Laman

Senin, 11 Februari 2013

Angela & Hodgins


Senin sore, capek dan berkeringat.

“The Lab? Yang punya keluarganya Rio, kan? Ogah!”

Bella langsung terbangun dari kasurnya, setelah mendengar di mana tempat reuni mereka kali ini.

Tara terus memohon-mohon di seberang telepon, “Ayolah, Bel.. Demi kita..”

Oops! Skak mat. Sial, kutuk Bella dalam hati. Kalau kata-kata “demi kita” andalan Tara itu terlontar sudah, Bella tidak bisa menolak.

Sial. Sial. Sial! “Oke. Kapan?"

Tara terdiam sesaat. Berpikir.

“Selasa? Gue yakin loe nggak bakal bisa hari Rabu. Billa juga besok ada acara sama Alvin. Gimana?”

Selasa, ya?

“Oke. Selasa berarti. Agak siangan aja, ya? Jam sepuluhan gitu,”

“Oke! See you besok, Bel!”

Beep. Telepon dimatikan oleh si penelepon sinting. Bella mengernyitkan dahinya heran. Kenapa gue bisa temenan sama orang sinting ini, sih? Heran gue.

Ia melangkah menuju kamar mandi. Membasuh muka. Lalu kembali ke kasurnya, tidur lagi.

# # #

Selasa pagi, pusing dan kembali pusing.

“Kalo gue bilang enggak, ya enggak! Lagian apa pentingnya sih??”

“Heh! Reuni ini tuh, penting banget! Loe kan tahu, Ray baru aja menang pertandingan basket kemaren itu di Amrik sana. Lagian dia juga pulang hari ini.”

“Trus, kenapa harus di kafe gue kalo Ray yang bayarin kali ini?”

“Yah.. loe kan tahu.. Kita nggak punya duit sebanyak itu... Ngerti, kan?”

Rio menghela napasnya malas, sangat mengerti akan maksud kawannya itu.

“Oke, oke. Jam?”

“Sepuluh? Gue jemput, deh,”

“Loe nggak jalan sama Tara?”

“Dia ada acara. Kenapa?”

“Cuma nanya.”

“Bella?”

Rio terdiam. Aga memang benar-benar sahabatnya, yang kadang tahu jauh lebih banyak tentang dirinya. Termasuk yang satu ini.

“Yap. Gue cerita di kafe.”

Rio langsung memutuskan sambungan. Kepalanya sudah terlalu pening memikirkan caranya berbicara dengan gadis itu. Adelia Bellasa.

Aargh!! Memikirkan namanya saja membuatnya kembali merasa bersalah. Kenapa dia harus berburuk sangka padanya hari itu? Kenapa dia mau menjadi boneka Hana, orang yang sama yang membuat hubungannya dengan Bella harus hancur dan membuatnya sangat bersalah. Memang dasar tidak tahu diri lelaki bernama Rio ini.

Ia melangkah menuju kamar mandi. Membasuh muka. Mencoba menghilangkan pening di kepalanya karena gadisnya.

# # #

Selasa, pukul 10.00 WIB, kita bertemu.

“Mario Andhika. Adelia Bellasa—“

Don’t put my name together with his. I hate it.

“Maaf. Kalo emang loe nggak mau berurusan lagi sama dia, kenapa loe masuk ke universitas yang sama?”
Bella menghela napasnya lagi. Entah sudah untuk yang ke berapa kalinya.

“Kan udah gue bilang, universitas itu satu-satunya yang memang cocok sama hobi gue.”

“Dan kebetulan emang cocok sama hobi Rio. Gitu?” Tara dan Billa membombardir dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Rio yang selama 2,5 tahun ini ia coba hindari. Dan selama 2,5 tahun itu pula ia tidak pernah berhasil menghindar satu inci pun.

“Terserah. Gue ke kamar mandi dulu.”

Kafe ini bisa dibilang unik. Dibagi menjadi tiga ruangan, boys zone, girls zone dan free zone. Untuk cowok, cewek dan untuk para pasangan yang nggak mau dipisah. Selain untuk menarik perhatian, pembagian seperti ini ditujukan agar yang cowok tidak terganggu dengan gosip-gosip khas cewek dan yang cewek tidak terganggu ocehan nggak keruan khas cowok.

Namun, untuk kamar mandi hanya dibagi masing-masing 6 tiap gender dalam satu ruangan. Jujur, Bella sangat menyukai suasana yang ditimbulkan dari pembagian ruangan kafe ini. Tapi, kafe ini milik keluarga Rio, yang... tahu kan? Bella sangat anti Rio akhir-akhir ini.

Ia membasuh tangannya pelan-pelan, sedikit berniat membuat tagihan air kafe ini melonjak. Ia menatap wajahnya sendiri yang terlihat sangat lelah di cermin di depannya sambil menepis-nepis air di tangannya. Mencoba menghabiskan waktu mengeringkan tangan dengan cara manual walaupun persis di sebelahnya sebuah hand-dryer yang masih waras menempel dengan gagah.

Mario.

Nama itu selalu terasa segar di ingatannya, walau hampir 5 tahun mereka tidak pernah bahkan saling menyapa. Tapi tetap saja. Nama itu selalu menempel di pikirannya dan seakan seperti benalu, tidak pernah bisa dihilangkan. Tapi.. bukan berarti tidak mungkin, kan?

Pikiran itu membuatnya tersenyum. Namun, tiba-tiba senyum itu menghilang saat ia menyadari ia tidak sendirian di kamar mandi itu.

Seseorang sengaja mengunci pintu kamar mandi. Agaknya orang itu berhasil mengunci pintu pertama dan baru saja mengunci pintu kedua, saat Bella berbalik, terkejut, menyadari siapa orang itu.

Sial. Mario Andhika, alias Rio. Kedudukannya sebagai manajer boys zone, menjadikannya memiliki banyak keuntungan. Salah satunya kunci ruangan. Sial.

Sebenarnya, Bella memiliki kesempatan untuk lari saat itu juga, menilik pintu zona cewek masih terbuka. Namun, ia hanya berdiri di tempatnya, seperti membeku.

Rio menutup pintunya, hanya menutupnya. Lalu menaruh kunci yang dibawanya di wastafel di samping Bella. Bella tak bergeming. Sama sekali. Ia hanya menatap Rio. Tatapan matanya penuh kebencian, keinginan untuk membalas dendam. Tapi juga sarat akan kekecewaan, kerinduan, dan juga... kasih sayang.

“Aku... minta maaf, Bel,” Rio memulai. Bella masih tidak bergeming. Namun kini, matanya berkilat. Sebulir air mata menggantung pasrah di sudut matanya. Melihatnya, Rio terdiam, tidak berani bicara lagi. Mereka berdua seakan berbicara sekaligus memaki dalam diam.

Lalu akhirnya kebekuan terpecah, saat Bella meraih berendelan kunci di sampingnya dan melemparnya pada Rio. Pria itu refleks menangkapnya, dan saat ia menatap kembali pada Bella, mendadak ia terhenyak.

Meski hanya sekilas, ia yakin ia melihat Bella menangis, sebelum gadis itu berputar, tergesa menuju pintu kamar mandi. Sesaat sebelum Bella keluar, ia akhirnya bersuara.

“Jangan lupa unlock pintunya... Dan jangan minta maaf. Nggak semuanya salah kamu.”

Makin terhenyaklah Rio. Pandangan matanya kabur karena air mata, saat ia memandang Bella, gadisnya—yang dulu gadisnya—melangkah pergi. Untuk kedua kalinya.

Ia meremas kunci di tanganya. “Sialan!” geramnya kecewa pada dirinya sendiri. Rasa bersalah itu benar-benar telah membuatnya amburadul.

# # #
Rabu sore, kita main basket bersama lagi.

Dug. Dug. Dug.

Dribble. And dribble. And another dribble. Ia terus menggiring bolanya. Menembaknya tepat ke arah ring, tapi tak pernah ada satupun yang berhasil masuk. Permainannya kacau. Pikirannya kacau.

Sudah 2 jam lebih ia seperti ini. Dan bahkan ia sendiri tidak tahu ada apa dengan dirinya. Sejak pagi, ia mencoba melupakan kejadian kamar mandi kemarin. Tapi semua yang ia lakukan hanya memperkuat memorinya akan—well, Rio.

Bones, serial favoritnya yang akan ia tonton pagi tadi, juga merupakan favorit Rio. Saat akan ngemil Chitato-nya, ia teringat pesan Rio agar tidak banyak memakan junkfood untuk menjaga tubuhnya tetap fit dan tidak kendor. Bisep, trisep, otot paha, dan abs-nya memang menakjubkan, kata Rio. Saat menemukan DVD ”Reply 1997” di rak DVD-nya, ia hanya menatapnya. Mengingat saat Seo In Guk yang shirtless mencium Jung Eun Ji di salah satu adegan di drama itu. Bukan apa-apa, tapi Rio memang pernah menciumnya setelah kelas Rio selesai olahraga. Shirtless. Coincidence? Yeah, right.

Akhirnya ia memilih bersepeda mengelilingi kompleks rumahnya, meninggalkan memori-memori itu jauh di belakang. Walaupun akhirnya ia capek, dan berakhir bermain basket asal-asalan di lapangan basket di kompleksnya. Ya, ya. Tempat itu juga menyimpan banyak memori tentang mereka berdua.

Saat itu juga, bola memantul keras pada ring, yang membuatnya kembali pada realita. Bola itu melambung jauh ke arah berlawanan, yang membuatnya harus berbalik untuk melihat ke mana bola itu terus melambung dan akhirnya akan terjatuh. Namun, saat bola itu mendarat di tangan seorang pria, bukannya plester semen lapangan, air mukanya mengeras.

Rio.

Rio melangkah mendekati Bella, namun Bella tidak mencoba mundur atau menghindar seperti yang sering gadis itu lakukan tiap kali ia mendekat padanya. Ia melangkah lagi. Tidak ada respon. Ia melangkah lagi, dan masih tetap tidak ada respon.

Ia melangkah lagi. Lebih mantap. Lalu berhenti setengah meter di hadapannya dan terus menatapnya. Pandangannya tidak pernah lepas dari Bella. Dan hal itu menyadarkannya. Well, Bella memang... cantik. Dan manis, sangat manis. Sedikit mengingatkannya pada Sung Shi Won, gadis di drama favorit Bella. Yeah, she is a sweetie. Dan dia merasa sangat bodoh karena pernah tidak mempercayainya, dan meninggalkan Bella-nya yang cantik begitu saja.

“Aku.. minta maaf.” Rio memulai. “Entah udah berapa kali aku minta maaf, dan aku yakin kamu juga capek berkali-kali harus denger kata-kata itu. Tapi, Bel, hampir 5 tahun. Aku cuma nggak mau terus-terusan dihantui masa lalu dengan nggak dapet kepastian that I am forgiven. Kamu.. tahu maksudku, kan?”
Bella hanya diam.

Come on, Bells..

Bella tetap diam. Lalu tiba-tiba ia menyerbu, memeluk Rio erat.

Rio bingung. Harus bagaimanakah ia?

Satu tangannya lalu meraih punggung Bella, membalas pelukannya. Sedang tangannya yang lain melingkar pada bola basket Bella.

I’m forgiven..?”

Let’s just say you are forgiven, Mario. Karena nggak semuanya salah kamu. But—“ Bella melepas pelukannya, lalu merebut bola basketnya dari tangan Rio.

Beat me, or you won’t be forgiven forever. Deal?

Rio menghela napasnya lega. Itu artinya ia dimaafkan. Benar-benar dimaafkan oleh Bella.

Let’s shoot some hoops, then?

Mereka benar-benar one-on-one. Pertandingan yang sedikit berisik, menilik hanya ada mereka berdua di lapangan itu.

Sambil men-dribble­, Rio menyeringai pada Bella. “Inget Bones?”

Bella mengangguk cepat. Mengerti siapa yang dimaksud. “Pastinya! Hodgins sama Angela, kan?”

“Kayak kita, ya,”

Giliran Bella yang menyeringai. “Beat me first, baru aku setuju.”

Lalu mereka bertanding lagi. Dan kali ini lebih banyak canda dan tawa yang mereka bagi pada atmosfer di lapangan basket penuh memori itu. Dan aura baru.

Penerimaan kembali perasaan dahulu kala yang sengaja dilupakan.

Dan semoga untuk seterusnya, kita masih terus bersama.

# # #

P.S. : This is one of my short stories for the literature project. There are another stories coming up after this one. Stay tune.

Regards,
Umi Sa'adah =]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar