Laman

Sabtu, 24 Maret 2012

7 Kisses : Alexander

Alexander’s POV

“Nuna... Kenapa kau cemberut hari ini? Dingin sekali bila kau cemberut seperti itu...” Kenapa dia? Kenapa cemberut seperti itu?

“Sudahlah, Oppa. Berhentilah memanggilku nuna. Aku ini bahkan 2 tahun lebih muda darimu. Kenapa sih, kau memanggilku nuna?” Joeun membereskan buku-bukunya. Buru-buru ia meninggalkan ruang klub sulap. Dia ini kenapa sih?

“Joeun-ah, kau ini kenapa sih?” Ia terus berjalan. Tanpa sekalipun menjawab pertanyaanku. Apa aku sudah salah omong ya? Aduh... Bagaimana ini..?

“JOEUN-AH!”

Aku menarik tangannya. Saat ia akhirnya berhenti, aku bergegas menghadap dirinya. Wajahnya... Oh, tidak. Aku dalam masalah besar.

“Joeun-ah, kenapa kau menangis? Apakah karena aku?”

“...Kalau memang ini salahmu, lalu kau mau apa? Menciumku untuk menenangkanku?”

“Bukan seperti itu... Aku...”

“Sudahlah, Oppa. Lepaskan tanganku. Aku hanya ingin pulang.”

“Biarkan aku mengantarmu,”

“Tidak usah. Aku bisa sendiri,”

Tanganku melemas. Ia melepaskan tangannya dari genggamanku. Dan pergi begitu saja. Tuhan, apa salahku? Kenapa dia... Ah! Payah kau, Alexander! Kau kan sudah berjanji untuk tidak membuatnya menangis lagi setelah kejadian setahun lalu. Sekarang bagaimana ini? Apakah aku harus meminta bantuan yang lain? Lagi?

“Ah... benar-benar payah..”

Aku mengeluarkan ponselku. Men-dial nomor orang itu lagi. Aku yakin dia akan marah besar karena meneleponnya di jam-jam sibuk seperti ini.

Ada apa?

“Soohyunie? Kau masih hidup?”

Jelas masih. Kenapa meneleponku malam-malam begini?

“Aku ingin... meminta nasihat darimu. Bisakah kau menemuiku di Starbucks dekat rumahmu?”

Jigeum?

“Mm-hm. Maaf mengganggu, Soohyunie.”

Tidak apa, hyung. Aku segera ke sana. Ngomong-ngomong, apakah ini tentang Joeun lagi?

“Iya.” Aku berjalan menyusuri jalan menuju Starbucks yang kubilang tadi. Jaraknya hanya beberapa rumah dari rumah Soohyun dan rumahku. Kami terus berbicara lewat telepon. Hingga sampailah aku di tempat. Kulihat belum ada tanda-tanda Soohyun di sana. Kalaupun ada, seharusnya Minji, musuh bebuyutannya di klub vokal yang juga bekerja di sini, sudah ijin pulang bahkan sebelum Soohyun sampai.

Aku bergegas menuju tempat kami biasa duduk. Sambil terus berbicara dengan Soohyun lewat telepon.

“Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku bahkan tidak tahu apa yang sudah kuperbuat hingga ia marah dan menangis seperti itu.”

Oh, jadi dia juga menangis, Hyung? Hebat. Dua kali kau membuatnya menangis. Harusnya ada perayaan untuk ini.

“Tsk. Diam kau, Kepala Besar. Kau mau aku membongkar rahasiamu pada Minji, bahwa kau su—“

HYUNG!! Andwae! Kalau kau berani membocorkan rahasia itu, awas saja kau!

“Biar. Kan kau sendiri yang memintanya,”

Dasar kau ini.

“Sudah, lupakan. Kau ada di mana sih? Sudah 10 menit aku ngobrol denganmu tapi kau tidak datang-datang. Starbucks ini dengan rumahmu kan, hanya berjarak 4 menit berjalan kaki,”

Aku sedang perjalanan. Sudah, aku tutup dulu teleponnya.

Dan dia menutup teleponnya begitu saja sebelum aku sempat membalas perkataannya. Apa-apaan anak ini? Berani sekali dia melawanku.

Hampir 5 menit aku menunggu Soohyun, tiba-tiba lampu kedai kopi yang terkenal ini menjadi remang-remang. Hampir gelap, tapi tidak cukup gelap untuk mataku. Oke. Ini sungguh tidak lucu. Ada apa ini?

Belum sempat aku berdiri untuk bertanya pada pelayan, seseorang menutup mataku dari belakang menggunakan sepotong kain berwarna hitam. Ahh... Ayolah... Ini sungguh tidak lucu..

“Siapa kau? Ada apa ini? Kenapa kau menutup mataku seperti ini? Kau siapa?” Berbagai pertanyaan meluncur begitu saja dari mulutku. Si penutup mata yang sepertinya perempuan—aku sempat mendengar suara hak sepatunya—hanya mendecak. Hei, hei, hei. Aku sedang serius. Apa-apaan ini?

Tiba-tiba, orang itu menciumku. Spontan, aku mundur. Siapa dia berani menciumku seperti itu?? Kurang ajar sekali ia pada Alexander ini. Dengan jengkel, aku membuka ikatan kain yang menutup mataku. Aku melihat sesosok perempuan di depanku. Aku tidak tahu siapa dia karena lampu kedai yang remang-remang. Tapi, yang aku tahu, dia mulai mendekat padaku, dan mengatakan sesuatu yang membuatku tersadar siapa dia.

“Ssshh... Biarkan aku menikmatinya kali ini...”

Suara ini... Joeun? Park Joeun?

Aku hendak bertanya siapa dia, saat tiba-tiba ia menempelkan bibirnya lagi di bibirku. Oh, yeah.. Aku kenal bibir ini. Hanya Joeun yang pernah menciumku. Tapi, tunggu. Kenapa dia ada di sini?

“Aku yang membawanya. Dia curhat padaku tentang kau yang tidak bisa berhenti bicara sehingga ia ingin, untuk sekali saja, membuatmu diam. Dan Minji Yang Hebat ini dengan baiknya memberinya nasihat yang sekarang dia lakukan. Atau bisa kubilang Nona Sok Tahu?” Sebuah suara menjelaskan, seperti membaca pikiranku. Dan aku kenal baik suara sok itu. Shin Soohyun, kau akan mati di tanganku.

“Hei Soohyun Kepala Besar, diam saja kau. Aku ini memang hebat. Dibandingkan dengan kau yang hanya bisa membuat kepalamu lebih besar lagi,” Minji membalas. Hei, hei, ada apa ini? Kenapa mereka malah bertengkar. Joeun bahkan sampai terganggu mengingat ia tidak menciumku lagi.

“Apa kau bilang?”

“Yah.. kau mendengarku dengan cukup baik. Atau kau terkena gangguan pendengaran, Orang Tua?”

“Diam kau, Lidah Udang.”

“Kau yang diam, Orang Tua.”

“HEI! BISAKAH KALIAN BERDUA DIAM?! Kami sedang melakukan apa yang kalian usulkan padaku!”

Bentakan Joeun benar-benar membuatku tersentak kaget. Ini pertama kalinya aku melihat ia seperti ini. Wow.

“Sudahlah, Jojo. Lupakan mereka. Anggap saja mereka burung-burung yang tengah kasmaran. Bisakah aku mendapat ciumanku lagi?”

Joeun menelengkan kepalanya ke kiri, tanda bahwa ia bingung dan heran dengan apa yang kukatakan. Yeah, aku mengenalnya sebaik itu.

“Kenapa kau berpikiran bahwa aku akan menciummu lagi?”

“Aku tidak tahu. Mungkin itu lebih seperti hukuman bagiku karena sudah terlalu banyak bicara. Tapi kau tahu? Itu semua karena aku peduli padamu. Aku minta maaf. Aku tidak tahu kalau itu sudah mengganggumu. Aku akan menguranginya. Demi kau.

Tiba-tiba, wajahnya sudah sangat dekat setelah aku selesai mengatakan semua perasaanku. Dan,

“Kau memang terlalu banyak bicara,” Ia menciumku lagi.

Plak!

“Berhenti memandangiku seperti itu, Kepala Udang!”

Aku tersenyum dalam ciuman kami. Dua orang itu memang tidak akan pernah bisa akur.

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

hehehe... i'm rushing. this is Mighty Alexander! hope you enjoy (if it's totally suck!) Jaaaa!!!


Salam,

Umi Sa'adah =]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar