini juga,”

“Idiih, najis mugholladoh lo! Weekk!” Sivia menjulurkan lidahnya iseng dan kemudian lari saat Rio akan menjitaknya. Dan dimulailah adegan kejar-kejaran season 2 mereka. Di tengah hujan deras malam itu. Dan bintang terang bernama Evaniza mereka menggantung indah di langit hitam di atas sana.

# # # # #

-----------------------------------------------------------------------------------------------

oke, segitu aja. cukup panjang.
semoga bermanfaat bagi bangsa dan negara (?)
mulai gaje kan?
ya udah, makasih buat yg uda baca.
i appreciate it banget.
thanks all!!!

Please leave any comments on this blog, or on my facebook : Umi Sa'adah, or on my twitter : @umisaadah95. Thanks :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar