Laman

Rabu, 30 November 2011

Berakhir Dalam Lima

Menunggu. Menanti. Dua buah kata berbeda dengan kesamaan arti. Tak mengenal jabatan, tak mengenal jenis. Siapapun, apapun, pasti pernah atau bahkan sedang menunggu.

Seperti ia. Gadis muda dari Jakarta. Yang selalu berada di tempat yang sama di taman kota. Menanti kedatangan seorang pria muda. Siapa dia? Hanya ia yang mengetahuinya. Dengan atribut pakaiannya yang hampir selalu sama. Terusan selutut dengan gambar bunga-bunga mungil berwarna-warni menghiasi seluruh permukaannya. Bolero sebatas dada berwarna ungu tua tak lupa ia kenakan pula. Gelang-gelang kain berwarna cerah, tas jinjing berwarna hijau kelam, sepatu keds berwarna putih pun tak ketinggalan. Hanya saja, semua itu kontras dengan apa yang tengah dirasakannya kini.

Gelisah. Cemas. Was-was. Kekhawatiran yang teramat sangat. Kesal. Marah. Jengkel. Semua bercampur aduk menjadi satu, berputar-putar tak tentu dalam hatinya. Menciptakan suatu emosi asing yang tak pernah kuasa ia tahan. Kegalauan.

Apa yang menyebabkan itu semua? Mengapa bisa seperti itu? Bagaimana semuanya bisa terjadi? Dan kenapa semuanya terjadi padanya?

Hanya satu jawaban. Pria muda yang menitipkan janji padanya untuk menunggunya pulang dari suatu tempat yang teramat jauh darinya. Dan pria muda yang sama yang membuatnya menunggu terlalu lama.

* * * * *

Senin, 15 Januari 2007.

Saat itu, siang sedang bangga. Matahari yang selalu menemaninya, bersinar cerah membakar kulit setiap manusia di bumi belahan selatan ini. Tak luput dari panas yang membara itu adalah Riva. Gadis muda yang sedang berbahagia karena akhirnya menemukan tambatan hatinya yang kini tengah menimba ilmu di negeri Paman Sam agar kelak bisa meminangnya saat ia pulang membawa nama.

Memang tak terasa begitu besar, namun kekhawatiran itu benar-benar memenuhi otaknya. Bagaimana bila pemudanya menemukan gadis lain? Bagaimana bila pemudanya lupa padanya? Ah, masa bodohlah. Tak usah berpikir macam-macam. Yakin saja ia akan kembali. Berada di sisinya kembali.

Memang rasa galau itu masih sangat dini. Tapi siapa yang tahu bahwa mungkin esok hari, kegalauan itu akan semakin menjadi.

* * * * *

Rabu, 12 Februari 2007.

Hari sudah menunjukkan tanda-tanda kegelapannya. Matahari pun sudah kembali ke peraduannya. Namun gadis muda itu masih terus saja menunggu. Menanti sang pemuda kembali dari meraih mimpi. Sudah sebulan ia melakukan aktifitas pasif ini. Hanya menunggu dan menunggu. Tak peduli sampai kapan, ia terus menunggu.

Kerabat dekatnya mulai khawatir. Mereka tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada gadis muda ini. Tapi, apa mau dikata? Menasihati gadis muda ini sama saja dengan menasihati tembok. Tak berguna. Tak ada sautan bila ia ditanya. Tak ada balasan bila ia disapa. Hanya satu yang dipikirannya. Pria muda yang setia ditunggunya.

Entah untuk yang ke berapa kali, gadis itu melihat layar ponselnya. Ketika ia menemukan jam masih menunjukkan pukul tujuh malam, ia mendesah tanpa emosi maupun rasa. Masih terlalu dini baginya untuk kembali ke rumahnya. Dan ia pun melanjutkan kegiatannya sejak subuh tadi.

Menunggu.

* * * * *

Kamis, 12 Juli 2007.

Lima bulan terlewatkan sudah. Lembar demi lembar surat terkirim sudah pada pemudanya. Namun tak satupun balasan diterimanya. Tak setitikpun informasi ia dapatkan. Kekhawatirannya sudah lama meledak, terlontar entah kemana. Berganti dengan emosi baru itu. Gelisah.

Berulang kali ia melongok arloji yang melingkar di tangannya. Arloji pemberian pemudanya saat ulang tahun keduapuluh satunya. Yang berwarna ungu tua. Warna favoritnya. Memandang arloji itu, tak sadar bulir bening menetes tanpa ijin dari pelupuk matanya, melesat indah di pipinya, dan akhirnya jatuh menetes dari dagunya, mengenai bumi pertiwi. Tak sampai sedetik kemudian, bulir bening lain menyusul.

Hening suasana taman kota kini terisi isak tangisnya. Isak tangis seorang gadis yang hampir putus asa.

* * * * *

Sabtu, 12 September 2008.

Hampir tiga tahun sudah ia menunggu. Menunggu kedatangan pemudanya untuk sekedar mengucap salam. Menanyakan bagaimana kabarnya. Apakah ia rindu padanya. Namun hal itu tak kunjung pula terealisasikan.

Dua tahun sudah pemudanya berada jauh di sana. Seharusnya ia sudah pulang hari ini. Seperti janjinya dua tahun lalu. Ya, tepat hari ini. Tepat di hari ulang tahun sang gadis muda. Di hari bahagianya ini, ia justru malah semakin sedih. Dan kesedihan itu pun berganti dengan yang lain. Marah dan kesal. Namun kepada siapa ia harus melampiaskannya? Hati dan pikirannya sudah tak mampu menahan penantian ini! Tuhan, tolonglah! Sampaikan padanya, cepatlah pulang...

* * * * *

Senin, 12 Januari 2011.

Akhir dari segalanya.

Empat tahun sudah ia menunggu seperti biasa di taman kota Jakarta. Yang penuh debu dan asap menyesakkan sebagaimana rindangnya pohon-pohon yang tumbuh di sana. Sama dengan hati dan pikirannya. Semua sudah sesak akan kekhawatiran, kegalauan, kesedihan, kekesalan. Di sini, di taman kota ini, ia tumpahkan segala rasa dan emosi yang dipendamnya selama empat tahun ini, yang tak pernah bisa luapkan ini, karena tak ada satupun yang bisa ia jadikan pelampiasan.

Dikeluarkannya sebuah benda berbentuk persegi panjang yang mengkilap. Dibukanya lipatan yang ada, dan muncullah sebuah pisau mungil yang bahkan lebih tajam dari pisau daging di pasar-pasar. Pelan-pelan, ia dekatkan pisau mungil tersebut pada pemukaan kulit pergelangan tangannya. Sejenak ia membiarkan pisau itu berhenti sebelum ia mengakhiri semuanya.

“Aku sudah tidak bisa menunggu lagi, Damar. Tak kuasa batinku tersayat akan ketidakhadiranmu di sini. Mungkin ini yang terbaik. Untukku, untukmu, untuk semuanya. Selamat tinggal Ayah Ibu. Selamat tinggal, Da...” Kata-katanya harus terpotong karena sekelebat bayangan menyambar pisau mungil itu dari tangannya yang gemetar hebat. Sosok itu melipat pisaunya. Ia masukkan dalam kantung celana jins belelnya. Tersirat ketidakpercayaan pada wajah tampannya. Sedang sang gadis hanya ternganga tak percaya melihat sosok di hadapannya ini.

“Sudah kubilang, tunggulah aku. Aku pasti kembali padamu.”

Serta merta sang gadis memeluk sosok itu erat. Bulir-bulir bening mengalir deras menuruni pipi dan dagunya, meninggalkan sarangnya di pelupuk mata sang gadis muda. Satu kata terus terucap dari bibir mungilnya, yang membuat sosok tersebut tertawa bangga.

Damar.

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
kekekeke..... gue stress..... kekekekeke.......

Salam,
Umi Sa'adah =]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar