Laman

Senin, 11 Februari 2013

Senja Dalam Kelabu


“Udahlah, Ra! Nggak usah minta maaf!” Billa menampik tangan Tara yang dijulurkan padanya. Mencoba memohon maaf. Tapi Billa tidak menghiraukannya, bahkan membentaknya berulang kali. Meminta Tara untuk segera pergi dari rumahnya. Billa sangat kesal.

“Gue pengen banget ngejelasin ke loe, tapi Alvin selalu bilang jangan.. Please, Bil, biarin gue jelasin,” Tara memohon, sungguh memohon. Setitik air mata siap meninggalkan pelupuk mata Tara. Dan Billa melihat kerling air mata itu. Ia memandang mata Tara lekat-lekat sesaat.

Lalu memutuskan.

# # #

Sial. Sial. Sial!

Apa salahnya hingga pacarnya sampai mengkhianatinya? Dan lebih parahnya lagi, dengan Tara! Tara! Sahabatnya sendiri! Sialan! Alvin sialan!!

Billa menghentak-hentakkan kakinya sepanjang perjalanan pulang. Nafasnya memburu. Wajahnya terlihat mulai memerah. Ia kesal. Sangat kesal, dan kecewa.

Sesampainya ia di rumah, ponselnya berdering. Dengan dering khas yang memang ia pilih untuknya. Sesuai dengan sifatnya yang jahil dan suka main-main. Da Lime and Da Coconut.

“~She put the lime in the coconut, and  drank them

Billa langsung mengangkatnya. Ia siap marah. Ia siap memaki. Ia siap untuk menjadi sosok Billa yang lain. Bila perlu, ia akan mengumpat sekalian. Alvin sialan!!

Bil, kamu di—

“Nggak usah nanya-nanya!! Nggak usah sok peduli!! Kalo emang aku udah nggak ada gunanya, bilang! Nggak usah pake khianatin segala! Kenapa harus Tara?!! Kenapa!!?”

Bip. Call Ended.

Tenang. Tenang. Tenang.

Sekarang hanya tersisa penjelasan dari Tara, yang tidak akan ia dengarkan sepatah kata pun. Dia memang sahabatnya. Tapi jangan harap Billa akan memanggilnya ‘sahabat’ lagi setelah pengkhianatan hari ini. Wow. Betrayer of the Day. Siapa lagi besok?

Billa memang masih marah. Namun, ia putuskan untuk menghilangkan saja memori menyeramkan di toko perhiasan. Saatnya berendam. Saatnya meredam amarah, dan biar semuanya ikut luruh bersama penatnya hari itu.

# # #

 “Udah sejuta kali gue coba telpon dia, Alvin... Tapi nggak satupun diangkat. Di-reject-lah, dikirimin reject message-lah, bahkan dibiarin gitu aja... Bingung gue, Vin!!” Tara misuh-misuh di kamar Alvin, tiga hari setelah kejadian di toko perhiasan. Alvin hanya bisa menunduk kecewa mendengar keluhan Tara. Kesal, kecewa, marah. Tapi yang paling dominan, bingung. Dan kecewa. Kenapa bisa seperti ini? Dan kenapa harus kejadian saat ia bersama sepupunya sendiri? Bersama Tara? Ya. Tara memang saudara dekat Alvin. Dan karena inilah ia makin bingung. Billa ternyata tidak tahu Tara adalah sepupuAlvin. Makin runyamlah masalahnya.

Alvin mendongak. Dilihatnya Tara yang duduk termenung di dekat jendelanya. Bulir-bulir air mata ikut menemani.

Sial. Ia makin kecewa. Dengan dirinya sendiri.

“Oke, aku bakal usahain buat ngejelasin semua ke Billa. Aku nggak tahu gimana dan apakah dia mau nerima, yang penting aku harus jelasin ke dia.” Alvin, akhirnya menemukan suaranya, memberikan keputusan terakhir. Tara menoleh. Ia pandangi Alvin sesaat, seolah cowok itu sudah gila.

“Loe itu permasalahannya, Vin. Billa nggak bakal terima.” komentar Tara pasrah. Tapi Alvin menggeleng. Bersikeras ingin menjelaskan semuanya, cerita versi dirinya sendiri, pada Billa.

“Terserahlah. Jangan salahin gue kalo loe diputusin Billa.” kata Tara acuh. Ia lalu memandang ke luar. Dilihatnya langit berubah kelabu. Pekat. Sangat pekat. Sepekat pikirannya sekarang. Sampai-sampai hampir mampet kalau saja Alvin tidak menyadarkannya.

“Billa ada jadwal apa Kamis besok?”

“Biasanya dia beli hadiah buat anak-anak yang ikut bimbel dia. Kenapa?”

“Nggak. Cuma nanya. Telpon Aga, gih. Paksa dia buat nemenin kamu di sini.”

Tara mendongak mendengar usulan Alvin.

“Iya juga, ya. Ya udah, buru sana! Siapin rencana apapun yang loe punya itu!! Gue mau nyantai jablai sama Aga!”

Alvin terkekeh mendengar kata-kata Tara. Tipe sepupu desperate yang butuh cinta sang pacar. Ia lalu meninggalkan Tara sendiri bersama phone call-nya dengan Aga, dan pergi mencari ilham. Dan tempat yang pertama kali ia kunjungi, adalah...

Starbuck’s. Satu cup Americano akan cukup untuk membantunya berpikir lebih jernih.

Ia mencari tempat duduk yang sekiranya bisa membuatnya tenang. Dan pilihannya jatuh pada satu meja yang terletak di tengah ruangan, dengan akses yang luas untuk melihat hujan lebat di luar sana.

Lalu, ia berpikir lagi.

# # #

Billa merogoh tasnya, kesal karena kunci rumahnya terselip entah di mana. Kalau ia tidak cepat-cepat menemukannya, ia harus kembali lagi ke toko hadiah itu dan bertanya dengan memalukan.

Sial. Tidak ketemu.

"Kemana sih, kuncinya? Perasaan tadi udah dimasukin deh..." gumamnya kesal. Lalu, entah darimana, sebuah tangan disodorkan padanya. Ada kunci rumah yang terlihat familiar di tangannya. Dan kenapa pemilik tangan itu harus Alvin?

Billa memandangi lelaki itu sejenak. Kekecewaan dan kemarahan tersirat jelas di matanya.

Sedetik. Dua detik.

Billa menyambar kunci itu, dan langsung menyetop taksi apapun yang lewat saat itu. Billa memang cepat. Tapi entah mengapa Alvin lebih cepat. Ia segera meminta supir taksi untuk menunggu calon penumpangnya itu. Ini kesempatannya. Ia harus berbicara padanya.

"Bil, semuanya nggak yang kayak kamu pikirin. Tara itu bukan siapa-siapaku. Well, dia memang siapa-siapaku, tapi nggak yang kamu kira. Dia cuma sepupu, Bil. Tolong, percaya sama aku,"

Billa hanya memandaninya. Tengah sibuk mencari kebenaran pada dua benik coklat bening itu. Alvin memang terlihat jujur, tapi ia masih tidak percaya. Persetan dengan itu.

"Terus, kamu pengen aku gimana? Maafin kamu? Nggak segampang itu,"

Bersamaan dengan deklarasi ketidaksetujuan Billa, supir taksi yang masih berhenti mengklakson tak sabar. Billa langsung sadar akan taksi yang menunggunya. Kalau memang mau pakai jasanya, lebih baik ia buru-buru.
Sebelum ia menutup pintu taksi, ia mendengar Alvin berbicara.

"Kamis. Sore. Kapanpun kamu selesai belanja hadiah buat anak-anak bimbel kamu. Tepat di bawah langit kelabu yang terbakar. Di sini. Kutunggu."

Entah ia akan melakukannya, namun satu yang pasti.

Hatinya perih. Dan ia merasa sangat bersalah.

# # #

“Udahlah, Ra! Nggak usah minta maaf!” Billa menampik tangan Tara yang dijulurkan padanya. Mencoba memohon maaf. Tapi Billa tidak menghiraukannya, bahkan membentaknya berulang kali. Meminta Tara untuk segera pergi dari rumahnya. Billa sangat kesal.

“Gue pengen banget ngejelasin ke loe, tapi Alvin selalu bilang jangan.. Please, Bil, biarin gue jelasin,” Tara memohon, sungguh memohon. Setitik air mata siap meninggalkan pelupuk mata Tara. Dan Billa melihat kerling air mata itu. Ia memandang mata Tara lekat-lekat sesaat.

Lalu memutuskan.

"Aku... minta maaf, Ra."

"Aku juga minta maaf, Bil. Alvin juga sih. Dia nggak mau kamu tahu soal statusku. Dia cuma pengen punya hubungan tanpa koar-koar soal saudaranya, atau siapapun. Maaf banget ya, Bil,"

"Aku juga minta maaf. Udah salah paham sama kamu."

"Hehe... Udah ah, kayak lebaran aja, maaf-maafan. Kamu bukannya ada janji sama Alvin?"

"Bukan janji. Aku bahkan nggak pernah bilang "ya". Lagian aku mau beli hadiah buat anak-anak."

Tara hanya memandangnya penuh arti. Gusti, ia memang tidak akan pernah bisa berbohong, apalagi di depan Tara.  Billa mengedikkan bahunya, tidak peduli. Ia merogoh tasnya, mencari ponselnya, memandanginya sebentar, lalu memasukkannya lagi.

Ya udah, aku ke toko dulu. Kalo besok aku nggak bawa hadiah, anak-anak bakal cemberut dan nggak mau belajar lagi. Kalaupun nanti aku ketemu Alvin... katanya ragu-ragu, Aku bakal ketemu Alvin, dan dengerin semua yang mau dia omongin ke aku. As simple as that.

Tara mendecak. Not that simple, sweetheart. Youll understand what Im talking about. Later, when you meet him, youll feel that your heart is beating too fast that it will explode sooner or later. Billa menyipitkan matanya mendengar alasan Tara. Penasaran. Tapi karena terdengar tidak masuk akalbaginyaia mengacuhkannya. Ya, ya, mungkin nanti ia akan merasakannya. Entah apapun  itu, yang pasti itu akan membuat hatinya berdebar tidak keruan dan hampir meledak. Mungkin.

Ya, mungkin.
# # #

Billa berjalan agak tergesa. Hari itu benar-benar petang, walaupun hari baru beranjak siang. Seharusnya matahari sedang bersinar dengan jumawanya. Tapi awan mendung sialan menghalangi sinar menawannya yang juga membakar kulit.

Satu yang ia benci. Karena mendung itu mengingatkannya pada lelaki itu.

Setelah membiarkan Tara menjelaskan apa yang terjadi pada keduanya pagi tadi, ia jadi ingin mendengar bagaimana cerita versi Alvin. Lelaki itu benar-benar sialan karena tidak menceritakan yang sebenarnya sejak awal pertemuan mereka. Walaupun seharusnya Billa sudah tahu, menilik Alvin dan Tara memang sangat dekat.

“Duh, kalau nggak buru-buru, bisa-bisa kehujanan dan nggak bisa dipake hadiahnya..” gumamnya pada diri sendiri. Maka, ia pun bergegas. Mencari hadiah yang diinginkan para anak didiknya yang ia asuh setiap Senin dan Rabu, dan Jumat adalah hari hadiah. Dan ia tengah berjuang untuk mengabulkan beberapa permintaan dari anak didiknya.

Setelah hampir 3 jam ia mencari hadiah, ia memutuskan untuk duduk-duduk sebentar di kafe di dalam mall. Dilihatnya dari jendela kafe, hari masih mendung. Tanda-tanda akan turun hujan, tapi ternyata sedari tadi belum turun juga.

Selesai dengan tehnya, ia meninggalkan kafe—yang berarti ia juga meninggalkan mall—menuju toko buku anak-anak yang ia lihat dari jendela kafe tadi.

Satu-dua buah buku cerita akan lebih mewarnai sesi bimbel hari Senin besok.

Ia masuk ke dalam toko buku, sedikit kesusahan karena belanjaannya yang seabrek. Ia juga membeli beberapa kebutuhan sehari-harinya sendiri ternyata. Ia melihat sebuah buku yang terlihat tipis, bersampul putri duyung yang cantik, dan langsung mengambilnya dari rak, membelinya tanpa pikir panjang. Ia juga melihat beberapa buku lain yang terlihat setipe, dan membelinya juga.

Barulah, saat ia selesai dengan belanjanya hari itu dan hendak keluar dari toko, hujan tiba-tiba turun. Deras. Sangat, sangat deras.

Sial. Bagaimana caranya pulang? Pangkalan taksi memang tidak terlalu jauh dari toko buku itu, tapi ia tidak mau mengambil resiko semua belanjaanya—termasuk dirinya, basah.

“Sial. Kenapa baru sekarang, sih? Pulangnya gimana coba?” gumamnya kesal pada dirinya sendiri.

Seakan menjawab kekesalannya, seorang lelaki tiba-tiba menyambar tas belanjaannya begitu saja, dan melarikannya ke sebuah mobil perak yang terpakir di depan toko buku. Well, seharusnya Billa akan marah bila ada orang yang seenaknya seperti itu. Tapi tidak, setelah ia melihat siapa yang dengan berani melakukannya.

Alvianda Buana. Alias Alvin.

Alvin sialan yang nggak pernah cerita tentang keluarganya. Alvin sialan yang begitu saja menyambar belanjaannya seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Alvin sialan yang berhasil memenangkan hatinya.

“Mau pulang?” Damn. Suaranya yang berat benar-benar membuat Billa tergoda dan terpesona. Semarah apapun, suara itu selalu berhasil mendinginkan sekaligus melelehkan hatinya.

Billa menyerah. Ia hanya mengangguk lemah.

Alvin  tersenyum melihat gadisnya tak berdaya di depannya.

“Kalo gitu, ayo,” ajak Alvin. Tangannya terulur ke arah Billa, menunggu persetujuan.

Billa menghela napas. Tidak bisa. Dia tidak bisa terpikat begitu saja.

“Kenapa kamu nggak pernah cerita?” Billa menemukan suaranya, at last. Giliran Alvin yang menghela napasnya. Lebih berat dari yang biasa, walau ia telah memantapkan hatinya untuk menjelaskan.

Alvin memandang wajah gadisnya. Menatap dalam-dalam matanya. “Aku nggak tahu Tara udah cerita atau belum, tapi yang pasti aku nggak suka cerita-cerita tentang keluarga besarku. Tara adalah anak adik ibuku. Yang terjauh. Tapi kita justru deket banget, karena dia selalu sendiri. Ayah Bundanya kerja fulltime, Mas Gana kuliah di luar kota, dan Tabi masih terlalu kecil buat diajak curhat. Akhirnya dia minta aku buat jadi teman curhatnya di rumah. Kebetulan karena rumahku satu kompleks dengan rumahnya. Aku selalu nganggap dia sebagai saudara kandungku sendiri yang nggak pernah kudapetin.

“Hari itu, Tara cuma nemenin aku beli hadiah buat Mama untuk ulang tahunnya, minggu depan. Kata Tara kamu sibuk, dan aku nggak berani ngganggu kamu. Kamu tahu, kan, kebiasaanku yang itu?” Billa mengangguk, lebih lemah. Ia masih terpana.

So.. Maafin aku?” Alvin sedikit berharap.

Mendengar cerita versi Alvin benar-benar membuat otaknya seperti rusak. Ia tidak bisa berpikir. Oke, dia sudah salah paham. Oke, di sudah keterlaluan. Oke, dia sudah egois. Dan oke, dia tidak akan menyalahkan siapapun. Kecuali dirinya. Dalam hatinya.

Billa mengangguk lagi. “Oke, kumaafin. Bukan untuk kejadian toko perhiasan, tapi karena kamu nggak pernah cerita soal keluarga kamu.” Well, melegakan juga ternyata.

“Kita pulang?” Alvin mengulurkan sebelah tangannya pada Billa lagi, yang diterima oleh Billa tanpa berbasa-basi.

“Kita pulang.”

Alvin tersenyum pada Billa. Kali ini lebih tulus dan lebih menawan. Dan berhasil membuat wajah Billa memerah saking terpananya.

Gusti. Alvin memang sialan karena tidak cerita tentang keluarganya. Tapi Alvin jauh lebih sialan karena membuat wajahnya memerah terpana. Hanya karena sebuah senyum sederhananya.

Sore itu memang mendung dan hujan tak terkira. Tapi dalam hati Billa, senja hari itu tak sekelabu perkiraannya.

# # #

P.S. : Oke, ceritanya nggak nyambung karena cuma side stories, tapi yang pasti tokoh-tokohnya nyambung, dan gue jatuh cinta sama Aga!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar