Laman

Sabtu, 16 Februari 2013

When It Rains [part. 8]


Drrt.. drrt..

From : TukangTarik
Cip, ke psr malem yok,

Pasar malam? Tumben banget Rio ngajakin ke pasar malam. Ada yang aneh kayaknya. Perlu diselidiki.

From : TukangTarik
Ad yg laen2 jg. Apin aja ikut.
Tapi dy brg Ipoy. Udah berangkat.

Ooh, pantesan rumah sepi banget. Ternyata si tuan muda satu itu sedang kencan bersama sang kekasih di pasar malam entah dimana itu.

To : TukangTarik
Funfair? Which one?
Kyknya ga ada psr malem deh hri ini. D smg.

From : TukangTarik
Bkn d smg. Ungaran.
Alun2. Ikutan yok : )

To : TukangTarik
Jauh ga sih?

From : TukangTarik
Ga. Uda ikutan aj -_-

To : TukangTarik
Iya deh.
Lo jmput gw tapi. Hhe.. :P

From : TukangTarik
Gw uda d rmh lo.
5 mnt lg ga trun, gw tggal.

To : TukangTarik
Iye, iye. Bawel lu ah,

Sivia bergegas mengganti nama kontak Rio dengan TanteRio sebelum mengganti piyama birunya dengan kaos plain white dan skinny jeans hitam. Kemudian ia memasukkan ponselnya ke dalam saku jeansnya dan menyambar cardigan hitam favoritnya dari kursi belajar. Lalu mengambil flat shoes hitam dan keluar terburu-buru dari kamarnya.
Saat ia sampai di ruang tamu,terkejutlah ia saat melihat Rio tengah duduk dengan santainya, telah rapi dengan pakaian yang hampir sama dengannya. Jeans hitam, kaos putih polos, converse hitam dan jaket hitam polos.
“Lah, kok sama sih?” tanya Sivia heran sambil menunjuk dirinya dan Rio bergantian.
“Elaah, gapapa lagi. Udah, ga usah ganti baju. Kita langsung berangkat aja.” kata Rio menyarankan.
“Tapi...” Sivia hendak menyanggah, namun ia tidak cukup cepat.
“Udah, ga usah pake tapi. Eh, lo ada helm ga?” tanya Rio terburu-buru. Ia melirik arlojinya. 18.27. ‘Keburu malem nih,’
“Ada di depan.” jawab Sivia lemas.
“Ya udah. Ayo!” ajak Rio semangat. Ia melenggang mendahului Sivia menuju motor hitam besarnya yang terparkir di halaman kediaman Sindhunata. Sementara Sivia sengaja berjalan agak lambat mengikuti langkah-langkah mantap Rio. Ditatapnya punggung tegap Rio yang semakin menjauh, yang hanya membuatnya tersenyum heran dan mempercepat langkahnya. Ia tahu Rio sudah kesal menungguinya datang dan segera menaiki motornya. Secepatnya berangkat ke pasar malam itu.
Sivia menyambar helm putih yang sering ia pakai saat berangkat sekolah bersama sang kakak dan cepat-cepat menaiki motor Rio.
“Ayo, Yo! Berangkaatt!!!” Sivia mengangkat kepalan tangannya tinggi-tinggi tanda semangat. Rio hanya memandangnya dengan wajah yang seolah-olah mengatakan plis-deh-lo-udah-gede-malu-maluin-aja. Sivia hanya mengeluarkan senyuman tidak berdosanya, yang ternyata bisa membuat Rio menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Kemudian memacu motornya cepat, keluar dari kediaman Sindhunata, menuju Ungaran Funfair entah dimana itu. Menurut pandangan Sivia.

@Ungaran Funfair.
7.02 pm.

