Laman

Senin, 23 Mei 2011

When It Rains [part. 5]

wehehehehehe.... *ketawa devil*
akhirnya ada waktu buat post juga, huehehehehe...
ga usa banyak cincong, langsung aja di baca. okeoke??
enjoyy =)

----------------------------------------------------------------------------------------------------

“Iya, aku mau kok.” Gadis kecil manis itu menyodorkan tangan mungilnya pada anak lelaki di sebelahnya. Anak lelaki itu kemudian menyelipkan cincin perak pada jari manis gadis kecil itu. Sebagai tanda cinta mereka.

“Aku sayang kamu.” Anak lelaki itu mengecup pipi si gadis kecil sekilas. Dengan tersipu malu, gadis kecil itu menjawab,

“Aku sayang kamu juga, Rio. Sayaaangg ba—KRRIIIINNGGGG!!” Anak lelaki itu terkejut. Ba-Kringg?? Maksud—

KRIIIINNGGG!!!

Rio tersentak bangun. Lagi-lagi mimpi itu. Gadis kecilnya. Gadis yang sama yang membuat hatinya berdegup kencang saat ia melihatnya atau hanya mendengar namanya.

Rio mengacak-acak rambutnya yang sudah cukup acak-acakan, dan menengok ke arah jam wekernya yang berteriak-teriak kencang, dan mematikannya dengan kasar saat melihat angka yang ditunjukkan oleh jam wekernya itu.

Buru-buru ia mengambil handuk dan membersihkan dirinya, memakai seragam sekolahnya dan menyambar kunci mobil dari meja di kamarnya. Rio menuruni tangga cepat-cepat, menuju dapur dan menyambar sepotongroti plain dari meja makan. Kemudian buru-buru berlari ke garasi dan menyalakan mesin mobilnya. Setelah beberapa saat, ia pun melesat keluar dari rumahnya menuju rumah Sivia. Entah untuk apa.

Sesampainya Rio di tujuan, segera ia menghentikan mobilnya. Alvin, yang kebetulan sedang menjalankan ritual paginya minum teh putih panas dan baca majalah musik, memalingkan pandangannya ke arah mobil Rio dan ke arah Rio yang sedang berjalan ke arahnya, dengan heran.

“Lo ngapain kesini? Trus elo ngapain pake seragam gitu? Kusut lagi muke lo,” ucapnya penasaran.

“Ga tau juga sih. Ga kepikiran. Gue mau ke sekolah, makanya pake seragam. Untuk masalah muka kusut, lo ga usah tau jawabannya.” Kata Rio, sambil menyeruput teh putih Alvin tanpa ijin.

“Ngapain ke sekolah? Ngomong-ngomong tugas lo udah kelar belom?”

“Nah, itu dia makanya gue make seragam. Gue mau ke sekolah buat ngelarin tugas. Juga buat jemput si Sivia. Ngomong-ngomong dia di mane sekarang?”

“Lagi beres-beres kali. Kenapa? Kangen? Hehe..” goda Alvin. Sedang Rio hanya mesam-mesem saja dibuatnya.

“Iya sih. Tapi ga juga kali. Kalo kita ga cepet ntar keburu gerbangnya ditutup lagi.” Rio beralasan, sambil sekali lagi menyeruput teh Alvin.

“Iya juga sih. Tunggu aja. Bentar lagi juga turun dia.”

Dan benar saja. Tepat dengan akhir perkataan Alvin barusan, terdengar suara teriakan Sivia dari dalam rumah.

“KAAAKKK!! ANTEERIIIN!!!” teriak Sivia.

“Berangkat sendiri aja sana!! Kakak capek tauk!!” balas Alvin.

Setelah itu, Sivia muncul dari dalam rumah. Dan terkejutlah ia melihat Rio duduk manis di teras rumahnya.

“Loh?? Kirain udah berangkat. Ternyata masih disini. Percuma dong gue bangun pagi. Jadi berangkat ga nih??”

“Iya, iya. Kita berangkat. Kita duluan, Vin,”

“Dah, Kak!” Alvin hanya tersenyum membalas ucapan selamat tinggal dari Sivia dan saat mereka (Rio dan Sivia) meninggalkan kediaman Sindhunata.

‘Mereka tuh sebenernya cocok. Tapi kenapa ga pernah akur sih? Gemes gue jadinya,’ pikir Alvin gemas.

# # # #

“Pagi Bu!” sapa Sivia dan Rio bersamaan pada salah satu guru mereka saat melewati lorong menuju kelas mereka.

“Pagi Rio, Sivia. Kok berangkat sih? Bukannya kalian libur ya?” tanya guru itu.

“Kita ada tugas, Bu. Makanya kita berangkat.” Jawab Rio.

“Tugas apa, kalo ibu boleh tahu?”

“Kalo saya, tugas OSIS. Mengawasi Sivia ini, Bu. Dia kan anak baru.”

“Oh, iya. Ibu lupa. Ya sudah, good luck dengan tugas kalian. Mari, anak-anak.” pamit guru itu.

“Iya, Bu. Mari, Bu!” balas Rio dan Sivia bersamaan lagi, dan mereka pun melanjutkan perjalanan mereka menuju kelas mereka yang sepi.

Sesampainya di kelas, Sivia menghempaskan pantatnya di atas kursi yang biasa ia dudukki setiap harinya. Sivia mengaduk-aduk tasnya, mencari-cari di manakah iPod touch-nya itu bersembunyi. Rio meletakkan sebuah buku kecil, berjudulkan ‘Gamasta International’, ke atas meja Sivia dan menempati sebuah tempat duduk di depan Sivia, setelah sebelumnya memutar tempat duduk itu sehingga ia duduk menghadap Sivia.

“Apaan nih?” tanya Sivia pada Rio yang sibuk mengutak-atik ponselnya.

“Itu modul. Lo baca dulu gih.” kata Rio memerintah. Dan kembali berkutat dengan ponselnya.

“Bacaaaa mulu. Ribet banget sih,” rutuknya pelan. Rio terkikik pelan mendengarnya. Dan kemudian kembali berkutat lagi dengan ponsel kesayangannya itu. Merutuk pelan karena ponselnya tidak kembali waras juga.

“Hape lo kenapa?” tanya Sivia tanpa mengalihkan pandangannya dari modul yang diberikan padanya, memecahkan konsentrasi Rio saat itu.

“Ga tau. Dari tadi malem berubah jadi sinting.”

“Sinting? Emang bisa?” Sivia akhirnya menyerah dengan modulnya danmengalihkan perhatiannya pada Rio.

“Nih buktinya,” Rio menyodorkan iPhone-nya pada Sivia, dan dengan senang hati mengambilnya dan mengutak-atik iPhone itu dengan lincah. Tak lama, Sivia mengembalikan ponsel itu pada si empunya.

“Udah waras nih?” tanya Rio penasaran.

“Ga tau. Coba aja dulu,”

Rio mengangguk patuh. Dengan semangat, ia memencet disana sini. Sampai akhirnya, sudut-sudut bibir Rio terangkat, membentuk sebuah senyuman lega yang menawan.

“Wuiihh, gile lo, Vi! Keren banget! Thanks yak,”

“Biasa aja lagi. Kayak gituan doang mah, gampang.”

“Tapi tetep aja kali, Vi. Makasih ye,”

“Iye, sama-sama.” Sivia melanjutkan kegiatannya lagi. Kembali membaca modul yang diberikan Rio tadi. Sambil menjejalkan informasi demi informasi ke dalam memori otaknya.

“Lo diajarin siapa sampe bisa ngebetulin iPhone gini?” tanya Rio lagi.

“Gue diajarin almarhumah nyokap. Dia dulu punya perusahaan gadget. Pastinya ngerti lah gimana caranya ngebetulin iPhone sinting.” jawab Sivia tanpa mengalihkan pandangannya dari modul yang sedang dibacanya. Ia sudah sampai ke bagian pendiri Gamasta sekarang.

“Oooh, gitu. Lo diajarin pas umur berapa emang?” tanyanya lagi.

“Tiga.” jawab Sivia dengan entengnya. Dan sesaat kemudian ia sedikit tercengang membaca siapa-siapa saja pendiri Gamasta International High School, hingga ia tidak sedikitpun mendengar apa yang dikatakan Rio.

“…Nuraga, Prasetya, Sindhunata, Haling, dan Maradinata, adalah para pendiri Gamasta International. Mereka adalah lima orang ternama yang juga membangun Pentagon House Regency, sebuah kompleks perumahan mewah yang juga mencakup Gamasta International di dalamnya. Mereka berlima juga tinggal di perumahan ini. Nuraga di Rastaga, Prasetya di Marastya, Sindhunata di Gastika, Haling di Halingga, dan Maradinata di Swastika. Namun sayang, salah satu dari Pentagamasta, sebutan untuk lima orang hebat ini, harus pergi selama-lamanya dari dunia ini karena beliau gagal dalam tugasnya sebagai tentara di Palestina. Meninggalkan seorang istri dan seorang anak perempuan yang diketahui bernama Sivia Azizah...”

Begitulah segelintir informasi yang tertulis dalam modul itu. Sivia tahu pendiri-pendiri Gamasta itu, kecuali Haling. Nuraga, ayah Cakka, yang merupakan sahabat almarhumah ibunya; Prasetya, ayah Ray, menurut nama belakang yang tertulis di name tag Ray yang ia lihat di hari keduanya (Ray punya dua name tag) di sekolahnya; Sindhunata, ayah Alvin, serta ayah tirinya; dan Maradinata, ayah kandungnya. Mungkin karena inilah semua teman sekelasnya, bahkan guru-guru yang mengajarnya terkejut saat ia memperkenalkan dirinya tempo hari. Karena ia adalah putri Maradinata, dan anak tiri Sindhunata. Tapi bukan itu yang membuatnya terheran-heran. Hanya satu yang membuatnya penasaran. Siapa Haling??

“… jadi gitu. Gimana? Lo mau kan jadi pasangan gue di 25 tahun perusahaan bokap lo?” tanya Rio memcahkan lamunan Sivia.

Sivia, yang sedari tadi hanya melamunkan siapa sebenarnya Haling itu yang disebutkan dalam modul yang dibacanya, tergagap karena ditanyai tiba-tiba.

“Hah? Eh… apaan tadi yang lo omongin?” tanyanya lugu.

“Yaah, berarti dari tadi gue ngomong sama angin dong. Ya udahlah, ga usah dipikirin. Udah sampe mana lo bacanya? Jangan kelamaan,” kata Rio, mengalihkan topik sekaligus mengalihkan pikiran Sivia sementara dari Haling-siapa-itu-ga-tau.

“Baru sampe pendiri GIHS kok,” ucap Sivia geli, melihat tampang kesal Rio yang menurutnya lucu.

“Eh, udah, udah. Segitu aja. Sekarang ambil kertas. Gue kasih elo tes.”

“Loh, ada tesnya segala toh??”

“Ya iyalah, say. Buat nilai tambahan. Lagian lo pengen ikut festival kan?”

“He’eh.. Jadi harus pake tes ya?”

“Yep. Dan juga, elo harus ngasih rekaman permainan musik lo ke OSIS. Minimal ke gue ato kakak lo. Ato ke Ray. Ato ke Cakka. Trus, tes ini juga sebagai penyeleksi, apakah elo patut masuk GV ato ga. Ngerti lo?”

“Engga sih. Tapi, iya deh, gue ngerti. Sekarang nih tesnya?”

“800 abad lagi. Ya sekaranglah!”

“Iye, iye, bawel..” Sivia kembali mengaduk-aduk tasnya, mencari-cari bolpoin bergambar sapi kesayangannya.

“Nih, soalnya.” Rio meletakkan selembar kertas di atas meja Sivia.”Kerjain dalam waktu 20 menit. Mulai dari …” Rio melihat jam di iPhone-nya, dan melanjutkan, “Sekarang.”

Sivia gelagapan karena ia masih juga belum menemukan bolpoinnya.

“Eh, kambing, udah mulai?? Bolpen gue ilang nih,” kata Sivia panik. Rio memutar matanya sekilas dan merogoh saku celananya. Menemukan sebuah bolpoin yang tak asing lagi baginya. Memberikannya pada Sivia, dan sedikit terkikik saat melihat tampang Sivia saat ia melihat benda panjang di atas mejanya. Sivia menelitinya sebentar, dan akhirnya menyerah, mengambil bolpoin terkutuk yang menghantamnya di pagi hari pertamanya di Gamasta International.

Dengan lemas, Sivia mengerjakan soal-soal yang diberikan Rio tadi. Sambil sesekali melirik ke arah Rio yang sibuk ber-sms ria dengan entah siapa. Terkikik pelan saat melihat air muka Rio yang berubah-ubah saat ber-sms ria.

10 menit kemudian, Sivia meletakkan kertas dan bolpoin di atas meja yang ditempati Rio. Dengan sedikit heran *inget, dikit doang lho..*, Rio memandang bergantian Sivia, yang kini sedang ber-sms dengan teman-teman sekelasnya, dan kertas serta bolpoin di mejanya.

“Cepet amat,” katanya merendahkan.

Sivia melirik sekilas ke arah Rio yang memandangnya dengan tampang meremehkan dan kemudian kembali menatap layar ponselnya, setelah menjulurkan lidahnya iseng pada Rio.

“Lo mau pake apa ke anniversary perusahaan?” tanya Rio setelah beberapa lama keheningan menyelimuti mereka berdua.

“Pake baju lah. Masa pake karung goni. Rio… Rio…” jawab Sivia tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya.

“Yee, gue juga tau. Maksudnya, pake baju yang kek gimana? Biar gue bisa nyamain,” jelas Rio.

“Lo mau pake dress, Yo???” Sivia bertanya dengan sedikit berteriak dan membelalak kaget. Sivia mendapat sebuah toyoran halus dari Rio karena itu.

“Ya ga lah!! Maksud gue warnanya. Lo mau pake dress warna apa?? Kambing lo Vi..” jelas Rio lagi.

“Haha! Gue ngerti kok. Cuma becanda doang lagi.. Gue mau pake dress ungu gue. Pale purple. P-A-L-E-P-U-R-P-L-E.” kata Sivia *sok* menjelaskan.

“Gue ga bego tau.”

“Oh ya, Yo. Ntar anterin gue ke mall terdekat ya? Gue mau cari aksesorisnya,” pinta Sivia dengan tampang memelasnya yang paling ampuh. Hanya saja, kali ini agaknya tidak terlalu berhasil pada Rio.

“Emang gue supir lo? Sori ye, ogah banget gue..” Sivia manyun sebal melihat keinginannya ditolak. Ia langsung melancarkan jurus andalannya yang lain.

“Ya udah. Berarti elo ga punya pasangan buat anniversary besok.” Katanya santai sambil beranjak dari tempatnya, meninggalkan Rio yang tercengo-cengo. Saat Sivia melewati Rio, sebuah tangan menarik lengannnya dengan sedikit kasar sehingga ia terhenti dengan paksa *mudeng kagak maksudnya?*. Sivia memandang Rio, yang kelihatannya menyerah, dengan tatapan sadisnya.

# # # #

Dan di sinilah mereka berdua sekarang. Mall Poragon Semarang. Berputar-putar mencari toko aksesoris di sana yang jumlahnya tidak hanya 1. Sudah 6 toko aksesoris perempuan dimasuki oleh Rio dan Sivia. Dan sudah 6 kali pula Rio menahan malunya karena ditertawakan Sivia dan pegawai toko-toko aksesoris itu. Jangan tanyakan alasannya.

Kini mereka berada di sebuah toko aksesoris bernama Mew Mew, mencari-cari aksesoris yang diinginkan oleh Sivia. Dan sekali lagi, muka Rio memerah lagi karena ditertawakan beberapa pengunjung disana plus Sivia dan pegawai-pegawai Mew Mew.

Karena sudah terlanjur malu, Rio ikut membantu mencarikan aksesoris untuk Sivia. Setelah beberapa menit berkeliling, matanya melirik sebuah kalung berbandul burung hantu berwarna hitam yang besar dan sebuah pale pink stone bracelet. Rio mengambil keduanya, dan menghampiri Sivia yang sedang memilih antara white lacey hair pin atau brown lacey hair pin. Rio mencoleknya sekilas. Dan saat Sivia memutar badannya agar ia bisa melihat siapa yang mencoleknya, Rio memasangkan gelang pilihannya pada pergelangan tangan Sivia dan kalung burung hantu pada lehernya dengan lembut. Rio menarik lengan Sivia, menuntunnya ke arah sebuah cermin setengah badan, menelitinya sebentar, dan memutuskan..

“Udah, yang ini aja. Gue ga mau musti nahan malu lagi. Ogah banget,” rutuknya kesal. Sivia tertawa geli mendengar rutukan Rio itu.

“Iye, iye. Ya udah deh, Yo. Lo tunggu di luar deh. Gue mau bayar ini dulu.” kata Sivia lembut sambil melepas benda-benda yang dipasangkan Rio tadi. Rio mengangguk patuh, kemudian melangkah gontai keluar dari toko aksesoris itu. Menunggu Sivia selesai dengan sabar.

Tak lama, Sivia keluar. Setelah mengucapkan terima kasih pada mbak-mbak pegawai toko, ia menengok ke sana ke mari, mencari-cari sosok pemuda bertubuh tegap berbalut seragam hitam putih Gamasta, yang ternyata sedang berada di agak pojok toko aksesoris tersebut. Bermain-main dengan iPhone-nya.

“Hei,” Sivia menepuk bahu Rio pelan, yang cukup untuk membuat Rio menengok, melihat siapa gerangan yang menepuk bahunya.

“Udah selesai?” tanyanya pada Sivia.

“Udah. Mau kemana lagi kita?”

“Kalo gue bilang, lo mau ikut emang?”

“Umm, iya deh. Gue ikut. Gue utang budi sama elo soalnya.”

“Oke deh. Gue barusan pesen kemeja sama temen nyokap. Kita langsung ke sana aja,”

“Oh, oke. Di mana emang?”

“Raycha’s.”

# # # #

Mereka berjalan berdampingan, memasuki sebuah toko pakaian resmi pria di daerah Semarang, yang berdekatan dengan Mall Poragon. Sedikit ulasan tentang butik pria ini. Butik ini milik Keluarga Prasetya. Yap, pengelolanya tidak lain adalah Ray sendiri. Dibantu oleh kakaknya, Acha, yang seorang desainer muda ternama nasional dan internasional. Butik ini tidak berbeda dengan butik pria lainnya. Di sini dijual berbagai pakaian resmi pria. Seperti tuksedo, jas kerja biasa, dan berbagai hal lainnya. Tidak beda kan? Hanya saja pengelolanya yang memang masih terbilang muda. Dan butik ini adalah butik terbesar yang ada di Indonesia. Mengerti kan?

Sivia sedikit tercengang saat memasuki butik itu. Aura maskulin tersebar hingga sudut ruangan butik dua lantai itu. Sepi dan mewah. Dua kata yang pertama kali terlintas di kepala Sivia. Langsung saja ia heran. ‘Ngomong-ngomong, kok sepi ya? Butik gede kek gini kan harusnya rame,’ pikirnya heran. Ia menghampiri Rio yang sedang berbicara dengan seorang wanita cantik berambut ikal panjang. Mungkin 3 atau 4 tahun lebih tua darinya.

Wanita itu melihat Sivia mendatangi Rio dan dirinya dan tersenyum pada Sivia. Rio mengikuti arah pandangan wanita yang diajaknya bicara, melihat Sivia yang terlihat membalas senyuman wanita didepannya dengan sedikit ragu-ragu.

“Eh, Vi. Kenalin, ini kak Acha. Yang punya butik,” kata Rio. Wanita, yang bernama Acha tadi menjulurkan tangan pada Sivia. Dengan senang hati Sivia menyambutnya.

“Raissa. Panggil aja Acha.” katanya, sambil tersenyum ramah.

“Sivia. Panggil Via aja. Kok kayak mirip sama seseorang ya?” tanyanya penasaran. Kak Acha, lagi-lagi, hanya tersenyum ramah. Tiba-tiba, terdengar suara teriakan seseorang dari lantai dua. Dan tak lama terdengar suara derap langkah kaki yang terburu-buru menuruni tangga. Langkah kaki itu terhenti seketika di tengah-tengah tangga putih butik tersebut. Dan…

“KAAK CHAA!! TUX 2 BUTTONS-NYA DI MANAAA???” teriak Ray panik.

Dengan tenang Kak Acha menjawab,

“Di lemari sebelah meja desain kakak. Kan kemaren kamu sendiri yang pindahin,”

Ray tercengo-cengo sendiri mendengar jawaban kakaknya. Dan aura cerah tiba-tiba menggantikan aura kepanikan sebelumnya.

“O iya. Lupa. Makasih, kak!!” Ray kembali menaiki tangga menuju lantai dua dengan terburu-buru. Namun, tak lama, ia turun lagi.

“Hai, Yo. Hai, Vi. Lagi nge-date yak??” tanyanya usil, kemudian menaiki tangga lagi. Rio dan Sivia bengong mendengar perkataan Ray barusan.

“Udah, ga usah dengerin si Ray. Dia emang kek gitu dari dulu. Oke? Ya udah, kalo gitu, kakak ke atas dulu nyiapin pesenan kamu, Yo. Kalian berdua keliling butik aja dulu.” Dengan itu, kak Acha meninggalkan lantai satu, menaiki tangga menuju lantai dua.

Sedang Rio dan Sivia mulai berkeliling butik besar itu. Tak banyak yang istimewa. Seperti layaknya butik biasa. Ada baju dan sebagainya. Bedanya, di sini hanya terdapat kemeja yang dilipat rapi yang diletakkan di etalase kaca yang cukup besar. Tuksedo-tuksedo terjajar rapi di rak-rak yang berwarna putih bersih. Sepatu-sepatu hasil desain sendiri terjajar rapi dan mengkilat. Pantalon berwarna aman (putih, hitam dan krem) tergantung rapi pada hanger di rak-rak putih bersih pula.

“Kak Acha itu kakaknya Ray toh? Gue ga tau Ray punya kakak,” kata Sivia saat itu.

“Masa sih lo ga tau?”

“Hu.um. Taunya ya, pas tadi itu.”

“Kasian banget lo. Emang selama lo di Perancis, lo ga pernah denger nama Raissa Arif ya?”

“Raissa siapa?”

“Raissa Arif. Desainer muda nasional dan internasional. Denger-denger dia udah pernah bikin show di Perancis. Emang lo ga pernah denger ya?”

“Hah? Raissa Arif? Gue pernah denger yang namanya Raycha Arif, bukan Raissa.”

“Sama aja kali, neng.”

“Iih, beda. Panggilannya kan Acha, bukan Raycha.”

“Raycha itu gabungan dari Ray dan Acha. Mereka berdua sama-sama desainer. Cuma, kalo Ray lebih tertarik sama drum daripada kertas ama pensil.”

“Ooh, gitu toh. Pantesan,” Sivia manggut-manggut *sok* mengerti.

“O ya, Yo. Ngomong-ngomong, butik gede gini kok sepi sih?” tanya Sivia.

“Katanya Kak Acha sih, dia lagi sibuk bikin desain baju buat show-nya di NY bulan depan. Bentar lagi juga buka kok.”

“Ooh..”

“Ah oh, ah oh mulu lo daritadi,”

“Biarin dong. Gue kan ga tau mo ngomong apa. Ini aja lagi speechless gue ngeliat butik temen gue sendiri.”

“Hedeeh, emang dasar kambing lo.”

“Biarin, wekk!” Rio menoyor kepala Sivia dengan sangat halus dan tidak menyadari bahwa semua yang dilakukan dua anak manusia itu disaksikan oleh dua kakak adik yang terkikik pelan.

“Hayoo, udah selesai belom pacarannya??” tanya Kak Acha dan Ray usil. Sivia, yang terhenti saat sedang menyingkirkan tangan Rio, yang akhirnya menggenggam tangan Rio, buru-buru melepas genggamannya. Tersirat perasaan kecewa dalam hati Rio, yang terlihat jelas pada wajah tampannya, saat Sivia melepas genggaman pada tangannya. Namun perasaan itu cepat tergantikan dengan perasaan gugup saat ke-gap oleh Ray dan Kak Acha.

“Eh.. ee.. Kita ga pacaran kok.. kak..” kata Rio gugup. Kak Acha–lagi-lagi—tersenyum ramah pada dua orang itu. Kak Acha menghampiri Rio yang berdiri dengan gugup, membawa dua bungkusan berwarna hitam yang masih tergantung pada hanger-nya.

“Gapapa kok. Pacaran juga gapapa. Kita restuin,” kata Kak Acha.

“Hehehe, iya… kak…”

“Ya udah, nih. Kemeja sama jasnya sekalian.” Kak Acha memberikan barang-barang yang dibawanya pada Rio. Dengan gugup, Rio mengambilnya. Setelah semua selesai, Rio dan Sivia meninggalkan butik (menurut mereka) terkutuk itu. Dalam diam, mereka meninggalkan kawasan fashionista itu, pulang menuju rumah mereka masing-masing.

# # # #

Kamis, 15.30 p.m, a.k.a. after school

@Rumah Cakka

“Temanya apa kemaren? Cultural bukan sih?” Cakka bertanya kebingungan.

“Ho-oh. Lo tanya mulu dari kemaren,” rutuk Ray agak kesal pada Cakka. Temannya yang satu itu memang sering menannyakan tema festival musik tahunan sekolah mereka sejak minggu kemarin.

“Makanya, jangan kebanyakan mikirin Shilla mulu lo. Lagian koordinator acara kok ga tau tema acaranya sendiri. Dasar playboy blangsak lo,” Alvin menasehati sambil melihat-lihat lagi desain auditorium untuk festival musik.

“Diem lo, Cina Blangsak. Jangan salahin Shilla dong. Namanya juga kekasih hati.” kata Cakka , membanggakan Shilla-nya itu. Ray dan Alvin menoyor Cakka berjamaah. Cakka balas menoyor sahabat-sahabat karibnya itu. Dan terjadilah pertandingan toyor-menoyor antara Cakka, Alvin, dan Ray. Sampai Rio, yang datang membawa 4 softdrink, melerai mereka bertiga.

“Woii, woii, woii!! Rumah orang nih! Udah udah!” lerai Rio. Sejenak Cakka, Alvin dan Ray menghentikan pertandingan menoyor mereka. Mereka memandangi Rio dengan pandangan hah-rumah-lo-plis-deh-Yo. Dan tak lama, mereka bertiga beramai-ramai menoyor Rio.

“Wooo!! Rumah gue kali Yo!!” Cakka berteriak kencang. Sambil tentu saja menoyor Rio.

Dua menit kemudian, setelah mereka puas toyor menoyor, mereka melanjutkan kegiatan mereka sebelumnya. Sambil sesekali menyesap minuman yang disuguhkan, mereka saling bertukar pikiran akan festival yang akan diadakan 5 bulan mendatang.

2 jam kemudian..

“Kalo si Zevana gimana? Gue denger dia keren maen bass-nya.” usul Cakka.

“Mmm, dia salah satu anteknya si Keke kan yak?” tanya Ray mengklarifikasi.

“He-eh sih. Ya gapapa lah. Kita liat skill dia dulu aja,” kata Rio *sok* bijak.

“Bener tuh kata si Rio. Eh, lo ga ikut festival Yo?”

“Sebenernya gue pengen sih. Tapi GV juga ikutan ngisi acara. Gue latiannya susah ntar.”

“Yaah, sayang banget. Grand piano di auditorium nungguin elo, loh,” kata Ray usil.

“Gue tau. Gue juga kangen banget main piano. Tapi lo semua tau kan, kenapa gue menyerah sama musik?”

“Iye, kita tau.” sahut Cakka, Alvin, dan Ray berbarengan.

“Tapi akhir-akhir ini gue mulai main lagi.” aku Rio dengan santainya. Tiga temannya yang sama-sama sedang menyesap softdrink mereka, tersedak bersama karena terkejut mendengar pengakuan Rio barusan. Rio memang tidak mau tahu lagi tentang musik sejak ibunya meninggal. Ia bahkan benci dengan jabatannya sebagai ketua Gamasta Voice di sekolahnya. Jadi memang tak salah bila teman-temannya sangat terkejut dengan pengakuan Rio barusan.

“KENAPA????” teriak Ray, Cakka dan Alvin berbarengan. Mata mereka membelalak saking terkejutnya.

“Ya gapapa kan? Ada alesannya kok kenapa gue main lagi.” jawab Rio entengnya.

“Bokap lo kawin lagi emangnya?” tanya Ray polos.

PLAKK! Dan Rio menjawab dengan memukulkan proposal festival di tangannya ke kepala Ray. Ray manyun kesal karenanya.

“Ya gak lah! Dodol lu,”

“Trus karena apa?” tanya Cakka.

“Sivia.” jawab Rio santai.

“Emang dia ngapain, Yo, sampe lo mau maen lagi?” Giliran Alvin yang bertanya.

“Gue liat permainan pianonya waktu tur kemaren. Gue jadi inget nyokap pas gue liat permainannya dia. Trus ga tau kenapa, gue mainin komposisi yang gue bikin dulu itu, di hadapannya dia.” jelas Rio.

“Buseett, nekat banget lo. Eh, tapi gue salut sama lo,” komentar Cakka. Rio manggut-manggut bangga sambil membereskan kertas-kertas proposal ijin yang berserakan di depannya.

“Lo bener-bener serius sama adek gue deh kayaknya. Haduuh..” kata Alvin sedikit pasrah.

“Restuin yak?” pinta Rio usil.

“Iye iye..” kata Alvin akhirnya.

“Udahan dulu Sivia-nya. Sekarang kita balik ke kandidat festival yang udah numpuk ini.” usul Cakka.

“Oke, oke. Terserah lo aja dah,” kata Rio acuh tak acuh.

“Eh eh eh, si Kelampir ikutan juga toh?” tanya Cakka tiba-tiba.

“Siape tuh Kelampir?” tanya Rio, Ray, dan Alvin heran berbarengan.

“Keke Nenek Lampir. Dia ikutan daftar juga. Emang dia bisa nyanyi yak?”

“Lah, kan elo yang sekelas sama dia. Masa lo ga tau?” tanya Rio gemas.

“Ya tau. Dia suka nyanyi-nyanyi gitu sama antek-anteknya. Tapi menurut gue suara dia pas-pas-an tuh. Sedikit ga layak sih, menurut gue *maaf bwt Fans Club Keke, gue ga bermaksud bwt ngehina. Ini cuma cerita. Mohon maklum*.”

“Hush, jangan ngomong gitu ah, Cak. Ga baek. Walaupun musuh bebuyutan pacar lo-lo pada, kita juga harus ngehargain.”

JDERRRR!! Bagai terkena kutukan Mak-nya Malin Kundang di siang bolong yang mengenai Cakka, Alvin, dan Ray, yang membuat mereka bertiga membatu seketika. Mereka memandang Rio dengan tatapan seorang-Mario-ngomong-bijak-sama-musuhnya-ga-mungkin-banget-gitu-loh. Rio, yang merasa dipandangi, melirik iseng pada sohib-sohib sejak kecilnya itu.

“Kenapa sih lo pada? Pada ngliatin gitu. Gue ganteng yak??” tanyanya gamblang. Dan ternyata hal itu membuat Cakka-Alvin-Ray malah terbelalak kaget.

“Narsis lo, Item Blangsak! Jelas-jelas gue yang ganteng!” kata Cakka tidak terima.

“Idiihh, najis mugholladoh lo, Cak. Gue kali yang paling ganteng!” Giliran Ray yang tidak terima sekarang.

“ Puihh, najis. Sekali gue, ya gue!” tantang Rio.

Alvin hanya geleng-geleng saja melihat tingkah laku ketiga temannya. Setelah sekian lama, akhirnya Alvin menyerah.

“Udah, udah ah! Kalian tuh ga di sini, ga di rumah gue, ato Rio, ato Ray, kerjaannya beranteeem mulu. Plis dong, kalian kan udah gede! Ganteng aja diributin,” Alvin (sok) menasehati. Dalam hatinya, ia terkikik geli melihat tampang menyerah ketiga temannya yang menurutnya kocak itu.

“Kalian kan tau, kalo gue yang paling ganteng!! Ngerti ga lo?!” lanjut Alvin dengan menahan tawa. Sedang tiga kawannya hanya melihati Alvin dengan tampang cengo ++. Dan kemudian menyerbu Alvin berjamaah dengan toyoran.

# # # #

-------------------------------------------------------------------------------------------------

yaah, lumayanlah, lumayan,
sekali lagi, teteup..
terima kasih untuk yang membaca. yang tidak baca juga terima kasih (?)
pokoke, saya sudah post. leganeee.....

Salam,
Umi Sa'adah

Please leave any comments on this blog
or on my facebook account : Umi Sa'adah
or on my twitter : @umisaadah95 : )

2 komentar:

  1. cieee...
    nulis lagi...

    si taylor lanjutannya gimana????
    penasaran...

    BalasHapus
  2. kagak gue lanjutin kayaknya..
    udah selese sih, sebenernya,

    BalasHapus