“Anjrit ah, Vi... Gue ga mau.. Lo tau kan kalo gue phobia gelap. Plis, Vi... Ogah gue.. Najis ah,” tolak Rio melas sambil menarik-narik tangannya agar lepas dari genggaman tangan Sivia yang—ternyata—cukup kuat juga. Baginya.
“Ih, Yo.. Lo tuh ye.. Cowok kok takut gelap,” komentar Sivia sambil terus menarik-narik Rio. “Ayo ah!!” Dengan paksa, Sivia menyeret Rio menuju wahana permainan di pasar malam itu. Rumah Hantu Sisillia. Begitu judul yang terpampang besar-besar di kayu-kayu yang membentuk seperti sebuah gapura.
Setelah membayar sejumlah uang untuk ditukar dengan tiket masuk, Sivia kembali menarik-narik Rio menuju pintu masuk rumah hantu tersebut. Dan semakin dekat mereka ke pintu masuk, semakin pucat wajah Rio dibuatnya. Awalnya mereka memang dipandu dengan seseorang yang, kemungkinan, panitia pasar malam itu. Namun, setelah beberapa saat mereka memasuki Rumah Hantu Sisillia, pemandu itu harus meninggalkan mereka. Katanya harus cari jalan keluar sendiri. Mampuslah Rio. Harus keliling rumah hantu sialan ini berdua Sivia. Rio benar-benar mengabaikan fakta bahwa ia sekarang sedang berdua bersama Sivia. Ketraumaannya terhadap kegelapan jauh lebih besar sehingga fakta itu tenggelam habis-habisan ditelan trauma Rio.
Sivia berjalan pelan, menuntun Rio dan dirinya agar bisa keluar dari rumah hantu tersebut. Sesekali ia terkikik geli melihat Rio yang ketakutan dan setan-setan palsu yang dibuat panitia pasar malam. Saat akhirnya, momen itu datang juga. Tepat ketika sebuah boneka berbentuk bungkus permen sugus rasa susu terjatuh tiba-tiba di depan mereka.
Refleks, Rio langsung memeluk Sivia dari belakang. Menutup matanya rapat-rapat dan membenamkan wajahnya pada bahu Sivia. Sedang Sivia hanya tertawa terbahak-bahak melihat respon dari Rio yang super ketakutan itu. Pelan-pelan ia melepaskan cengkeraman tangan Rio dari kaus putihnya. Kemudian meraih tangan Rio dan menggenggamnya erat. Menenangkannya sebentar sampai akhirnya ia merangkul tengkuk Rio, membenamkannya lebih dalam pada bahunya. Ia bisa merasakan dingin air mata cowok itu di kausnya. Benar-benar ketakutan ia. Tak peduli berapa umurnya sekarang.
Cepat-cepat Sivia menuju pintu keluar dan langsung menuju bagian pasar malam di mana hampir tidak ada orang di sana begitu ia bisa mendengar ingar-bingar musik dangdut murahan pasar malam.
Segera didudukkannya Rio di atas tempat duduk semen yang ada, membiarkan cowok itu menuntaskan ketakutannya di bahu Sivia. Membiarkan cowok itu merusak kaus putih Sivia. Ia juga sesekali menenangkannya dengan menyanyikan lagu-lagu bernada jazzy yang memang menenangkan.
Setelah beberapa lama, Rio mulai tenang. Ia mengangkat kepalanya sedikit sambil terus mengatur napasnya. Dengan tisu yang dibawanya, Sivia menghapus sisa-sisa air mata Rio. Dengan penuh kesabaran, kekhawatiran dan sambil terus menyanyi, Sivia mengahpusnya perlahan-lahan. Agak sedikit bersalah juga ia melihat Rio ketakutan begini. Walaupun ia tahu sejak dulu Rio memang phobia gelap. Pernah suatu kali Rio dikunciin di kamar mandi, lalu lampunya di matikan. Histeris sekali ia saat itu.
Perlahan namun pasti, Rio tenang. Napasnya kembali teratur dan bulir-bulir air mata tidak lagi berjatuhan. Sivia memeluk Rio sebentar, lalu memulai percakapan.
“Lo udah nggak pa-pa kan?” tanya Sivia khawatir. Rio hanya mengangguk pelan menanggapi pertanyaan Sivia.
“Maaf ya.. Gue ga ada maksud buat bikin lo jadi kayak gini. Bener-bener ga ada. Gue ga tau kalo bakal begini jadinya. Kan niat kita kesini buat seneng-seneng. Di pasar malem kan yang paling menantang cuma rumah hantunya...” jelas Sivia takut-takut. Ia takut Rio akan murka pada dirinya karena telah memaksa Rio bermain di area terlarang bagi Rio itu. Tapi ternyata dugaannya salah. Rio mengusap wajahnya yang basah karena air mata, lalu ia berdiri. Kemudian dengan lembut, ditariknya Sivia hingga berdiri dan mengajaknya ke satu booth yang menjual aneka camilan ringan. Rio membeli 2 botol air mineral. Kemudian berjalan sedikit menjauh dari keramaian pasar malam. Satu botol ia berikan pada Sivia. Disuruhnya Sivia untuk minum sedikit agar tidak dehidrasi. Dalam remang cahaya di tempat mereka kini, Rio bisa melihat wajah pucat Sivia. Entah kelelahan atau apa, namun yang terpenting ia tidak ingin gadisnya itu kenapa-napa.
Satu botol lagi untuk dirinya membersihkan mukanya yang sedikit kucel setelah adegan pertumpahan air mata tadi. Setelah ia selesai, ia menenggak habis minumnya, lalu melemparkan botolnya yang kini kosong sembarangan entah ke mana.
“Iih, jangan buang sembarangan doong!” Sivia menampar lengan Rio, cukup keras, karena Rio terlihat kesakitan setelahnya.
“Dih, suka-suka gue kali. Yang beli kan gue,” balas Rio tenang sambil mengusap-usap bagian lengannya yang ditampar Sivia tadi. “Lagian, lo tuh makan apa aja sih tadi? Sakit banget tau nggak lengan gue yang lo gampar barusan,”
Sivia sukses manyun dibuatnya. Rasa bersalahnya tadi pada cowok di depannya ini menguap begitu saja. Diremasnya botol air mineral yang digenggamnya, lalu dilemparkannya ke arah Rio. Dan benda itu sukses menghantam dada Rio yang bidang. Dengan kesal Sivia meninggalkan Rio di tempat itu.
‘Yaah, marah kan,’ batinnya menyesal. Buru-buru ia menyusul Sivia. Terpaksa ia melangkah cepat-cepat karena Sivia juga melangkah cepat. Sambil menghentakkan kakinya kesal pula.
Begitu sudah agak dekat, Rio meraih tangan Sivia, menahan langkah-langkah kesalnya dengan paksa. Ditatapnya manik coklat gadis itu lekat-lekat hingga terlihat rona kemerahan itu di pipi chubby yang sudah sangat familiar baginya.
Merasa rona sialan itu sudah tertera jelas di pipinya, Sivia buru-buru mengalihkan pandangannya. Memecah konsentrasi Rio yang sedang memandang manik coklat menawan itu. Rio hanya terkikik geli melihat reaksi gadis di depannya ini. Sungguh manis bagaimana rona itu ternyata sedikit menghangatkan dadanya yang kelewat dingin, yang kekurangan dosis kehangatan kasih sayang ini.
“Udah dong. Jangan ngambek gitu. Ntar cantiknya ilang loh,” rayu Rio. Sivia lantas melemparkan pandangan kesalnya pada pemuda yang tengah menggenggam pergelangan tangannya itu.
“Gini deh. Gue traktir lo aja gimana? Jarang-jarang kan, gue baik gini. Sama lo lagi,” Rio tersenyum meyakinkan. Dan Sivia membalas ajakan itu dengan senyum penuh dendam.
Dan kejam.

# # # # #

“Arum manis dong, Yo...” pinta Sivia dengan wajah memelas. Rio memandangnya sekilas, kemudian tersenyum dan menarik Sivia menuju abang-abang penjual arum manis.
“Bang, arum manisnya satu ya?” Abang-abang penjual arum manis tersebut langsung mengacungkan kedua jempolnya dan memulai pekerjaannya membuat arum manis pesanan Rio.
“Mau yang bentuknya gimana, dek?” tanya si abang. Rio terlihat berpikir sebentar sebelum menjawab.
“Lope-lope aja, Bang. Gimana, Vi?” Sivia melongo mendengar bentuk yang disebutkan Rio tadi. Lope-lope? Love? Iihh....
“Diih, ogaah.. Masa lope-lope sih?? Ga, Bang, yang biasa aja. Jangan mau disuruh ni orang sinting.” Rio terkikik geli mendengar penolakan dari Sivia itu. Dengan masih menahan geli, Rio nekat berdebat dengan Sivia.
“Alah, udahlah.. Lope-lope aja.. Gue juga kan yang bayar,”
“Iiih, ga mau... Lebay banget tau ga pake lope-lopean segala. Ga!”
“Iya!”
“Enggak!”
“Ayolah, Vi..”
“Gue ngambek nih,” Skak mat. Rio langsung memohon-mohon agar Sivia tidak ngambek dan akhirnya memenuhi permintaan Sivia.
“Ya udah deh, Bang. Ga jadi lope-lope. Lady Gaga aja. Biar dia ga ngambek nih..” kata Rio pasrah. Abang arum manis yang sedari tadi dengan santai menyaksikan perdebatan dua anak manusia itu hanya terkekeh geli. Anak muda jaman sekarang.
“Hehehehehe... Adek-adek ini romantis banget, deh. Abang doain kalian langgeng, ya... Silakan tunggu 5 menit. Dan arum manis siap di tangan.”
Apa tadi? Romantis? Langgeng? Rio dan Sivia sama sekali tidak mendengar dua kalimat terakhir. Hanya dua kata sialan yang bikin pipi merah itu saja yang terus terngiang-ngiang dalam dua kepala manusia itu.
“Kita ga pacaran kali, Bang!” sergah Rio dan Sivia bersamaan. Abang arum manis hanya terkekeh tanpa suara sambil terus memutar-mutar alat pembuat arum manisnya. Tak berapa lama, abang arum manis selesai. Ia menyerahkan arum manis masterpiece-nya pada Rio dan diberikannya pada abang arum manis selembar dua puluh ribuan. ‘Mahal amat,’ pikir Sivia heran.
“Mahal banget, Yo, sampe dua puluh ribu gitu,” katanya heran sambil mengemut arum manis yang ia sobek sedikit demi sedikit.
“Yang mahal tipnya..” balas Rio santai.
Kemudian ia mengajak Sivia untuk mencoba wahana lain. Dan yang dipilih oleh Rio adalaaahh..... jeng, jeng....
Komidi putar!
“Hah? Serius lo, Yo? Itu kan, buat anak kecil..” protes Sivia. Jelas saja protes. Siapa sih, remaja yang mau naik wahana buat anak kecil gitu? Paling banter juga naik bianglala. Itu aja juga dimanfaatkan untuk hal yang aneh-aneh.
“Udahlaahh.... Nggak usah protes. Manut gue aja...” paksa Rio. Alhasil, mau tak mau, Sivia harus mau. Daripada ia harus pulang sendiri karena Rio tak mau mengantar karena ngambek Sivia nggak mau naik komidi putar? Ogah deh.
Setelah menukar sejumlah uang yang kelihatannya banyak—karena Sivia sempat melihat Rio mengeluarkan 4 lembar uang sepuluh ribuan, padahal harga karcis naiknya hanya empat ribu rupiah saja—Rio menarik lengan Sivia yang sedang tak memegang apa-apa menuju wahana anak-anak tersebut. Ia juga menyerahkan sepuluh lembar karcis pada mas-mas panitia. Dan membisikkan sesuatu di telinga mas-mas itu. Sepertinya penting, karena mas-mas itu mengacungkan jempolnya tanda setuju pada Rio setelah membisikinya tadi.
“Yuk, Vi,” ajaknya lembut. Mereka menaiki sebuah kereta kuda kecil yang jelas-jelas tidak akan muat untuk dua orang, namun tetap mereka paksakan. Sempit, sempit deh.
Dan komidi putar tersebut mulai bergerak. Sivia dan Rio mulai merasa tidak nyaman. Akhirnya, Rio meminta Sivia duduk di atas sandaran kereta. Dan Rio duduk di bawahnya. Macam pelayan dan tuan putri.
Batas waktu komidi putar ini adalah 10 menit untuk satu karcis. Sedangkan kini, mereka sudah berputar selama sekitar 30 menit. Sivia mengerti dengan karcis-karcis yang dibeli Rio dalam jumlah banyak itu. Dan acungan jempol mas-mas operator komidi putar.
“Lo ada rencana apa, sampe beli banyak karcis gitu?” tanya Sivia menyelidik. Rio hanya tersenyum acuh merespon pertanyaan Sivia. Gadis itu manyun ketika pertanyaannya hanya disenyumi saja. Ia butuh jawaban! Dalam kata-kata!
“Woiii.... jawab napa?? Bibir lo yang seksi itu kan masih pada bagus-bagus. Ga cacat, ga bonyok,” Sivia merayu. Dan lagi-lagi, Rio hanya tersenyum.
Oke, kesabaran Sivia sudah menipis. Perlu diisi ulang ini! Dasar cowok, makinya dalam hati.
Akhirnya, Sivia menyerah. Ia tidak ingin bertanya lagi. Ia yakin bila ia berani bertanya lagi, lama-lama senyum Rio akan semakin melebar, dan akan tetap seperti itu sampai besok pagi bila ia bertanya lebih banyak. Menghibur memang, tapi ia masih tetap punya hati. Tidak seperti pemuda di samping bawahnya ini. Menyebalkan. Totally annoying.

Satu jam kemudian, Rio bangkit dengan semangatnya. Ia berjalan meninggalkan Sivia, pergi berdiskusi dengan mas-mas operator tadi. Lagi-lagi mas-mas itu mengacungkan jempolnya mantap. Rio kembali ke komidi putar, sedikit melompat saat akan menaiki komidi putar yang sedang bergerak.
Sesampainya ia di tempat yang ia tinggalkan tadi, ia sodorkan tangannya. Bibirnya menyunggingkan senyum yang membuat semua orang akan luluh dan percaya padanya seketika itu juga. Dan itulah yang terjadi pada Sivia. Hanya saja, senyum itu mempunyai arti yang sangat berbeda dengan apa yang dijabarkan barusan. Arti tersendiri bagi Sivia.
Diajaknya gadis itu turun dari wahana anak-anak tersebut. Dengan sangat hati-hati seperti sedang menurunkan guci emas milik Raja Fir’aun yang bila miring sedikit saja, hukuman pancung langsung dilaksakan saat itu juga. Dan gadis yang digandengnya ini adalah guci emasnya. Yang harus ia jaga dengan sangat hati-hati agar tidak tergores barang setitikpun.
Sebelum keluar dari wahana tersebut, Rio melepas genggaman tangannya sesaat. Ia ajak empat anak kecil berpakaian sedikit kucel. Dari matanya, terlihat mereka ingin sekali naik wahana anak-anak itu.
Lagi-lagi Rio berdiskusi sebentar. Dan mas-mas operator mengangguk semangat. Tak usah ditanya, mas-mas itu juga mengacungkan dua jempolnya dengan mantap.
“Makasih mas!” seru Rio pada mas-mas operator yang tersenyum ceria.
Sivia memandang Rio dengan penuh keheranan.
“Apa sih, liat-liat? Yak, gue tau gue tuh ganteng. Udah dari lahir, sih. Jadi kalo lo naksir ya, ga pa-pa, sih. Udah biasa kok. Banyak yang sering ngeliatin gue kayak gitu.” ujar Rio narsis. Gusti, cowok satu ini emang bener-bener ga tau malu ya? rutuk Sivia dalam hati.
“Gue laper.” ujar Sivia singkat. Dan Rio mengakhiri acara narsisnya. Digandengnya gadis itu, melangkah menuju sebuah gerobak yang menjual sate beraneka macam jenis dan rasa.
Dengan senjata terampuhnya—senyum yang meluluhkan sejuta umat—Rio berbasa-basi dengan ibu-ibu penjual sate. Sampai Sivia dibuat terpana oleh kecanggihan senyuman maut Rio.
“Ibu. Yang jual sate. Yang paling uenakk tenan! Beli satenya dong..” pesan Rio, sambil sedikit merayu. Sivia mengernyit heran dengan apa yang baru saja ia lihat. Pandai merayu juga pemuda satu ini.
“Siap, mas. Ayam, kambing, sapi, kelinci? Pedes, biasa, manis, pedes manis?” tanya si ibu. Rio menoleh pada Sivia, menunggu pesanannya.
“Ayam aja. Pedes manis.” jawab Sivia akhirnya.
“Dua porsi, tapi dijadiin satu, Bu. Trus, kasih bonus juga ga pa-pa. Lima atau tujuh tusuk aja lah, Bu. Ga usah banyak-banyak. Pake pincuk ya, Ibu cakep yang jual sate paling uenak..” tambah Rio. Ini mau beli sate apa mau ngegombalin yang jual sih?
Si ibu langsung membuatkan pesanan Rio sambil terkekeh mendengar pesanan Rio tadi. Tangan kekarnya dengan sigap mengipaskan kipas bambu persegi, membuat bara-bara di bawah bertusuk-tusuk sate menjadi kelebat-kelebat api yang muncul hilang seiring kibasan kipas si ibu.
Tak berapa lama, pesanan Rio—dan Sivia—sudah berada di tangan si pemesan. Setelah membayar dengan selembar lima puluh ribuan—sudah termasuk tip—pada si ibu, Rio mengajak Sivia duduk, menyantap sate-sate tadi di sebuah bangku semen tak jauh dari gerobak sate si ibu. Lima diantara tiga puluh enam tusuk sate lenyap sudah setelah memasuki mulut Rio dalam sekali lahap. Sivia yang sedari tadi hanya terdiam, terheran-heran melihat pemuda di sebelahnya tiba-tiba berubah menjadi kanibal.
“Pelan-pelan aja kenapa sih, Yo? Kayak ga pernah makan sate aja,” komentar Sivia. Kemudian ia melahap sepotong daging dari tusuk keduanya. Rio menggumam tak jelas saking penuh mulutnya oleh berpotong-potong daging yang masuk ke mulutnya. Barulah, setelah semua tertelan sempurna, ia berkata.
“Emang ga pernah.” Singkat. Kemudian ia menyambar setusuk sate lagi. Namun kali ini, pelan-pelan sepotong demi sepotong kecil ayam bakar berbumbu yang masuk dalam mulutnya.
“Seumur-umur ga pernah makan sate?”
“Kagak. Bokap gue selalu ngasih roti tiap sarapan, lunch, bahkan dinner. Ga selalu plain sih, tapi lama-lama bosen juga. Waktu nyokap masih ada aja sih, pernah. Sekali doang.”
“Jadi ini kali kedua elo?”
“Yap. Dan dua-duanya bakal selalu membekas di hati gue.”
“Maksudnya?”
“Karena sama yang tersayang.”
Sivia mengernyitkan dahinya lebih lagi. Rasa heran itu berkembang menjadi lebih besar lagi. Yang tersayang? Apa maksudnya?
Baru saja ia akan menanyakan maksud perkataan cowok di depannya ini, Rio terlanjur bangkit. Kembali ke gerobak sate si ibu. Sepertinya ia tengah kerasukan atau sedang terkena brain malfunction. Karena ia bertingkah aneh hari ini!
Ia mengambil alih gerobak si ibu. Membiarkan si ibu istirahat sejenak. Dan ia berseru-seru memanggil para pelanggan. Mencoba apakah ia yang ganteng ini bisa membantu si ibu mencari untung. Dan ternyata.... berhasil. Sukses besar.
Sekali ia berteriak “SATEE!!!”, sekitar 8 orang menghampiri gerobak sate tersebut. Dan hampir semuanya berjenis kelamin perempuan! Si ibu terlihat gembira. Ia pun bangkit lagi, membantu Rio melayani para pelanggan. Satu pelanggan bahkan sampai berfoto bersama Rio setelah mendapat satenya.
Sedang Sivia? Melihat adegan tak jauh di depannya membuatnya sadar akan suatu hal. Rio tidaklah seburuk yang ia pikirkan. Ia memang baik. Sangat-sangat baik. Dan ramah. Hanya saja sifat masa bodohnya terlalu mendominasi otaknya.
Namun hari ini, malam ini, Rio membuktikan semuanya. Bahkan rasa sayangnya pada Sivia, yang Sivia sendiri masih tidak menyadarinya. Tidak mengerti apa maksudnya.
# # #

Ih wow!! Saya update WIR loh! *apaa coba?* Tapi yang asli belom selesai. Jadi harus selesai dulu, baru bisa update lagi. Paling banter seminggu dua minggu kemudian. Maklum mau TO. Ada UTS juga. Jadi harus bagi waktu. Segitu dulu deh.

Please leave any comments on this blog or on my facebook : Umi Sa'adah or on my twitter : @umisaadah95. Thanks :)

Salam,
Umi Sa'adah =]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar